Sudah cukup lama engga meng-update perkembangan Nayara nih! Yang jelas, tambah bawel, tambah kritis dan tukang protes. Setiap hari ada saja yang dikatakan Naya yang membuat saya amazed.
Di suatu pagi,
N: "Mama, kakak Aya kakinya sakit nih."
M: "Kenapa? Jatuh?"
N: "Engga tau, sakit aja. Halus diopelasi ma!"
M: *glek* "Kok harus dioperasi? Sini mama cium kakinya biar sembuh sakitnya."
N: "Engga bisa ma, ini sakitnya udah palah banget. Engga bisa dicium aja, halus diopelasi di lumah sakit." *merengek*
Saya: :)))))
(Kayaknya saya dan suami kebanyakan membahas masalah di rumah sakit di depan Naya deh nih)
Kesempatan lain,
N: "Ma, kakak Aya engga jadi cita-cita mau jadi dotelnya."
M: "Terus mau jadi apa?"
N: "Mau jadi pengantin!"
*emak lagi minum langsung keselek, shocked banget!:)))*
M: *pasang tampang sok cool* "Pengantin itu apa sih?"
N: "Itu lho ma, yang mobilnya baguuuuusss sekaliiiii, banyak bunga-bunga kayak kebunku walna walni."
Saya: *lega dan langsung ngakak*
Suatu sore,
N: "Mama, kenapa kakak Aya engga punya TV kayak punya kakak Tika (tetangga, Red) ? Besok beli ya di mall"
M: "Mama engga punya uang kak."
N: "Makanya mama tu kelja dong kayak mamanya kakak Tika, jangan di lumah sakit telus. Kalau kelja, nanti bisa dapat uang banyak. Bisa buat beli tv, baju tweety, bubul ayam, banyaaak..... *masih ngomel2 panjang lebar*.
M: -_______________________-"
Saat saya sedang sibuk membungkus buku saya untuk dikirimkan sebagai hadiah giveaway.
N: "Ini buku mama ya?"
M:"Iya kak"
N: "Nanti kalau kakak Aya sudah besal, kakak juga mau bikin buku kayak mama."
M: "Oh ya? Boleeeeh dong. Mau bikin buku apa kakak?"
N: "Buku gambal sama buku tulis."
:)))))))
Sore hari.
N: "Mama, papa Aya mana? Paktek ya?"
M: "Iya kak, papa lagi praktek."
N: "Paktek itu kata papa cali uang ma."
M: "Emmm.." *engga konsen*
N: "Jauh ma papa pakteknya?"
M: "Iya kak, jauh."
N: "Bilang papa ga usah jauh-jauh ma. Di Galaksi mol itu ada ATM. Papa bisa cali uang banyak disana. Enak, bisa sekalian naik ayam lagi."
:)))))))
Pada saat papanya diwisuda di kampus.
N: "Ini papa wisuda ya ma?"
M: "Iya, kayak kakak dulu diwisuda di Baby Smile."
N: "Kenapa papa wisudanya disini?"
M: "Ya kan papa sekolahnya di sini kak, wisudanya disini."
N: "Papa pindah aja sekolahnya di Baby Smile, bial wisudanya di mol kayak kakak. Enak adem, engga panas, bisa naik ayam juga nanti."
(Keukeuh lho ya itu naik ayam-_-")
Sekarang Naya sedang getol-getolnya berkhayal. Bolak/i minta ganti nama. Kemarin waktu lagi suka-sukanya cerita Pinokio, kami serumah harus memanggilnya Nayokio. Beberapa saat kemudian, Pinokio beralih menjadi Cinderella, dan nama Naya pun berubah menjadi Nayalela. (Sering diplesetkan bapake jadi Mpok Lela:p). Setelah itu cerita Alibaba dimana Naya menjadi Nayibaba. Ah entahlah, berubah terus setiap saat. Saya kadang bingung juga, tapi lucu sih:))
Bisa saja hari ini Naya sibuk menunggang guling (ceritanya kuda) berpura-pura menjadi Nayokio, kemudian berpura-pura pakai sepatu kaca (baca: kardus sepatu, ceritanya sepatu kaca-_-") jadi Nayalela, lalu pretending terbang pakai selimut jadi Nayibaba (Seperti ALibaba dan permadani terbang).
Setiap hari adaaaaaaaaa saja, bikin betah di rumah:D
I LOOOOVE YOU to the moon and back, Nayokio, Nayalela dan Nayibaba:*
Wednesday, October 30, 2013
Tuesday, October 29, 2013
Emang Enak Jadi Dokter?
"Jadi dokter itu enak. Tinggal usap-usap 5 menit, ngobrol sebentar, uangnya banyak. Bisa ke luar negeri bolak/i, mobil mewah, rumah gede."
Ada yang punya pikiran seperti itu? Saya yakin banyak. Banyak banget malah. Makanya engga heran banyak orangtua yang mencita-citakan anaknya menjadi dokter. Bener engga?:p
Beberapa hari yang lalu ada perayaan hari dokter nasional. Saya iseng-iseng googling tulisan dengan keywords "Dokter di Indonesia". Yang keluar dari sana kebanyakan adalah tulisan dokter yang menuntut perbaikan nasib, kasus dokter yang dituntut malpraktik sampai curhat dokter di istana negara soal tunjangan yang minim.
Gegara membaca tulisan-tulisan tadi saya jadi sedikit banyak ikut merenung. Di masyarakat luas, yang banyak diketahui adalah profesi dokter merupakan profesi terhormat yang gampang untuk sukses (baca: kaya raya) . Bahwa dokter banyak bermain kotor dengan pabrik obat sehingga gampang sekali meresepkan obat mahal untuk pasiennya yang bahkan mungkin tidak diperlukan. Bahwa dokter, dengan bayarannya yang terhitung mahal, harus siap siaga 24 jam tanpa boleh salah.
Banyak (banget) yang masyarakat umum tidak ketahui.
Sekolah dokter itu lama. Dan mahal. Saya ingat, sewaktu masih kuliah dulu, saya sempat malu hati ketika teman-teman SMA saya satu persatu lulus dan mulai bekerja di berbagai perusahaan. Ada yang cerita ke saya bahwa gaji pertamanya langsung dibelikan sepatu bermerk untuk ibunya. Sementara saya? Boro-boro gaji pertama, untuk bisa ujian semester saja masih harus meminta pada mama. Bukan rahasia lagi kalau buku kedokteran harganya mahaaaal. Jaman saya sepuluh tahun yang lalu, harga buku atlas anatomi Sobotta (yang hanya terpakai satu semester) satu setnya mencapai hampir 2 juta rupiah. Itu baru satu mata kuliah lho. (Kalau ada yang nyeletuk "fotokopi aja!"--> pasti engga tahu deh atlas tuh yang kayak gimana:)))) ). Belum lagi untuk mata kuliah yang lain.
Saya engga pernah beli buku textbook karena "kasihan" pada mama saya yang single parent. Jadilah saya rajin sekali menginap di rumah sahabat untuk nebeng belajar dari bukunya. Untuk buku-buku semacam atlas, saya foto pakai handphone supaya bisa berulang-ulang dipelajari. Terkadang saya dapat pinjaman dari sepupu. Hahaha, ngirit ya. Saya juga sangat rajin mencatat setiap kuliah dosen. Bukan karena saya pintar atau termasuk anak rajin-yang-mau-dapat-nilai-bagus-tiap-ujian. Bukaaaan. Alasannya simple, hanya karena saya engga punya uang untuk beli buku mahal, dan juga engga punya uang untuk membayar semester pendek kalau-kalau ujian saya tidak lulus. Daripada menghabiskan waktu liburan untuk semester pendek, lebih baik saya bekerja mencari uang buat jajan. Alhamdulillah, saya masih bisa membagi waktu dengan baik untuk bekerja sambilan. Jadi penyiar, presenter, MC, penulis kontributor di majalah, apa sajalah yang saya bisa kerjakan. Saya bahkan pernah melamar jadi SPG lho! Hanya saja begitu melihat seragam yang harus saya pakai, duh engga jadi deh:p
Ada yang bilang "Iyaa, engga apa-apalah. Bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian. Nanti kan setelah lulus dokter bisa cari uang yang banyak." Really?
Setelah lulus dokter, saya langsung diterima bekerja di klinik yang cukup punya nama. Gedungnya bertingkat, full AC, berlift dan kebanyakan pasiennya adalah orang kantoran yang bekerja di gedung yang sama. Pikiran orang (termasuk teman kost saya) waktu itu selalu "Wah kan kamu udah dokter, udah kerja, pasti kaya raya." Sayang sekali, asal tahu aja nih, "gaji" yang saya peroleh adalah harian. Setiap hari, saya diberi uang duduk Rp. 6000,00 saja. Kebayang engga, langsung habis kepotong uang parkir:))) Kalau ada pasien lain lagi, per orangnya saya mendapat tambahan RP. 5.000,00. Alhamdulillah, sedikit pun tidak pernah saya sesali.
Kalau mau hitung-hitungan, uang yang saya dapatkan dari "pekerjaan sambilan" saya jauuuuh lebih banyak dibandingkan dengan menjadi dokter. Selain itu, bekerja sebagai penyiar tidak berisiko tinggi, setidaknya engga bawa-bawa nyawa orang. Menyenangkan pula, bisa bertemu dengan artis-artis, mendengarkan lagu terbaru, tempatnya berAC, tanpa modal, dengan jam kerja yang masuk akal. Saya masih bisa nongkrong di mall, nyalon atau sekedar membaca buku di rumah. Lebih masuk akal dibanding dokter yang sepertinya harus menjadi seperti dewa, tidak boleh berhenti bekerja. Tapi saya engga pernah menyesal sedikit pun menjadi dokter walaupun kenyataannya "bayarannya" tidak sebanyak yang dibayangkan orang.
Kenapa?
Sejak kecil dulu, papa yang dokter selalu menyadarkan saya, boleh-boleh saja bercita-cita jadi dokter. Tapi luruskan dulu tujuannya. Mau apa? Mau kaya? Jangan. Mau bisa keliling luar negeri? Jangan. Mau punya rumah mewah? Jangan. Mau punya mobil banyak? Jangan. Just dont. Kalau itu yang dicari, sebaiknya cari pekerjaan lain saja. Pengusaha atau bekerja di perusahaan asing sepertinya akan lebih menjanjikan. Kalau papa saya bilang sih "Kalau mau kaya jadi penyanyi kayak Britney Spears aja:p" (Harap maklum, waktu itu si Britney lagi happening berat).
Papa saya selalu bilang, menjadi dokter adalah amanah. Tidak semua orang 'terpilih' untuk mendapat amanah tersebut. Jangan sekali-kali terpikir untuk mencari uang dari menolong orang. Engga munafik, sebagai manusia pun tentu kita membutuhkan uang untuk hidup. Tapi papa saya yakin, kalau kita menolong orang, Allah akan membalas dengan selalu menolong kita untuk tetap bertahan hidup. Papa saya dulu adalah seorang dokter anak satu-satunya di suatu kecamatan di desa kecil. Pasiennya banyaaaaak sekali. Saya ingat betul, beliau jarang bisa beristirahat. Setiap saat, ada saja pasien yang mengetuk pintu rumah, bahkan di jam 1 pagi. Yang kejanglah, yang sesaklah, selalu ada. Setelah dilayani, banyak yang tidak membayar. Papa saya engga pernah marah. (Palingan anak cewek satu-satunya yang judes ini protes:p). Tapi memang Allah maha adil, alhamdulillah keluarga kami selalu mendapat rejeki. Adaaaaaa saja jalannya.
Papa selalu mengingatkan saya, menjadi dokter memang berat. Anggap saja menabung bekal di akhirat kelak. Insya Allah, niat baik selalu diketahui Allah SWT.
Saya jadi ingat postingan yang bersliweran di Path kemarin. Sudah lihat belum?
Ada yang membandingkan dokter dengan buruh. Dengan pendidikan terakhir SMP, buruh menuntut gaji kepala 3 koma sekian juta. Sementara dokter yang belajar dan sekolah sekian lama serta mahal, di pelosok dimana listrik pun kadang ada kadang engga "hanya" digaji pemerintah 1,2 juta/bulan. Itu pun selalu macet, terkadang baru keluar 3 bulan kemudian. Hari gini 1,2 juta/bulan? Mungkin banyak yang engga percaya, tapi begitulah keadaannya:)
Ada juga yang membandingkan dokter dengan anggota DPR. Ini sih saya no comment ah:p
Oke, sudahlah ya ngomongin soal "bayaran". Ada yang lebih penting dari ini.
Pernah terpikir engga, bahwa dokter yang sekarang sedang praktik di depan anda, yang tadi anda maki dalam hati karena membuat anda menunggu terlalu lama di dalam antrian baru saja visite atau mengunjungi pasien lainnya di ujung kota lainnya? Dokter ini tergesa-gesa menyetir dalam kemacetan untuk menemui anda sampai hampir mengalami kecelakaan lalu lintas?
Pernah terpikir engga, kalau dokter yang sedang menangani keluarga anda di malam hari bahkan belum menyentuh makanan sejak tadi pagi karena demikian sibuknya? Tidur terakhirnya mungkin saja sudah 2 hari yang lalu. Dengan tampang letih dan senyum yang bisa jadi dipaksakan, dokter ini dituntut melayani dengan performa terbaik, dengan fungsi mental yang sempurna. Sementara anda sibuk membatin kenapa dokter ini tampak malas-malasan melayani anda.
Pernah terpikir engga, kalau dokter yang sedang memeriksa ayah anda malam hari (dan sempat membuat anda mengomel "kenapa malem banget sih datengnya") sedang sakit dan bahkan tidak mau beristirahat karena merasa bertanggungjawab dengan pasiennya? Ironi memang, saya mengenal banyak dokter yang akhirnya meninggal karena suatu penyakit. Dia sendiri mengetahui penyakitnya, tapi karena mengurusi orang lain, lebih sering mengabaikan keluhannya sendiri, lebih sering tidak mengikuti pola hidup sehat. Bagaimana mau hidup sehat kalau makan tidak teratur, tidur jarang-jarang, stress tingkat tinggi?
Pernah terpikir engga kalau dokter yang harus menerima telepon saat sedang melayani anda sebetulnya sedang dilapori pasiennya yang lain sedang dalam kondisi kritis? Saat anda lagi-lagi memaki dalam hati "Engga sopan banget ni dokter", dokter tersebut sedang berusaha menyelamatkan nyawa orang lain?
Pernah terpikir bagaimana perasaan dokter yang sedang memeriksa anak anda dan anda omeli dalam hati karena terkesan terburu-buru melayani anda. "Minta dibayar, tapi kok cepet-cepetan" Begitu mungkin anda membatin. Pernah terpikir engga, bisa saja dokter tersebut sedang meninggalkan anak kandungnya yang panas tinggi di rumah, khawatir kejang tanpa pengawasan ibunya yang "lebih memilih" mengurusi anak orang lain?
Pernah terpikir engga kalau kasus malpraktik yang marak beredar disana-sini murni bukan mutlak kesalahan dokternya? Yang sering, pasien mengira atau menuntut malpraktik, padahal yang terjadi hanyalah perjalanan penyakit biasa. Saya pernah nih mengalami. Ada pasien anak yang terkena meningitis atau radang otak. Salah satu prosedur adalah pemeriksaan lumbal pungsi (mengambil cairan dari tulang belakang untuk menganalisa jenis bakteri). Tanpa atau dengan pemeriksaan ini, pasien meningitis juga bisa mengalami kelemahan atau kelumpuhan di anggota geraknya. Kebetulan pada saat itu, pasien ini langsung tidak bisa berjalan setelah dilakukan lumbal pungsi. Keluarga langsung menyalahkan dokter dan menganggap hal tsb malpraktik. Kesalahan dokternya memang karena kurang menginformasikan ini pada keluarga pasien. Dengan sekian banyak pasien yang mengantri, semua minta didulukan karena merasa lebih penting, wajar saja bukan manusia bergelar dokter ini luput?
Saya bukannya bilang dokter selalu benar. Sama seperti profesi apapun, yang namanya oknum pasti selalu saja ada. Saya engga menutup mata, memang ada OKNUM yang mencoreng nama baik dokter. Rajin meresepkan obat mahal yang tidak perlu untuk kejar setoran, adalah salah satu contohnya. Atau seperti yang saya baca hasil googling tadi, dokter mata duitan bisa saja memang ada. Tapi sama seperti oknum-oknum lainnya, tidak semua dokter begini. Saya yakin, masih banyak dokter yang mau melayani dengan hati. Perlu diingat baik-baik, bahwa dokter adalah manusia juga. Sama seperti anda, apapun profesinya. Manusia tidak ada yang sempurna, butuh istirahat, butuh makan, bisa lupa, bisa capek juga. Jangan berburuk sangka dulu, memang mudah menuduh malpraktik, menuduh tidak menghargai, menuduh mata duitan dan segala tuduhan lainnya. Mudah bukan berarti benar kan?
Masih berpikir dokter adalah profesi yang paling enak? Coba pikir sekali lagi:)
Selamat hari dokter!
*1 November 2013, saya menulis klarifikasi tulisan ini. Bisa dibaca di :
http://www.metahanindita.com/2013/11/respond-to-emang-enak-jadi-dokter.html
Ada yang punya pikiran seperti itu? Saya yakin banyak. Banyak banget malah. Makanya engga heran banyak orangtua yang mencita-citakan anaknya menjadi dokter. Bener engga?:p
Beberapa hari yang lalu ada perayaan hari dokter nasional. Saya iseng-iseng googling tulisan dengan keywords "Dokter di Indonesia". Yang keluar dari sana kebanyakan adalah tulisan dokter yang menuntut perbaikan nasib, kasus dokter yang dituntut malpraktik sampai curhat dokter di istana negara soal tunjangan yang minim.
Gegara membaca tulisan-tulisan tadi saya jadi sedikit banyak ikut merenung. Di masyarakat luas, yang banyak diketahui adalah profesi dokter merupakan profesi terhormat yang gampang untuk sukses (baca: kaya raya) . Bahwa dokter banyak bermain kotor dengan pabrik obat sehingga gampang sekali meresepkan obat mahal untuk pasiennya yang bahkan mungkin tidak diperlukan. Bahwa dokter, dengan bayarannya yang terhitung mahal, harus siap siaga 24 jam tanpa boleh salah.
Banyak (banget) yang masyarakat umum tidak ketahui.
Sekolah dokter itu lama. Dan mahal. Saya ingat, sewaktu masih kuliah dulu, saya sempat malu hati ketika teman-teman SMA saya satu persatu lulus dan mulai bekerja di berbagai perusahaan. Ada yang cerita ke saya bahwa gaji pertamanya langsung dibelikan sepatu bermerk untuk ibunya. Sementara saya? Boro-boro gaji pertama, untuk bisa ujian semester saja masih harus meminta pada mama. Bukan rahasia lagi kalau buku kedokteran harganya mahaaaal. Jaman saya sepuluh tahun yang lalu, harga buku atlas anatomi Sobotta (yang hanya terpakai satu semester) satu setnya mencapai hampir 2 juta rupiah. Itu baru satu mata kuliah lho. (Kalau ada yang nyeletuk "fotokopi aja!"--> pasti engga tahu deh atlas tuh yang kayak gimana:)))) ). Belum lagi untuk mata kuliah yang lain.
Saya engga pernah beli buku textbook karena "kasihan" pada mama saya yang single parent. Jadilah saya rajin sekali menginap di rumah sahabat untuk nebeng belajar dari bukunya. Untuk buku-buku semacam atlas, saya foto pakai handphone supaya bisa berulang-ulang dipelajari. Terkadang saya dapat pinjaman dari sepupu. Hahaha, ngirit ya. Saya juga sangat rajin mencatat setiap kuliah dosen. Bukan karena saya pintar atau termasuk anak rajin-yang-mau-dapat-nilai-bagus-tiap-ujian. Bukaaaan. Alasannya simple, hanya karena saya engga punya uang untuk beli buku mahal, dan juga engga punya uang untuk membayar semester pendek kalau-kalau ujian saya tidak lulus. Daripada menghabiskan waktu liburan untuk semester pendek, lebih baik saya bekerja mencari uang buat jajan. Alhamdulillah, saya masih bisa membagi waktu dengan baik untuk bekerja sambilan. Jadi penyiar, presenter, MC, penulis kontributor di majalah, apa sajalah yang saya bisa kerjakan. Saya bahkan pernah melamar jadi SPG lho! Hanya saja begitu melihat seragam yang harus saya pakai, duh engga jadi deh:p
Ada yang bilang "Iyaa, engga apa-apalah. Bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian. Nanti kan setelah lulus dokter bisa cari uang yang banyak." Really?
Setelah lulus dokter, saya langsung diterima bekerja di klinik yang cukup punya nama. Gedungnya bertingkat, full AC, berlift dan kebanyakan pasiennya adalah orang kantoran yang bekerja di gedung yang sama. Pikiran orang (termasuk teman kost saya) waktu itu selalu "Wah kan kamu udah dokter, udah kerja, pasti kaya raya." Sayang sekali, asal tahu aja nih, "gaji" yang saya peroleh adalah harian. Setiap hari, saya diberi uang duduk Rp. 6000,00 saja. Kebayang engga, langsung habis kepotong uang parkir:))) Kalau ada pasien lain lagi, per orangnya saya mendapat tambahan RP. 5.000,00. Alhamdulillah, sedikit pun tidak pernah saya sesali.
Kalau mau hitung-hitungan, uang yang saya dapatkan dari "pekerjaan sambilan" saya jauuuuh lebih banyak dibandingkan dengan menjadi dokter. Selain itu, bekerja sebagai penyiar tidak berisiko tinggi, setidaknya engga bawa-bawa nyawa orang. Menyenangkan pula, bisa bertemu dengan artis-artis, mendengarkan lagu terbaru, tempatnya berAC, tanpa modal, dengan jam kerja yang masuk akal. Saya masih bisa nongkrong di mall, nyalon atau sekedar membaca buku di rumah. Lebih masuk akal dibanding dokter yang sepertinya harus menjadi seperti dewa, tidak boleh berhenti bekerja. Tapi saya engga pernah menyesal sedikit pun menjadi dokter walaupun kenyataannya "bayarannya" tidak sebanyak yang dibayangkan orang.
Kenapa?
Sejak kecil dulu, papa yang dokter selalu menyadarkan saya, boleh-boleh saja bercita-cita jadi dokter. Tapi luruskan dulu tujuannya. Mau apa? Mau kaya? Jangan. Mau bisa keliling luar negeri? Jangan. Mau punya rumah mewah? Jangan. Mau punya mobil banyak? Jangan. Just dont. Kalau itu yang dicari, sebaiknya cari pekerjaan lain saja. Pengusaha atau bekerja di perusahaan asing sepertinya akan lebih menjanjikan. Kalau papa saya bilang sih "Kalau mau kaya jadi penyanyi kayak Britney Spears aja:p" (Harap maklum, waktu itu si Britney lagi happening berat).
Papa saya selalu bilang, menjadi dokter adalah amanah. Tidak semua orang 'terpilih' untuk mendapat amanah tersebut. Jangan sekali-kali terpikir untuk mencari uang dari menolong orang. Engga munafik, sebagai manusia pun tentu kita membutuhkan uang untuk hidup. Tapi papa saya yakin, kalau kita menolong orang, Allah akan membalas dengan selalu menolong kita untuk tetap bertahan hidup. Papa saya dulu adalah seorang dokter anak satu-satunya di suatu kecamatan di desa kecil. Pasiennya banyaaaaak sekali. Saya ingat betul, beliau jarang bisa beristirahat. Setiap saat, ada saja pasien yang mengetuk pintu rumah, bahkan di jam 1 pagi. Yang kejanglah, yang sesaklah, selalu ada. Setelah dilayani, banyak yang tidak membayar. Papa saya engga pernah marah. (Palingan anak cewek satu-satunya yang judes ini protes:p). Tapi memang Allah maha adil, alhamdulillah keluarga kami selalu mendapat rejeki. Adaaaaaa saja jalannya.
Papa selalu mengingatkan saya, menjadi dokter memang berat. Anggap saja menabung bekal di akhirat kelak. Insya Allah, niat baik selalu diketahui Allah SWT.
Saya jadi ingat postingan yang bersliweran di Path kemarin. Sudah lihat belum?
Ada yang membandingkan dokter dengan buruh. Dengan pendidikan terakhir SMP, buruh menuntut gaji kepala 3 koma sekian juta. Sementara dokter yang belajar dan sekolah sekian lama serta mahal, di pelosok dimana listrik pun kadang ada kadang engga "hanya" digaji pemerintah 1,2 juta/bulan. Itu pun selalu macet, terkadang baru keluar 3 bulan kemudian. Hari gini 1,2 juta/bulan? Mungkin banyak yang engga percaya, tapi begitulah keadaannya:)
Ada juga yang membandingkan dokter dengan anggota DPR. Ini sih saya no comment ah:p
Oke, sudahlah ya ngomongin soal "bayaran". Ada yang lebih penting dari ini.
Pernah terpikir engga, bahwa dokter yang sekarang sedang praktik di depan anda, yang tadi anda maki dalam hati karena membuat anda menunggu terlalu lama di dalam antrian baru saja visite atau mengunjungi pasien lainnya di ujung kota lainnya? Dokter ini tergesa-gesa menyetir dalam kemacetan untuk menemui anda sampai hampir mengalami kecelakaan lalu lintas?
Pernah terpikir engga, kalau dokter yang sedang menangani keluarga anda di malam hari bahkan belum menyentuh makanan sejak tadi pagi karena demikian sibuknya? Tidur terakhirnya mungkin saja sudah 2 hari yang lalu. Dengan tampang letih dan senyum yang bisa jadi dipaksakan, dokter ini dituntut melayani dengan performa terbaik, dengan fungsi mental yang sempurna. Sementara anda sibuk membatin kenapa dokter ini tampak malas-malasan melayani anda.
Pernah terpikir engga, kalau dokter yang sedang memeriksa ayah anda malam hari (dan sempat membuat anda mengomel "kenapa malem banget sih datengnya") sedang sakit dan bahkan tidak mau beristirahat karena merasa bertanggungjawab dengan pasiennya? Ironi memang, saya mengenal banyak dokter yang akhirnya meninggal karena suatu penyakit. Dia sendiri mengetahui penyakitnya, tapi karena mengurusi orang lain, lebih sering mengabaikan keluhannya sendiri, lebih sering tidak mengikuti pola hidup sehat. Bagaimana mau hidup sehat kalau makan tidak teratur, tidur jarang-jarang, stress tingkat tinggi?
Pernah terpikir engga kalau dokter yang harus menerima telepon saat sedang melayani anda sebetulnya sedang dilapori pasiennya yang lain sedang dalam kondisi kritis? Saat anda lagi-lagi memaki dalam hati "Engga sopan banget ni dokter", dokter tersebut sedang berusaha menyelamatkan nyawa orang lain?
Pernah terpikir bagaimana perasaan dokter yang sedang memeriksa anak anda dan anda omeli dalam hati karena terkesan terburu-buru melayani anda. "Minta dibayar, tapi kok cepet-cepetan" Begitu mungkin anda membatin. Pernah terpikir engga, bisa saja dokter tersebut sedang meninggalkan anak kandungnya yang panas tinggi di rumah, khawatir kejang tanpa pengawasan ibunya yang "lebih memilih" mengurusi anak orang lain?
Pernah terpikir engga kalau kasus malpraktik yang marak beredar disana-sini murni bukan mutlak kesalahan dokternya? Yang sering, pasien mengira atau menuntut malpraktik, padahal yang terjadi hanyalah perjalanan penyakit biasa. Saya pernah nih mengalami. Ada pasien anak yang terkena meningitis atau radang otak. Salah satu prosedur adalah pemeriksaan lumbal pungsi (mengambil cairan dari tulang belakang untuk menganalisa jenis bakteri). Tanpa atau dengan pemeriksaan ini, pasien meningitis juga bisa mengalami kelemahan atau kelumpuhan di anggota geraknya. Kebetulan pada saat itu, pasien ini langsung tidak bisa berjalan setelah dilakukan lumbal pungsi. Keluarga langsung menyalahkan dokter dan menganggap hal tsb malpraktik. Kesalahan dokternya memang karena kurang menginformasikan ini pada keluarga pasien. Dengan sekian banyak pasien yang mengantri, semua minta didulukan karena merasa lebih penting, wajar saja bukan manusia bergelar dokter ini luput?
Saya bukannya bilang dokter selalu benar. Sama seperti profesi apapun, yang namanya oknum pasti selalu saja ada. Saya engga menutup mata, memang ada OKNUM yang mencoreng nama baik dokter. Rajin meresepkan obat mahal yang tidak perlu untuk kejar setoran, adalah salah satu contohnya. Atau seperti yang saya baca hasil googling tadi, dokter mata duitan bisa saja memang ada. Tapi sama seperti oknum-oknum lainnya, tidak semua dokter begini. Saya yakin, masih banyak dokter yang mau melayani dengan hati. Perlu diingat baik-baik, bahwa dokter adalah manusia juga. Sama seperti anda, apapun profesinya. Manusia tidak ada yang sempurna, butuh istirahat, butuh makan, bisa lupa, bisa capek juga. Jangan berburuk sangka dulu, memang mudah menuduh malpraktik, menuduh tidak menghargai, menuduh mata duitan dan segala tuduhan lainnya. Mudah bukan berarti benar kan?
Masih berpikir dokter adalah profesi yang paling enak? Coba pikir sekali lagi:)
Selamat hari dokter!
*1 November 2013, saya menulis klarifikasi tulisan ini. Bisa dibaca di :
http://www.metahanindita.com/2013/11/respond-to-emang-enak-jadi-dokter.html
Monday, October 28, 2013
Review Dont Worry to be A Mommy!
Buat penulis yang baru aja ngerilis bukunya seperti saya, saat-saat menunggu review dari pembaca adalah saat-saat yang paling menegangkan. Rasanya dag-dig-dug banget mengetahui ada orang yang membaca buku saya. Penasaran, tentunya, ingin tahu bagaimana pendapat mereka.
Hampir sebulan buku saya dirilis, walaupun di toko buku memang baru beredar semingguan ini. Saya sudah mendapatkan beberapa respons yang menyenangkan dan melegakan hati. Terima kasih ya untuk semua yang bersedia mereview buku saya. It means a lot to me:)
Yang pertama, ini adalah review singkat dari mbak Enno Lerian, iyaaa mantan penyanyi cilik idola saya dulu. Waktu pertama kali dia mengirimi saya pesan ini, yak ampuuun gemeteran eykeeeh! *lebay* Coba aja dia tau, saya punya semua albumnya, semua majalah Bobo dan tabloid Fantasi yang memuat doa dulu:p
Review kedua yang saya terima adalah dari dr. Dirga Rambe, vaksinolog Indonesia pertama. Walaupun Dirga memang adalah salah satu teman dekat saya, reviewnya ini tanpa paksaan lho ya:p
Masih ada beberapa lagi review yang saya terima tapi belum saya kumpulkan Nanti yaaa..
Sementara, sudah ada beberapa blogger yang mereview buku #DWTBAM ini di blog mereka masing-masing. Sila klik:
1. http://momsbooksclub.blogspot.com/2013/10/menjadi-ibu-bekerja-dengan-hati.html
2. http://www.atiqohhasan.com/2013/10/don-worry-to-be-mommy.html?m=1
3. http://mardiasih.tumblr.com/post/63150737534/review-buku-dont-worry-to-be-a-mommy
4. http://ratnawahyu.blogspot.com/2013/10/dont-worry-to-be-mommy-review.html
5. http://kharismazizah.blogspot.com/2013/11/dont-worry-to-be-mommy.html
6. http://bundasikecil.blogspot.com/2013/11/menjadi-ibu-tanpa-rasa-khawatir.html
7. http://catatanhatiibubahagia.blogspot.com/2013/11/dont-worry-to-be-mommy-motherhood-is.html
8. http://bintaelmamba.blogspot.com/2013/11/liku-liku-menjadi-ibu-dalam-sebuah-buku.html
Hampir sebulan buku saya dirilis, walaupun di toko buku memang baru beredar semingguan ini. Saya sudah mendapatkan beberapa respons yang menyenangkan dan melegakan hati. Terima kasih ya untuk semua yang bersedia mereview buku saya. It means a lot to me:)
Yang pertama, ini adalah review singkat dari mbak Enno Lerian, iyaaa mantan penyanyi cilik idola saya dulu. Waktu pertama kali dia mengirimi saya pesan ini, yak ampuuun gemeteran eykeeeh! *lebay* Coba aja dia tau, saya punya semua albumnya, semua majalah Bobo dan tabloid Fantasi yang memuat doa dulu:p
Review kedua yang saya terima adalah dari dr. Dirga Rambe, vaksinolog Indonesia pertama. Walaupun Dirga memang adalah salah satu teman dekat saya, reviewnya ini tanpa paksaan lho ya:p
Akuh terharuuuu:') *lebay!*:p |
Review kedua yang saya terima |
Sementara, sudah ada beberapa blogger yang mereview buku #DWTBAM ini di blog mereka masing-masing. Sila klik:
1. http://momsbooksclub.blogspot.com/2013/10/menjadi-ibu-bekerja-dengan-hati.html
2. http://www.atiqohhasan.com/2013/10/don-worry-to-be-mommy.html?m=1
3. http://mardiasih.tumblr.com/post/63150737534/review-buku-dont-worry-to-be-a-mommy
4. http://ratnawahyu.blogspot.com/2013/10/dont-worry-to-be-mommy-review.html
5. http://kharismazizah.blogspot.com/2013/11/dont-worry-to-be-mommy.html
6. http://bundasikecil.blogspot.com/2013/11/menjadi-ibu-tanpa-rasa-khawatir.html
7. http://catatanhatiibubahagia.blogspot.com/2013/11/dont-worry-to-be-mommy-motherhood-is.html
8. http://bintaelmamba.blogspot.com/2013/11/liku-liku-menjadi-ibu-dalam-sebuah-buku.html
9. http://punyahannawilbur.wordpress.com/2013/11/20/review-buku-dont-worry-to-be-a-mommy/
10. http://hamasah-uwi.blogspot.com/2013/11/review-buku-dont-worry-to-be-mommy-saya.html
Di media pun sudah ada beberapa reviewnya:
1. Majalah Femina
2. MommiesDaily
3. Majalah Ayahbunda
Sampai saat ini, saya masih disibukkan dengan sejuta rencana promo buku, walaupun biasanya terkadang gegara keterbatasan waktu semua hanya rencana saja:p
Buat yang mau dapetin gratisannya, tenaaaang, masih banyak kuis dan giveaway yang bakal digelar. Stay tunelah makanya di twitter @metahanindita atau fb page: Meta Hanindita.
Yang sudah beli, ayooo mana reviewnya?:p Yang belum beli, beli dong ah:p
10. http://hamasah-uwi.blogspot.com/2013/11/review-buku-dont-worry-to-be-mommy-saya.html
Di media pun sudah ada beberapa reviewnya:
1. Majalah Femina
2. MommiesDaily
3. Majalah Ayahbunda
Sampai saat ini, saya masih disibukkan dengan sejuta rencana promo buku, walaupun biasanya terkadang gegara keterbatasan waktu semua hanya rencana saja:p
Buat yang mau dapetin gratisannya, tenaaaang, masih banyak kuis dan giveaway yang bakal digelar. Stay tunelah makanya di twitter @metahanindita atau fb page: Meta Hanindita.
Yang sudah beli, ayooo mana reviewnya?:p Yang belum beli, beli dong ah:p
Thursday, October 24, 2013
Passion
Kemarin, saya sempat terdiam beberapa saat waktu seorang teman bertanya.
" Sebenarnya passion kamu itu apa sih? Kok semuanya diborong? Jadi dokter? Siaran radio? Syuting? Menulis? Atau apa?"
Jujur, saya terdiam karena bingung juga bagaimana harus menjawab.
Jawaban saya akan sangat tergantung pada definisi dari passion itu sendiri. Sebenarnya apa sih passion? Apa bedanya dengan hobi? Atau dengan profesi? Apakah sama? Apa bedanya juga dengan bakat?
Kalau passion sama dengan hobi atau kesukaan, wah passion saya banyaaaak!
Saya suka menjadi dokter. Alasannya banyak. Dengan menjadi dokter, saya punya kesempatan banyaaaak sekali untuk menyadari betapa beruntungnya saya. Setiap saat, saya selalu disadarkan untuk bersyukur. Ngaku deh, saya sering banget ngeluh. Segala macam bisa jadi subyeknya. Mulai cuaca yang panas -tapi beneran, Surabaya kok sekarang panasnya bangetbangetbanget sih? Apa Matahari buka cabang lagi?-, ngantuk gegara kurang tidur, capek jaga melulu, penelitian engga kelar-kelar, macet, dll dll. Kalau saya jabarin satu-satu bisa jadi buku terbaru mungkin:p
Setiap menghadapi anak kecil imut-imut yang mengidap penyakit ini-itu dan mereka jalani tanpa mengeluh, sungguh saya malu dan merasa diingatkan:) Menolong orang juga membuat saya senang karena merasa bisa melakukan sesuatu untuk orang lain.
Saya suka menjadi penyiar. Selain karena emang hobi ngomong, saya suka mendengarkan radio dari dulu. Saking inginnya jadi penyiar, waktu kecil saya sering merekam suara saya lalu 'memaksa' papa mama untuk mendengarkan hahaha. Malu-maluin banget yak:p Saya engga pernah ikutan pelatihan siaran atau sekolah broadcasting. Engga pernah juga ada orang yang ngajarin saya secara khusus. Saya selalu menyempatkan diri untuk siaran sesibuk apapun saya, biarpun ngebela-belain berangkat jam 3 pagi:)) I think its a way to keep my insanity! Buat orang yang dekat dengan saya dan tahu saya banget, pasti engga bakalan deh nanya "Kok masih sempat siaran?":D
Saya suka menjadi presenter. Membawakan satu berita dengan baik, membuat yang menonton tertarik itu satu tantangan tersendiri. Kalau buat orang lain seperti suami saya adrenalin rush biasanya didapatkan dari kegiatan 'olahraga jantung' macam bungee jumping atau parasailing, buat saya jauh lebih sederhana. Cukup berada di depan layar kamera untuk syuting live:p (Soalnya saya penakut, dan engga bakalan pernah mau mencoba bungee jumping hehe).
Saya suka menulis. Saya engga pernah kepikiran kalau akan jadi penulis. Engga pernah sama sekali. Saya bahkan engga tahu lho teorinya bagaimana menulis buku yang baik, Serius.Tapi toh itu tidak mengurangi kesukaan saya menulis. Saya menulis apa saja, yang sedang saya pikirkan. Dimana saja, terkadang di kamar mandi atau di parkiran mobil. Menurut saya kegemaran menulis ini terlahir dari kegemaran membaca. Saya ini suka banget baca. Semua buku saya baca. Majalah juga. kadang-kadang brosur harga diskonan di supermarket juga saya lalap. -Emang emak-emak aja:p-
Saya suka main piano. Biarpun engga jago, dan lagu yang dikuasai ya itu-itu saja, tetap saja saya menyukainya.Buat saya, suara piano adalah suara alat musik terindah di dunia. Apalagi kalau yang main emang gape;)
Saya suka bernyanyi. Teriak-teriak kadang:p Iya saya tahu kok, suara saya engga enak didengar. Walaupun engga buta nada dan buta irama, tapi suami saya yang paling jujur bilang suara saya paling didengar kalau lagi engga nyanyi. Tapi sekali lagi, saya suka bernyanyi. Toh kalau memang benar passion artinya sama dengan hobi, engga ada hubungannya dengan hasil yang bagus kan? Yang penting suka, belum tentu harus bagus.
Lain ceritanya kalau passion berarti bakat. it means something that you're good at. Sejujurnya, saya sendiri engga tahu apa bakat saya. Duluuu waktu SMA dan sedang heboh-hebohnya penjurusan, saya pernah ikut tes minat dan bakat. Hasilnya, kata tes itu saya berbakat dalam bidang bahasa. Waktu baca hasil tesnya itu saya happy banget, berharap tes tsb akurat. Ya kali aja bisa jadi polyglot gitu:p Makanya saya langsung daftar les bahasa ini-itu, termasuk bahasa Jerman dan Perancis. Lumayan lho, saya pernah les bahasa Perancis 4 taun. Hasilnya? Errrrr yang saya ingat sampai sekarang cuma bahasa Inggris. Itu pun pas-pasan:))) Makin lama, saya makin curiga. Kayaknya tes minat dan bakat yang bilang saya berbakat di bahasa itu ngawur deh. Contoh paling gampang, 12 tahun jadi arek Suroboyo, saya masih engga bisa tuh bahasa Jawa-_-"
Jangan ditanya soal olahraga ya. Boro-boro bakat, suka aja engga kok:@ Memasak? No. Crafting? No. Menjahit? Apalagi. Hitung-hitungan? Absolutely no. Bakat jualan? No. Bakat menari? HAHA no. Fashion? Big no. Jadi apa ya bakat saya? Saya juga bingung kok.
Kalau ngomong panjang lebar engga berhenti-berhenti itu bisa dikategorikan bakat engga sih? *desperate:p* Kalau bisa, nah itu kemungkinan besar bakat saya:))))
Saya pernah ya ikutan pemilihan putri-putrian begitu dimana semua orang diminta menunjukkan bakatnya. Saya bingung juga mau ngapain. Akhirnya saya tulis aja bakat saya ngomong:)))
Saya inget, salah satu jurinya Indra Bekti, dan saya disuruh duet 'ngomong' bareng dia. Hahahaha. Bayangin, peserta lain ada yang main biola, wushu, karate, melukis, ballet dan lain sebagainya. Saya cuma disuruh ngomong doang:p
Nah setelah merenung, akhirnya saya browsing-browsing soal passion ini dan mendapatkan definisi passion yang paling pas menurut saya.
Passion is not what you're good at, but its what you enjoy the most. Its not your ambition nor your profession. Its the energy that comes from bringing more you into at you do. Passion makes you live life to the fullest:)
Lucunya, setelah mencari-cari arti passion, saya teringat banyak hal yang membuat saya tersenyum-senyum sendiri. Saya teringat sahabat saya yang meninggalkan posisi managernya di perusahaan tersohor dan berganti profesi menjadi desainer brand bajunya sendiri. Sejak dulu ia memang suka sekali fashion. Waktu ia mengabari resign dari perusahaan tersohornya itu untuk membuka clothing line, saya hampir tersedak mendengarnya. Kaget. Tapi saya sadar itu memang passionnya. Yang membuat ia bahagia dan hidupnya jadi lebih hidup. Gajinya tentu tidak sebesar di perusahaan sebelumnya, tapi kebahagiaan hidup itu priceless bukan?
Saya juga ingat rekan dokter saya yang memutuskan banting setir dari dokter menjadi pengusaha, hal yang sangat disukainya sejak dulu. Entah lebih sukses yang mana, yang jelas, sekarang dia terlihat lebih bahagia. Priceless.
Dengan definisi ini, saya jadi mengambil satu kesimpulan yang bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan teman saya tadi. Alhamdulillah, saya punya banyak passion. Satu passion saja bisa membuat hidup semakin hidup kan? Apalagi banyak! Boleh kan punya banyak passion?:D
" Sebenarnya passion kamu itu apa sih? Kok semuanya diborong? Jadi dokter? Siaran radio? Syuting? Menulis? Atau apa?"
Jujur, saya terdiam karena bingung juga bagaimana harus menjawab.
Jawaban saya akan sangat tergantung pada definisi dari passion itu sendiri. Sebenarnya apa sih passion? Apa bedanya dengan hobi? Atau dengan profesi? Apakah sama? Apa bedanya juga dengan bakat?
Kalau passion sama dengan hobi atau kesukaan, wah passion saya banyaaaak!
Saya suka menjadi dokter. Alasannya banyak. Dengan menjadi dokter, saya punya kesempatan banyaaaak sekali untuk menyadari betapa beruntungnya saya. Setiap saat, saya selalu disadarkan untuk bersyukur. Ngaku deh, saya sering banget ngeluh. Segala macam bisa jadi subyeknya. Mulai cuaca yang panas -tapi beneran, Surabaya kok sekarang panasnya bangetbangetbanget sih? Apa Matahari buka cabang lagi?-, ngantuk gegara kurang tidur, capek jaga melulu, penelitian engga kelar-kelar, macet, dll dll. Kalau saya jabarin satu-satu bisa jadi buku terbaru mungkin:p
Setiap menghadapi anak kecil imut-imut yang mengidap penyakit ini-itu dan mereka jalani tanpa mengeluh, sungguh saya malu dan merasa diingatkan:) Menolong orang juga membuat saya senang karena merasa bisa melakukan sesuatu untuk orang lain.
Saya suka menjadi penyiar. Selain karena emang hobi ngomong, saya suka mendengarkan radio dari dulu. Saking inginnya jadi penyiar, waktu kecil saya sering merekam suara saya lalu 'memaksa' papa mama untuk mendengarkan hahaha. Malu-maluin banget yak:p Saya engga pernah ikutan pelatihan siaran atau sekolah broadcasting. Engga pernah juga ada orang yang ngajarin saya secara khusus. Saya selalu menyempatkan diri untuk siaran sesibuk apapun saya, biarpun ngebela-belain berangkat jam 3 pagi:)) I think its a way to keep my insanity! Buat orang yang dekat dengan saya dan tahu saya banget, pasti engga bakalan deh nanya "Kok masih sempat siaran?":D
Saya suka menjadi presenter. Membawakan satu berita dengan baik, membuat yang menonton tertarik itu satu tantangan tersendiri. Kalau buat orang lain seperti suami saya adrenalin rush biasanya didapatkan dari kegiatan 'olahraga jantung' macam bungee jumping atau parasailing, buat saya jauh lebih sederhana. Cukup berada di depan layar kamera untuk syuting live:p (Soalnya saya penakut, dan engga bakalan pernah mau mencoba bungee jumping hehe).
Saya suka menulis. Saya engga pernah kepikiran kalau akan jadi penulis. Engga pernah sama sekali. Saya bahkan engga tahu lho teorinya bagaimana menulis buku yang baik, Serius.Tapi toh itu tidak mengurangi kesukaan saya menulis. Saya menulis apa saja, yang sedang saya pikirkan. Dimana saja, terkadang di kamar mandi atau di parkiran mobil. Menurut saya kegemaran menulis ini terlahir dari kegemaran membaca. Saya ini suka banget baca. Semua buku saya baca. Majalah juga. kadang-kadang brosur harga diskonan di supermarket juga saya lalap. -Emang emak-emak aja:p-
Saya suka main piano. Biarpun engga jago, dan lagu yang dikuasai ya itu-itu saja, tetap saja saya menyukainya.Buat saya, suara piano adalah suara alat musik terindah di dunia. Apalagi kalau yang main emang gape;)
Saya suka bernyanyi. Teriak-teriak kadang:p Iya saya tahu kok, suara saya engga enak didengar. Walaupun engga buta nada dan buta irama, tapi suami saya yang paling jujur bilang suara saya paling didengar kalau lagi engga nyanyi. Tapi sekali lagi, saya suka bernyanyi. Toh kalau memang benar passion artinya sama dengan hobi, engga ada hubungannya dengan hasil yang bagus kan? Yang penting suka, belum tentu harus bagus.
Lain ceritanya kalau passion berarti bakat. it means something that you're good at. Sejujurnya, saya sendiri engga tahu apa bakat saya. Duluuu waktu SMA dan sedang heboh-hebohnya penjurusan, saya pernah ikut tes minat dan bakat. Hasilnya, kata tes itu saya berbakat dalam bidang bahasa. Waktu baca hasil tesnya itu saya happy banget, berharap tes tsb akurat. Ya kali aja bisa jadi polyglot gitu:p Makanya saya langsung daftar les bahasa ini-itu, termasuk bahasa Jerman dan Perancis. Lumayan lho, saya pernah les bahasa Perancis 4 taun. Hasilnya? Errrrr yang saya ingat sampai sekarang cuma bahasa Inggris. Itu pun pas-pasan:))) Makin lama, saya makin curiga. Kayaknya tes minat dan bakat yang bilang saya berbakat di bahasa itu ngawur deh. Contoh paling gampang, 12 tahun jadi arek Suroboyo, saya masih engga bisa tuh bahasa Jawa-_-"
Jangan ditanya soal olahraga ya. Boro-boro bakat, suka aja engga kok:@ Memasak? No. Crafting? No. Menjahit? Apalagi. Hitung-hitungan? Absolutely no. Bakat jualan? No. Bakat menari? HAHA no. Fashion? Big no. Jadi apa ya bakat saya? Saya juga bingung kok.
Kalau ngomong panjang lebar engga berhenti-berhenti itu bisa dikategorikan bakat engga sih? *desperate:p* Kalau bisa, nah itu kemungkinan besar bakat saya:))))
Saya pernah ya ikutan pemilihan putri-putrian begitu dimana semua orang diminta menunjukkan bakatnya. Saya bingung juga mau ngapain. Akhirnya saya tulis aja bakat saya ngomong:)))
Saya inget, salah satu jurinya Indra Bekti, dan saya disuruh duet 'ngomong' bareng dia. Hahahaha. Bayangin, peserta lain ada yang main biola, wushu, karate, melukis, ballet dan lain sebagainya. Saya cuma disuruh ngomong doang:p
Nah setelah merenung, akhirnya saya browsing-browsing soal passion ini dan mendapatkan definisi passion yang paling pas menurut saya.
Passion is not what you're good at, but its what you enjoy the most. Its not your ambition nor your profession. Its the energy that comes from bringing more you into at you do. Passion makes you live life to the fullest:)
Lucunya, setelah mencari-cari arti passion, saya teringat banyak hal yang membuat saya tersenyum-senyum sendiri. Saya teringat sahabat saya yang meninggalkan posisi managernya di perusahaan tersohor dan berganti profesi menjadi desainer brand bajunya sendiri. Sejak dulu ia memang suka sekali fashion. Waktu ia mengabari resign dari perusahaan tersohornya itu untuk membuka clothing line, saya hampir tersedak mendengarnya. Kaget. Tapi saya sadar itu memang passionnya. Yang membuat ia bahagia dan hidupnya jadi lebih hidup. Gajinya tentu tidak sebesar di perusahaan sebelumnya, tapi kebahagiaan hidup itu priceless bukan?
Saya juga ingat rekan dokter saya yang memutuskan banting setir dari dokter menjadi pengusaha, hal yang sangat disukainya sejak dulu. Entah lebih sukses yang mana, yang jelas, sekarang dia terlihat lebih bahagia. Priceless.
Dengan definisi ini, saya jadi mengambil satu kesimpulan yang bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan teman saya tadi. Alhamdulillah, saya punya banyak passion. Satu passion saja bisa membuat hidup semakin hidup kan? Apalagi banyak! Boleh kan punya banyak passion?:D
Featured on Jawa Pos:D
Tanggal 20 Oktober yang lalu, saya mejeng lagi nih di Jawa Pos. Kali ini spesial pakai telur, karena masuk dalam cover story alias liputan khususnya:)))
Saya belum mendapat versi PDF-nya, tapi ini nih foto ala kadarnya. Saya janji kalau sudah dapat yang bagusan dikit, pasti saya upload:D
Thank you Jawa Pos!:)
Saya belum mendapat versi PDF-nya, tapi ini nih foto ala kadarnya. Saya janji kalau sudah dapat yang bagusan dikit, pasti saya upload:D
Thank you Jawa Pos!:)
Thursday, October 17, 2013
Featured-Majalah Farmacia
Waktu sedang di Balung dan menikmati seharian menonton DVD, saya mendapat mention di twitter dari seseorang bernama mbak Ana yang mengaku sebagai wartawan majalah Farmacia dan meminta wawancara.
Saya sendiri tahu majalah Farmacia sebagai majalah serius yang segmen pembacanya adalah dokter umum dan dokter spesialis. Lihat saja taglinenya, "Wahana Komunikasi Lintas Spesialis'.
Waktu itu, saya bingung kenapa saya yang diwawancara yaa. Maksudnya, kalau untuk membahas kasus penyakit atau yang berurusan dengan kesehatan, bukankah sebaiknya mewawancara senior-senior saya?
Ternyata, beberapa saat setelah saya memberitahukan alamat email ke mbak Ana, salah satu jurnalis majalah Farmacia mengajukan beberapa pertanyaan pada saya. Menurut mas Alfred, nama jurnalis tadi, majalah Farmacia akan membuat liputan khusus mengenai dokter yang juga penyiar. Selain saya, ada juga seorang dokter spesialis jantung yang punya acara talkshow kesehatan di radio.
Wawancara berlangsung lewat email. Pertanyaannya seputar asal-muasal saya siaran di radio sampai ke aktivitas saat ini.
Bulan Oktober ini, majalah Farmacia yang ada sayanya terbit. Saya agak kesulitan mencari majalah ini di Surabaya. Untunglah ada versi digitalnya yang bisa dibeli di Scoop seharga USD 0.99 atau 9500 rupiah.
Ini dia penampakannya:D
Saya sendiri tahu majalah Farmacia sebagai majalah serius yang segmen pembacanya adalah dokter umum dan dokter spesialis. Lihat saja taglinenya, "Wahana Komunikasi Lintas Spesialis'.
Waktu itu, saya bingung kenapa saya yang diwawancara yaa. Maksudnya, kalau untuk membahas kasus penyakit atau yang berurusan dengan kesehatan, bukankah sebaiknya mewawancara senior-senior saya?
Ternyata, beberapa saat setelah saya memberitahukan alamat email ke mbak Ana, salah satu jurnalis majalah Farmacia mengajukan beberapa pertanyaan pada saya. Menurut mas Alfred, nama jurnalis tadi, majalah Farmacia akan membuat liputan khusus mengenai dokter yang juga penyiar. Selain saya, ada juga seorang dokter spesialis jantung yang punya acara talkshow kesehatan di radio.
Wawancara berlangsung lewat email. Pertanyaannya seputar asal-muasal saya siaran di radio sampai ke aktivitas saat ini.
Bulan Oktober ini, majalah Farmacia yang ada sayanya terbit. Saya agak kesulitan mencari majalah ini di Surabaya. Untunglah ada versi digitalnya yang bisa dibeli di Scoop seharga USD 0.99 atau 9500 rupiah.
Ini dia penampakannya:D
Wednesday, October 16, 2013
Pengemis Oh Pengemis
Di siaran terakhir minggu lalu, saya ngobrol-ngobrol dengan Jefri sang partner siaran. Biasanya, kalau sesama penyiar berkumpul, adaaaaaa saja bahan omongan. Kami membahas segala macam, mulai dari gosip artis, lagu terbaru, penyiar radio sebelah *uhuk*, sampai..pengemis. Lah kenapa juga jauh banget jadi ngomongin pengemis?
Awalnya, kami sedang membicarakan apa saja yang sedang ramai di path. Selain video sok inteleknya Syahrini yang direpath sejuta umat dan juga Nike Ardila vs Katy Perry, bahasan soal pengemis di Bandung juga lagi hot-hotnya.
Walikota Bandung, pak Ridwan Kamil berencana untuk membersihkan jalanan kota dari gelandangan, pengemis maupun anak jalanan. Bukan hanya sembarang 'membersihkan' tentu, tapi pak Emil ini memberdayakan mereka membersihkan jalanan kotor dan dibayar tentunya. Gaji yang ditawarkan adalah 700 ribu/bulan. Buat saya pribadi, ide pak Emil ini luar biasa keren. Sekali merengkuh dua tiga pulau terlampaui. Jalanan Bandung bersih dari sampah, bersih pula dari gelandangan atau pengemis, martabat anjal ini juga bisa naik. Hebat deh bisa terpikir hal seperti ini!
Betapa kagetnya saya ketika mengetahui para pengemis ini menolak ide pak Emil, karena gaji yang ditawarkan terlalu sedikit dibanding penghasilan sehari-hari. Menurut mereka, hasil mengemis saja setiap bulannya bisa mencapai 5-7 juta rupiah. Mereka meminta gaji 10 juta rupiah per bulan. Glek. Dokter saja kalaaaaaaahhhh:))))
Beneran lho, ini hanya perhitungan rata-rata saja. Kalau 'mangkal' di perempatan lampu merah yang padat, hasil mengemis bisa lebih. Bahkan ada yang mengaku pernah mendapat 20 juta rupiah perbulan! *bengong*
Saat saya cerita soal ini ke Jefri, dia juga ternyata punya pengalaman menarik dengan pengemis. Ceritanya, beberapa bulan lalu saat sedang berlibur ke Jogja, dia makan di warung lesehan dengan teman-temannya. Ada seorang pengemis yang mendatangi meja mereka dan meminta uang. Dicatat ya, bukan pengamen atau penjual apa, tapi pengemis. Karena tidak punya uang kecil, Jefri memberikan pengemis tadi uang koin 200 rupiah. Lalu apa yang terjadi? Si pengemis malah marah, memisuhi mereka dan membuang koin tadi. 'Kalau engga niat ngasih ya mending engga usah mas!'
*bengonglagi*
Saya termasuk orang yang sering memberi uang kepada pengemis di jalanan. Saya terkadang berpikir bahwa hidup mereka tidak seberuntung saya, dan dalam harta saya ada sebagian hak mereka. Tapiiiiiiiiiii, begitu mengetahui hal-hal seperti ini, saya jadi menyesal nih.
Apalagi ketika saya mendengar wawancara salah satu media dengan pengemis yang untuk tampil meyakinkan dan menyedihkan harus 'menyewa' anak bayi untuk dibawa-bawa mengemis. Waktu itu, dengan santai si pengemis bilang 'modalnya cuma baju compang/i bikin sendiri dikotor-kotorin, nyewa bayi, bayar upeti ke penguasa jalan.' WTH!
Sedih ya, kalau mengetahui banyak saudara sebangsa yang lebih memilih mengemis daripada bekerja walaupun masih kuat untuk berkarya. Lebih sedih lagi mengetahui, banyak orang yang 'mendukung' mental mengemis ini dengan memberikan uang, termasuk saya. Dulu. DULU.
Sekarang, saya dan Jefri berjanji tidak akan memberi uang pada pengemis di jalanan. Kalau memang mau bersedekah, saya akan memilih benar agar target memang yang betul-betul membutuhkan seperti di panti asuhan misalnya.
Yuk, kita stop membagikan uang di jalanan!
Tuesday, October 15, 2013
Basa Basi Basi
Entah karena kebiasaan atau budaya orang Indonesia yang konon 'ramah', berbasa/i adalah lumrah adanya di kalangan masyarakat kita. Tidak ada salahnya memang, asal niat 'ramah' tadi tidak berubah menjadi kepo atau lebih buruk lagi, menyinggung perasaan.
Contohnya saja nih, yang paling sering terjadi. Coba ingat, berapa banyak pertanyaan 'Kapan nikah?' yang diajukan buat yang masih lajang dan dinilai cukup umur untuk menikah?
Saya ingat, sewaktu single -and mostly available:p-, hampir seribu kali saya ditanyai hal serupa. Bukannya saya engga mau menjawab, tapi saya sendiri juga engga tahu jawabannya. Menikah sama siapa, wong pacar aja engga punya:p Saking seringnya, saya sampai takut lho datang ke acara keluarga. Kalau bisa menghindar sajalah! Malas berurusan dengan orang-orang yang hobi bertanya 'Kapan nikah?' :p
Setelah menikah, jangan harap pertanyaan annoying macam tadi selesai. Ada lagi cyiiin! 'Kapan hamil?' yang diikuti 'Kapan punya anak lagi?' dan sejuta 'Kapan' lainnya. Biasanya sih kalau saya yang ditanya, saya jawab dengan senyum manis. 'Terserah Allah saja'. Harapan saya, sang penanya sadar kalau jawaban akan pertanyaannya di luar kuasa saya. Tapi, yang sering terjadi, saya malah tambah didesak untuk menjawab. 'Lho kok terserah Allah, kamu emang engga ada rencana?'
Mungkin saja, sang penanya hanya berusaha mencari bahan pembicaraan. Mungkin. Atau bisa jadi cuma iseng semata. Alasan lain, memang kepo dengan hidup kita. Apapun alasannya, saya selalu berusaha menghindari mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini ke orang lain.
Buat saya, engga pentinglah menanyakan hal-hal yang semua orang tahu jawabannya hanya Allah yang tahu. Bukankah jodoh dan rejeki rahasiaNya?
Pertanyaan seperti itu sama saja seperti mempertanyakan kekuasaan Allah dan rencanaNya yang sudah diatur seindah mungkin.
Yang paling penting, saya sangat menghindari menyakiti perasaan orang lain. Coba bayangkan, bagaimana perasaan suami istri yang sudah menikah 5 tahun misalnya, sudah mencoba segala daya upaya untuk mempunyai anak tapi belum berhasil dan sudah ikhlas berpasrah kepada Sang Empunya Rencana. Kemudian ditanyai pertanyaan 'Kapan nih hamilnya?' oleh orang yang engga pernah tahu bagaimana jungkirbaliknya usaha mereka. Sakit hati pasti. Atau seseorang yang ingin menikah tetapi memang belum dipertemukan dengan jodohnya, sudah pasrah lalu ditanyai 'Kapan nikah?'. Bukankah sama saja dengan mempertanyakan rencana Allah?
Daripada basa/i engga jelas macam begini, mendingan cari bahan omongan yang lain deh! Sejujurnya basa/i sesederhana 'Apa kabar?' sudah cukup menyenangkan buat saya:)
Contohnya saja nih, yang paling sering terjadi. Coba ingat, berapa banyak pertanyaan 'Kapan nikah?' yang diajukan buat yang masih lajang dan dinilai cukup umur untuk menikah?
Saya ingat, sewaktu single -and mostly available:p-, hampir seribu kali saya ditanyai hal serupa. Bukannya saya engga mau menjawab, tapi saya sendiri juga engga tahu jawabannya. Menikah sama siapa, wong pacar aja engga punya:p Saking seringnya, saya sampai takut lho datang ke acara keluarga. Kalau bisa menghindar sajalah! Malas berurusan dengan orang-orang yang hobi bertanya 'Kapan nikah?' :p
Setelah menikah, jangan harap pertanyaan annoying macam tadi selesai. Ada lagi cyiiin! 'Kapan hamil?' yang diikuti 'Kapan punya anak lagi?' dan sejuta 'Kapan' lainnya. Biasanya sih kalau saya yang ditanya, saya jawab dengan senyum manis. 'Terserah Allah saja'. Harapan saya, sang penanya sadar kalau jawaban akan pertanyaannya di luar kuasa saya. Tapi, yang sering terjadi, saya malah tambah didesak untuk menjawab. 'Lho kok terserah Allah, kamu emang engga ada rencana?'
Mungkin saja, sang penanya hanya berusaha mencari bahan pembicaraan. Mungkin. Atau bisa jadi cuma iseng semata. Alasan lain, memang kepo dengan hidup kita. Apapun alasannya, saya selalu berusaha menghindari mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini ke orang lain.
Buat saya, engga pentinglah menanyakan hal-hal yang semua orang tahu jawabannya hanya Allah yang tahu. Bukankah jodoh dan rejeki rahasiaNya?
Pertanyaan seperti itu sama saja seperti mempertanyakan kekuasaan Allah dan rencanaNya yang sudah diatur seindah mungkin.
Yang paling penting, saya sangat menghindari menyakiti perasaan orang lain. Coba bayangkan, bagaimana perasaan suami istri yang sudah menikah 5 tahun misalnya, sudah mencoba segala daya upaya untuk mempunyai anak tapi belum berhasil dan sudah ikhlas berpasrah kepada Sang Empunya Rencana. Kemudian ditanyai pertanyaan 'Kapan nih hamilnya?' oleh orang yang engga pernah tahu bagaimana jungkirbaliknya usaha mereka. Sakit hati pasti. Atau seseorang yang ingin menikah tetapi memang belum dipertemukan dengan jodohnya, sudah pasrah lalu ditanyai 'Kapan nikah?'. Bukankah sama saja dengan mempertanyakan rencana Allah?
Daripada basa/i engga jelas macam begini, mendingan cari bahan omongan yang lain deh! Sejujurnya basa/i sesederhana 'Apa kabar?' sudah cukup menyenangkan buat saya:)
Interview:p
Dua minggu yang lalu, salah seorang teman saya yang merupakan wartawan Jawa Pos menghubungi saya lewat BBM. Dia memberitahu saya niatnya untuk membuat liputan mengenai dokter yang adalah penulis juga di halaman depan koran tersebut. Selain saya, ada 2 orang dokter lain yang akan diinterview. Wawancaranya sendiri dijadwalkan bertempat di Graha Pena hari Sabtu, tanggal 12 Oktober kemarin.
Pada hari Sabtu, seperti yang sudah dijanjikan, saya berangkat ke gedung Graha Pena setelah berdandan. Eits, jangan salah paham, saya berdandan karena tepat setelah acara interview itu akan langsung menghadiri pernikahan salah satu teman di Balai Samudera -Jauuuuh bener yak!;p-. Daripada saya harus mondar/i dan lari-lari cuma gara-gara harus dandan, akhirnya ya gitu deh. Saya siapkan untuk langsung ke nikahan dari Graha Pena.
Sampai di Graha Pena, saya disapa oleh satpam yang masih sangat mengenal saya:))) Maklumlah, jamannya saya masih sibuk syuting disana, setiap hari saya selalu stand by di Graha Pena. Bahkan terkadang syuting sehari 3x, layaknya minum obat saja:p Terkadang kangen juga sih, tapi karena permasalahan waktu yang engga tersedia, ya sudahlah disyukuri saja yang sekarang. Alhamdulillah saya masih bisa syuting sesekali:D
Interviewnya sendiri berlangsung cepat. Saya yang kelaparan menjalani interview sambil menyantap kentang goreng. Kemudian sessi foto yang berlangsung agak lama, tapi namanya juga bancik poto yak;p, saya sih senang-senang saja.
Ini adalah foto yang diabadikan dengan tablet Intan, salah satu dokter yang juga diwawancara.
Jangan lupa baca koran Jawa Pos hari Minggu, 20 Oktober 2013 yaaa~
Pada hari Sabtu, seperti yang sudah dijanjikan, saya berangkat ke gedung Graha Pena setelah berdandan. Eits, jangan salah paham, saya berdandan karena tepat setelah acara interview itu akan langsung menghadiri pernikahan salah satu teman di Balai Samudera -Jauuuuh bener yak!;p-. Daripada saya harus mondar/i dan lari-lari cuma gara-gara harus dandan, akhirnya ya gitu deh. Saya siapkan untuk langsung ke nikahan dari Graha Pena.
Sampai di Graha Pena, saya disapa oleh satpam yang masih sangat mengenal saya:))) Maklumlah, jamannya saya masih sibuk syuting disana, setiap hari saya selalu stand by di Graha Pena. Bahkan terkadang syuting sehari 3x, layaknya minum obat saja:p Terkadang kangen juga sih, tapi karena permasalahan waktu yang engga tersedia, ya sudahlah disyukuri saja yang sekarang. Alhamdulillah saya masih bisa syuting sesekali:D
Interviewnya sendiri berlangsung cepat. Saya yang kelaparan menjalani interview sambil menyantap kentang goreng. Kemudian sessi foto yang berlangsung agak lama, tapi namanya juga bancik poto yak;p, saya sih senang-senang saja.
Ini adalah foto yang diabadikan dengan tablet Intan, salah satu dokter yang juga diwawancara.
Jangan lupa baca koran Jawa Pos hari Minggu, 20 Oktober 2013 yaaa~
Monday, October 14, 2013
Update update:p
Halooo, saya sudah agak lama nih engga mengupdate blog. Harap maklum, karena sebulan sebelumnya saya dinas di luar kota tanpa Naya, bulan ini saya puas-puasin main sama Naya terus:)
Selain itu, saya juga masih disibukkan sama promo buku terbaru. Oh ya, terimakasih ya yang sudah ikutan giveaway di blog ini. Masih dinantikan lho reviewnya:p
Buat yang belum beruntung, jangan khawatir. Masih banyaaaaak sekali giveaway yang bakal saya adakan. Currently, pantengin terus @mradiosby dan dengerin juga siaran saya disana. Setiap hari bakal ada suara saya wara-wiri yang ngasih clue soal kuis.Ditunggu ya!
Saya sering sekali mendapat pertanyaan "Beli bukunya dimana sih?"
Jadiii, buku Dont Worry to be A Mommy ini mulai bisa didapatkan di toko buku besar seperti Gramedia, Gunung Agung, Toga Mas, Uranus dll mulai tanggal 14 Oktober kemarin. Harganya Rp. 40.000,00 sajaaa. Tapi, kalau ingin dapat yang lebih murah -biasa kan ya emak2:p- bisa beli online. Diskonnya lumayan lho, antara 25-30%!
Ada beberapa online bookshop yang menjual buku saya ini. Ceki-ceki deh ya!
1. Stiletto Book
Di web publisher saya ini, Dont Worry to be A Mommy dibandrol dengan Rp. 30.000,00
2. BukaBuku
Di web langganan saya belu buku OL dihargai Rp. 28.000,00. Diskon 30%!
3. DiandraBooks
4. KeranjangBuku
5. KawanBuku
Anyway, Sabtu kemarin saya dan Naya mejeng lagi di Jawa Pos. Saya dimintai pendapat soal persaingan pada anak sejak dini. Ini nihhh hasilnya:
Apa kabar Naya? Ohh Naya masih sangat cerewet seperti biasanya. Benar-benar bawel dan gemar menanyakan pertanyaan yang saya bingung bagaimana jawabannya.
Setelah saya ceritakan soal Pinokio misalnya.
Naya: "Mama, idung Pinokio itu tambah panjang kalau bohong ya?"
Meta: "Iya kak."
Naya: "Belaltiii.. gajah itu tukang bohong ya ma?"
-_______-"
(Saya bingung mau jawab apa).
Setiap hari saya selalu saja merasa amazed dengan perkembangan Naya. Engga pernah ada berhentinya:D
Selain itu, saya juga masih disibukkan sama promo buku terbaru. Oh ya, terimakasih ya yang sudah ikutan giveaway di blog ini. Masih dinantikan lho reviewnya:p
Buat yang belum beruntung, jangan khawatir. Masih banyaaaaak sekali giveaway yang bakal saya adakan. Currently, pantengin terus @mradiosby dan dengerin juga siaran saya disana. Setiap hari bakal ada suara saya wara-wiri yang ngasih clue soal kuis.Ditunggu ya!
Saya sering sekali mendapat pertanyaan "Beli bukunya dimana sih?"
Jadiii, buku Dont Worry to be A Mommy ini mulai bisa didapatkan di toko buku besar seperti Gramedia, Gunung Agung, Toga Mas, Uranus dll mulai tanggal 14 Oktober kemarin. Harganya Rp. 40.000,00 sajaaa. Tapi, kalau ingin dapat yang lebih murah -biasa kan ya emak2:p- bisa beli online. Diskonnya lumayan lho, antara 25-30%!
Ada beberapa online bookshop yang menjual buku saya ini. Ceki-ceki deh ya!
1. Stiletto Book
Di web publisher saya ini, Dont Worry to be A Mommy dibandrol dengan Rp. 30.000,00
2. BukaBuku
Di web langganan saya belu buku OL dihargai Rp. 28.000,00. Diskon 30%!
3. DiandraBooks
4. KeranjangBuku
5. KawanBuku
Anyway, Sabtu kemarin saya dan Naya mejeng lagi di Jawa Pos. Saya dimintai pendapat soal persaingan pada anak sejak dini. Ini nihhh hasilnya:
Apa kabar Naya? Ohh Naya masih sangat cerewet seperti biasanya. Benar-benar bawel dan gemar menanyakan pertanyaan yang saya bingung bagaimana jawabannya.
Setelah saya ceritakan soal Pinokio misalnya.
Naya: "Mama, idung Pinokio itu tambah panjang kalau bohong ya?"
Meta: "Iya kak."
Naya: "Belaltiii.. gajah itu tukang bohong ya ma?"
-_______-"
(Saya bingung mau jawab apa).
Setiap hari saya selalu saja merasa amazed dengan perkembangan Naya. Engga pernah ada berhentinya:D
Subscribe to:
Posts (Atom)