Sunday, May 4, 2008

Dokter Oh Dokter..

AUTHOR: Meta
TITLE: Dokter Oh Dokter..
STATUS: Publish
ALLOW COMMENTS: 1
CONVERT BREAKS: 0
ALLOW PINGS: 0

DATE: 07/29/2007 07:07:05 AM
-----
BODY:
Mungkin ketika masih kecil ada diantara anda sekalian yang bercita-sita sebagai dokter? Atau saat bermain-main dengan teman sebaya anda begitu antusias jika diberi peran sebagai dokter? Atau mungkin saja diantara anda ada yang menjadi guru, yang terkadang menanyai anak didiknya ” Anak-anak kalau besar mau jadi apa?” kadang serempak para murid itu menjawab ”menjadi dokter bu...”. Atau diantara anda ada yang sengaja mencari pendamping hidup seorang dokter, hanya dengan alasan kalau sakit kan gratis (please dehh..-->penting banget ga si??)


Well, saya akan menceritakan sebuah cerita yang mungkin akan mengubah paradigma berpikir anda mengenai sang dokter yang menyembuhkan (padahal yang nyata-nyata menyembuhkan hanyalah Allah SWT dan kami hanya merawat. Camkan itu. Kami hanya merawat. HANYA MERAWAT!!-->hihihi ga usah pake emosi gitu kali met;p).


Terus terang, saat kecil pun beberapa diantara kami memang bercita-cita sebagai dokter. Beberapa diantara kami menjadi dokter karena itu adalah profesi turun temurun yang harus kami sandang karena paksaan dari orang tua kami yang notabene sudah menjadi dokter. Kami memang berasal dari ragam keluarga yang berbeda. Berasal dari daerah yang berbeda. Tapi kami yakin kemampuan kami berada di atas rata-rata. ( Coba tanya anak SMA, berapa orang saingan yang harus dikalahkan saat masuk fakultas kedokteran)


Tingkat pertama di fakultas kedokteran kami habiskan dengan segala macam pelajaran yang menurut kami tidak berguna. Kami ingin menjadi dokter, bukan menjadi anggota DPR, kenapa kami harus menerima pelajaran Pancasila, Kewiraan yang sama sekali tidak berhubungan dengan profesi kami. Saat-saat tingkat pertama, mungkin sebagian diantara kami masih sibuk bermain. Entah itu menjelajahi pusat-pusat perbelanjaan (ingat, diantara kami ada yang berasal dari daerah yang tidak terdapat pusat hburan seperti ini), mencoba-coba bermain diberbagai tempat hiburan malam, atau sekedar mengunjungi kembali SMA dan menjelaskan kiat-kiat bagamana bisa masuk ke Fakultas kedokteran.


Diantara kami juga sudah sibuk akan kegiatan perkumpulan-perkumpulan kami sendiri. Ada beberapa diantara kami menjadi ”penghuni” masjid, untuk belajar lebih lanjut ilmu agama. Ada juga yang setiap hari mengetik di depan komputer untuk menyelesaikan berbagai macam buletin yang terkadang deadlinenya kurang tiga hari lagi.


Tingkat kedua, ketiga, pelajaran kami rasa semakin berat saja. Beberapa diantara kami sampai harus sesak nafas karena serangan astma setiap malamnya karena terlalu lelah dan stress. Pelajaran-pelajaran yang kami dapatkan juga mulai beragam. Dan ilmu itu adalah pondasi dari ilmu berikutnya yang akan kami peroleh ditingkat atas. Entahlah.. Beberapa diantara kami juga sudah mulai ketinggalan karena dinyatakan tidak lulus dan harus mengulang.


Ditingkat empat, lima dan enam, kami sudah mulai belajar di rumah sakit. Satu tahun sebagai clerk dan dua tahun sebagai dokter muda. Awal mula di rumah sakit kami sikapi dengan kebanggaan. Siapa gitu lhoh yang ga bangga dah pake seragam putih layaknya seorang dokter. Tapi kadang kami harus melepas seragam putih ini jika berjalan-jalan di sekeliling rumah sakit. Jangan sampai saat seorang pasien bertanya kepada kami, trus kami tidak tahu. Yang banyak para pasien tanyakan sih masalah tempat. Sebagai seorang clerk, kami terkadang juga belum hafal isi ruangan serumah sakit itu apa saja. Bayangkan saja anda berada di kawasan 500mx500m dengan ruang tersekat-sekat oleh tembok dan terpisahkan oleh koridor serta taman. Belum juga beberapa lantai yang sungguh merepotkan sekali kalau dihafalkan.


Masa-masa menjadi dokter muda , mungkin itu lah yang akan sampai kami ingat sampai akhir menutup mata. Mulai dari kekejaman para perawat, the smilling killer, tugas jaga yang akan menjadikan kami manusia dengan rasa (mengantuk)keesokan harinya. Entah lah.. saat-saat yang menyenangkan karena bisa bertatap langsung dengan para guru besar kami yang terhormat, yang memberi kami ilmu selama kurang lebih dua setengah tahun, yaitu para pasien yang kami rawat. Tapi terkadang para ”guru besar” kami ini sungguh tidak kooperatif. Kami hanya berusaha menolong sesuai dengan prosedur. Sekali lagi ingatlah bahwa kami bukan pembuat hidup. Yang membuat hidup kita sekalian adalah Allah SWT. Kalau anda bukan orang yang rajin, bersiap-siaplah merana disini.


Menjadi DM itu butuh perjuangan yang keras. Membutuhkan semangat yang tinggi. Beberapa diantara kami memang ada yang mengambil cuti, baik itu cuti untuk menikah, cuti untuk melahirkan, bahkan cuti untuk berekreasi. Yang jelas bagi anda yang terbiasa tidur siang, bersiap-siaplah tidak melakukannya baik tidur siang atau pun tidur malam (entah kalau anda tahan malu mengantuk didepan pasien). Ilmu demi ilmu kami tuntaskan selama waktu itu. Beberapa diatara kami mungkin sedang sakit, bermasalah dengan pasangan, sampai mertua, dan bahkan melahirkan saat diadakannya ujian dokter. Jadi jangan menuduh kami ini tidak lulus karena bodoh. Itu hanyalah peran keadaan yang tidak memungkinkan.


Dengan menjadi dokter muda kami belajar bagaimana dalam bersikap dengan para pasien kami, senior kami, dan teman-teman sejawat serta pegawai-pegawai lain yang mungkin bersangkut paut dengan bidang yang kami geluti. Saat kelulusan kami memang berbarengan dengan ditetapkannya UU praktek kedokteran yang begitu kejam terhadap kami. Serasa macan ompong saja.


Coba bandingkan kami dengan para sarjana ekonomi, hukum, teknik sipil, perkapalan, arsitek, IT, dll, yang langsung bisa bekerja tanpa harus mengikuti serangkaian acara yang menurut kami tidak penting. Kenapa hanya dari golongan kami yang diadakan uji kompetensi?? Kenapa bagi sarjana lain uji itu tidak diadakan saja (jika alasannya adalah peningkatan standart)? Kenapa juga kami juga harus menunggu begitu lama untuk pengurusan STR (Surat tanda registrasi) Kenapa juga pendaftarannya harus di pusatkan di ibukota negara ini?? Bagaimana dengan sejawat kami yang tinggal nun jauh dari ibukota negara ini? Jika STR saja selama itu, bagaimana kami bisa mengurus segera SIP ( Surat Ijin Praktek). Asal tahu saja, kami dianggap praktek ilegal tanpa SIP itu ( Kenapa hanya para dokter saja?? Para Para medis juga praktek di rumahnya masing-masing. Bahkan kompetensi mereka jauh di bawah kami) Terus kami mau makan apa jika untuk mencari sesuap nasi saja kami sulit. Apalagi bagi beberapa di antara kami yang sudah harus menghidupi keluarga.


Apakah anda masih berpikir kalau menjadi dokter menjanjikan pundi-pundi emas anda akan bertambah?? Singkirkan itu jauh-jauh dari pikiran anda.Asal tahu saja, terkadang honor yang kami terima lebih kecil dari para buruh yang bekerja di pabrik ( buruh itu lulusan SMP-SMA; dokter sekolahnya saja bahkan 10thn lebih lama). Bahkan beberapa dari kami hanya dibayar dengan sayuran dari hasil kebun atau ikan hasil tangkapan di laut. Tapi, semua itu kami jalankan dengan rasa ikhlas, karena kami memang tahu, Indonesia adalah negara yang miskin, yang penuh dengan koruptor yang duduk di pemerintahan. Bagaimana tidak, meskipun sudah digembor-gemborkan bahwa Indonesia sudah bebas dari KKN, tapi tetap saja gaji sejawat kami yang sedang menjalani PTT (pegawai tidak tetap) masih saja datang tidak tepat waktu. Bahkan ada beberapa laporan dari rekan sejawat kami kalau gaji itu belum juga di terima meski masa PTT sudah usai. Sungguh mengenaskan. Kami hanya ingin menolong, dengan bersuka rela menjadi dokter di tempat terpencil yang notabene jauh dari keramaian dan standar hidup yang sudah puluhan tahun kami lalui. Kami sudah berkorban waktu, kami sudah melawan bahaya (beberapa dokter PTT ada yang meninggal terkena cerebral malaria, mati tenggelam, bahkan harus berhadapan dengan tombak saat terjadi perang suku yang beberapa waktu lalu terjadi di bagian negara ini,), kami sudah memendam rindu terhadap orang-orang tercinta disekitar kami, tapi perlakuan terhadap kami masih seperti itu. Tapi sekali lagi, kami sudah mengerti berbagai macam resiko menjadi dokter dan kami siap menjalankan tugas dokter itu meski dihadang berbagai macam resiko itu.


Beberapa diantara kami yang bekerja di kota besar juga tidak begitu saja lepas dari resiko-resiko itu. Kalau anda ingat, sudah berapa kali beberapa orang diantara kami di tuduh melakukan malpraktek. Para korban ”malpraktek” ini meminta ganti rugi yang tidak masuk akal. Seperti yang kami bicarakan diatas, honor yang kami terima, terkadang dibawah UMR, kenapa kami harus di tuntut dengan nilai nominal yang sebegitu besar. Yang sampai menuntut 1 milyar lah. Padahal hal itu mungkin hanyalah miskomunikasi diantara kami dengan pasien. Tapi karena banyaknya para pihak ketiga mulai dari LSM (yang sangat aneh dan benar-benar mencari-cari kesalahan kami, padahal mereka tidak begitu tahu apa seluk-beluk ilmu kami) sampai para pengacara ( yang notabene juga sangat pandai mengipas-ngipasi para pasien sehingga melakukan tuntutan terhadap dokter dan tentu saja akan ikut menikmati uang tersebut).


Sebenarnya kalau anda-anda mau membuka buku-buku perundang-undangan, tidak ada pasal yang mencantumkan malpraktek( coba buka deh mulai dari permenkes, UU kesehatan thn 1992 sampe UU praktek kedokteran). Kalau anda mau membuka buku UU Praktek kedokteran, ternyata hukuman yang berlaku bagi kami adalah penjara, bukan kurungan ( tega nian yang membuat peraturan ini..)


Sekali lagi, kami hanya merawat, kami berusaha melakukan yang terbaik bagi pasien kami, kami melakukan segala sesuatu sesuai prosedur, tapi hidup mati seseorang bukan ditangan kami melainkan ditangan Allah SWT Tuhan yang memberi kehidupan, yang tentu saja jika ajal telah sampai akan mengambil kehidupan itu dari kita semua.


Jadi setelah mendengar cerita-cerita diatas, apakah anda juga ingin menjadi dokter? Atau memaksa anak anda menjadi dokter? Atau mencari pendamping hidup seorang dokter? Itu sebuah pilihan dan anda yang yang memilih. Tapi bagi kami, menjadi dokter adalah suatu kebanggaan, suatu prestasi yang bukan hanya dinilai di dunia melainkan juga dinilai di akhirat.


Dan bukan kah mencintai itu terkadang tidak membutuhkan alasan? Karena kami mencintai profesi kami ini tanpa sebuah alasan.


-->


hiks.. smoga bisa jadi bahan masukan buat kita smua..


para dokter dimanapun anda berada, ciayooooooooooooooooo!

-----
EXTENDED BODY:

-----
EXCERPT:

-----
KEYWORDS:

-----
COMMENT:
AUTHOR: Dadang
EMAIL: classix_17@yahoo.com
IP: 125.164.164.65
URL: http://www.friendster.com/10388479
DATE: 07/30/2007 03:07:08 PM
Good article.. kyknya perlu dipublikasikan tuh...
Tp bukan hanya dokter yg dinilai di akhirat.. semua profesi dinilai di akhirat. semua tergantung niatnya...
-----
COMMENT:
AUTHOR: Meta
EMAIL: metaterus@yahoo.com
IP: 202.152.172.2
URL: http://www.friendster.com/18617919
DATE: 07/31/2007 02:32:03 AM
Huehehehehehe.. betul skali om dokter dadang!;p

-----
COMMENT:
AUTHOR: rizQ
EMAIL: iturizQ@plasa.com
IP: 192.168.10.13
URL: http://www.friendster.com/47772876
DATE: 08/21/2007 07:11:29 AM
Q doa'in kak meta disana sukses pi jgn lpain kancmud ebs ya n jgn lpa bals email driqyu,CONGRATS YAH......
-----
COMMENT:
AUTHOR: zem
EMAIL: zem_dr@yahoo.co.id
IP: 192.168.7.80
URL: http://www.friendster.com/42628188
DATE: 12/06/2007 08:13:31 PM
Uji kompetensi hanyalah suatu cara yg lbh halus u/ memeras para dokter.
-----
COMMENT:
AUTHOR: Meta
EMAIL: metaterus@yahoo.com
IP: 202.152.173.181
URL: http://www.friendster.com/18617919
DATE: 12/07/2007 02:45:43 AM
stujuuuuuuuuuu!!
-g ptg bgt d-
-----

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...