Selama saya menjalani fellowship di Amsterdam, ada 2 orang teman saya juga yang menjalani fellowship di Groningen, kota yang terletak sekitar 2.5 jam dari Amsterdam. Sejak sebelum berangkat, kami sudah selalu kontak untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Nah, karena mereka terjadwal pulang ke Indonesia lebih dulu, kami memutuskan untuk meet up. Iya dong, masa sama-sama di Belanda sekian lama, sekali pun tak pernah berjumpa:D
Kami janjian bertemu di pusat kota, tepatnya di tempat makan pancake yang cukup terkenal di Amsterdam. Ngomong-ngomong, saya sukaaa sekali dengan pancake khas Belanda ini. Sebenarnya mirip D'Crepes yang banyak dijumpai di pusat perbelanjaan di Indonesia, tapi adonannya dimasak lebih lembut dan "basah". Dipadu dengan Nutella kesukaan saya, hmmmm yumy!
Sebetulnya, kami janjian bertemu pukul 3 sore. Namun karena saya harus ke VUmc, rumah sakit tempat saya fellow juga untuk mengembalikan nametag dan white coat, saya berangkat sejak pagi. Dari VUmc, saya manfaatkan waktu berjalan-jalan mengelilingi pusat kota. Walaupun bukan weekend, Amsterdam ramaaai sekali. Rupanya di Belanda, minggu pertama Mei adalah waktu liburan panjang untuk anak sekolah, namanya May Vacantie, entah apa yang dirayakan:p
Saturday, May 26, 2018
Friday, May 25, 2018
Farewell, King's Day dan Belgia
Menjelang berakhirnya masa fellowship di Belanda, saya bukan main merasa gaduh gelisah. Apa pasal? Saya sangat menyukai pekerjaan selama di Belanda, benar-benar enjoy. Saya berkesempatan bekerja sama, mendapat pengalaman baru, mendapat bimbingan dari orang-orang hebat di bidangnya. Unforgettable deh! Di satu sisi saya senang karena akan segera bertemu Naya, tapi di sisi lain saya sedikit berat meninggalkan Belanda dengan segala keteraturannya.Terbayang begitu kembali ke Indonesia, bye-bye on time! Saya selalu berusaha on time dalam setiap kegiatan, tapi rupanya sedikit sekali orang yang sama menghargai waktunya dengan saya. Bayangkan ya, bukan hanya sekali dua kali lho ini. Misalnya saya diundang rapat jam 9 pagi. Saya sudah datang sejak jam 9 kurang 15, nyatanya karena belum ada yang hadir, rapat baru dimulai jam 9.45. Sounds familiar to you? Berapa lama tuh waktu saya terbuang yang sebetulnya bisa sangat bermanfaat jika dikerjakan untuk hal lain selain menunggu?
Kegalauan saya bertambah setelah profesor saya di AMC menawari saya pekerjaan sebagai staf tetap dokter spesialis anak bagian metabolik di sana. Saya hanya perlu kursus bahasa Belanda, sementata license dan yang lainnya akan diurus sampai selesai oleh profesor saya.
Kegalauan saya bertambah setelah profesor saya di AMC menawari saya pekerjaan sebagai staf tetap dokter spesialis anak bagian metabolik di sana. Saya hanya perlu kursus bahasa Belanda, sementata license dan yang lainnya akan diurus sampai selesai oleh profesor saya.
Thursday, May 24, 2018
Den Haag, Piknik dan Aalkmar
Weekend adalah (selalu!) waktu yang paling saya tunggu-tunggu selama di Belanda. Mengapa? Selain karena weekend adalah waktu bebersih apartemen dan makan masakan Indonesia, saat weekend pulalah saya memiliki banyak kesempatan untuk mengeksplorasi Belanda.
Weekend ini, kebetulan saya dan suami diundang oleh sejawat suami untuk makan malam di Den Haag, kota berjarak sekitar 51 km dari Amsterdam. Kok jauh amat? Mignon, nama sejawat suami saya itu, berdomisili di Den Haag. Setiap hari, ia pulang pergi Den Haag-Amsterdam dengan mengendarai mobil. Tak terasa jauh sih karena lalu lintas yang sangat teratur, jarak sedemikian bisa ditempuh dalam waktu kurang dari sejam. Apalagi kalau naik kereta (yang btw, sangat nyaman, selalu tepat waktu, jadwalnya pun ada hampir 40x keberangkatan per harinya).
Kami janjian bertemu di hall rumah sakit pukul 6 sore. Nyatanya, karena Mignon harus memperpanjang waktu operasi, jadwalnya molor sampai jam 19.30. Hahaha, saya sudah kelaparan, ngantuk, dan kedinginan:p Kami berangkat dari AMC menuju Den Haag dengan naik mobilnya. Sepanjang perjalanan, saya sudah tak kuasa menahan kantuk. Entah berapa kali deh saya menguap.
Weekend ini, kebetulan saya dan suami diundang oleh sejawat suami untuk makan malam di Den Haag, kota berjarak sekitar 51 km dari Amsterdam. Kok jauh amat? Mignon, nama sejawat suami saya itu, berdomisili di Den Haag. Setiap hari, ia pulang pergi Den Haag-Amsterdam dengan mengendarai mobil. Tak terasa jauh sih karena lalu lintas yang sangat teratur, jarak sedemikian bisa ditempuh dalam waktu kurang dari sejam. Apalagi kalau naik kereta (yang btw, sangat nyaman, selalu tepat waktu, jadwalnya pun ada hampir 40x keberangkatan per harinya).
Menunggu di hall rumah sakit. Saya terlihat ngantuk ya:)) |
Wednesday, May 23, 2018
Adult Metabolic, Presentasi dan Kartini
Sekian minggu berada di Belanda, lama-lama saya dapat beradaptasi dengan sangat baik terhadap situasi bekerja di sini. Saya sudah terbiasa menganamnesis pasien dengan detail (harap maklum ya, waktu yang tersedia sangat cukup. Kalau di Indonesia, banyakan pasiennya daripada waktunya:p), berdiskusi dengan mendalam, hingga membuka update artikel ilmiah terbaru pada saat berpraktik.
Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya, selain di poli Metabolik Anak, saya pun bertugas di poli Metabolik Dewasa. Ini benar-benar pengalaman baru bagi saya, karena di Indonesia, saya belum pernah bertemu pasien metabolik di atas usia anak. Setahu saya, semua pasien metabolik sudah meninggal duluan sebelum mencapai usia dewasa (di Indonesia). Makanya, melihat betapa ternyata mereka bisa hidup secara berkualitas (baca: tak terlihat sakit, bisa berkeluarga, bisa bekerja, hidup secara normal) hingga di usia kakek nenek merupakan insight baru buat saya.
Saya beruntung mendapat kesempatan bekerja sama dengan orang-orang terbaik di bidang ini di Belanda. Bayangkan deh, saya bisa berdiskusi dengan nama-nama yang biasanya hanya saya baca di jurnal-jurnal ilmiah. Rasanya tuh, hmmmm, tak terungkapkan:p
Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya, selain di poli Metabolik Anak, saya pun bertugas di poli Metabolik Dewasa. Ini benar-benar pengalaman baru bagi saya, karena di Indonesia, saya belum pernah bertemu pasien metabolik di atas usia anak. Setahu saya, semua pasien metabolik sudah meninggal duluan sebelum mencapai usia dewasa (di Indonesia). Makanya, melihat betapa ternyata mereka bisa hidup secara berkualitas (baca: tak terlihat sakit, bisa berkeluarga, bisa bekerja, hidup secara normal) hingga di usia kakek nenek merupakan insight baru buat saya.
Saya beruntung mendapat kesempatan bekerja sama dengan orang-orang terbaik di bidang ini di Belanda. Bayangkan deh, saya bisa berdiskusi dengan nama-nama yang biasanya hanya saya baca di jurnal-jurnal ilmiah. Rasanya tuh, hmmmm, tak terungkapkan:p
Subscribe to:
Posts (Atom)