Seperti yang pernah saya tulis
disini, begitu mengetahui Naya tergolong anak yang very superior atau jenius berdasarkan tes IQ dan psikotest, saya mulai survey sekolah sana-sini yang sekiranya mau menerima Naya. Menurut psikolog yang mengetes Naya, memang sebaiknya Naya disekolahkan sesuai kemampuan dan usia mentalnya karena kalau Naya disekolahkan sesuai umurnya, jadinya ya seperti sekarang ini. Ngambek terus:p dan jadi berbahaya untuk kedepannya, berpotensi "mengacau".
Karena masih agak kurang sreg dengan sistem homeschooling, saya mencari sekolah yang mau menerima Naya sesuai kemampuannya, bukan umur. Saya pikir, pasti ada deh sekolah yang seperti ini di Surabaya. Kan Surabaya termasuk kota besar. Nyatanya? Saya kecewa beraaaaat.
Saya mendaftar ke sepuluh sekolah setingkat TK-B dan kelas 1 SD karena berdasar hasil psikotest, kemampuan Naya saat ini setara itu, demikian pula dengan usia mentalnya. Rencananya, Naya akan saya masukkan TK-B dulu untuk beradaptasi, barulah tahun depan saat usia Naya 4 tahun, saya masukkan ke kelas 1 SD. Saya khawatir juga anak gadis saya ini dibully teman-temannya karena paling kecil kalau tahun ini dimasukkan SD.
Percaya atau tidak, dari sepuluh sekolah tadi, hanya ada satu sekolah yang mempertimbangkan untuk menerima Naya. Bukan menerima, masih mempertimbangkan. Yang lainnya bahkan engga repot-repot membaca surat rekomendasi psikolog yang saya bawa. Begitu tahu umur Naya masih 3 tahun, tidak ada yang mau menerima. Naya bahkan tidak diobservasi dulu atau dites kemampuannya. Pokoknya umur kurang, tidak boleh. Titik. Ada lagi yang alasannya menurut saya tidak masuk akal. "Kalau Naya diterima di kelas yang lebih tinggi nanti pihak sekolah kewalahan karena pasti ibu-ibu yang lain juga meminta anaknya dinaikkan seperti Naya." Errrrrr. Ya kaliii anaknya ibu-ibu yang lain juga bawa surat rekomendasi-___-"
Selain itu, beberapa pihak sekolah yang saya hubungi malah justru menasihati saya seolah-olah saya adalah ibu yang sangat ambisius dan memaksakan anak untuk sekolah di kelas yang lebih tinggi. Terus terang, saya super kecewa! Asal tahu saja, sesungguhnya, saya sama sekali tidak pernah memaksakan kehendak saya soal sekolah ke Naya. Saya tidak keberatan lho seandainya Naya memilih tidak mau sekolah dulu, karena saya tahu berdasar ilmu tumbuh kembang anak, tidak ada kewajiban untuk anak umur 4 tahun kebawah bersekolah. Apalagi les. Tapiiiii, Naya sendiri yang meminta sampai menangis-nangis.
Saya ingat waktu Naya belum juga genap berusia 2 tahun dan ngotot ingin les balet. Hampir tidak ada tempat kursus balet yang mau menerima karena usianya yang terlalu kecil. Naya ngotot menangis terus dan berjanji akan rajin latihan, akhirnya saya sampai memohon kepada pemilik sanggar untuk menerima Naya. "Nitip" istilahnya, engga perlu digubris pun tak mengapa, asal dia boleh ikut latihan di sana. Lalu apa yang terjadi? Baru beberapa bulan les balet (yang saya pikir cuma main-main itu), Naya justru terpilih mewakili sanggar baletnya untuk mengikuti lomba se-Jawa Timur. Padahal, salah satu syarat lomba tsb adalah pesertanya harus berusia di atas 4 tahun. Saya ragu apa Naya berani tampil di hall suatu mall besar disaksikan ratusan penonton. Saya sempat menanyakan Naya berulang kali apakah Naya benar-benar mau tampil. Karena Naya yakin mau tampil, barulah saya ijinkan. Di atas panggung, Naya hapal semua gerakannya dan tidak takut atau malu sedikit pun. Saya terharu banget dan sempat menyalahkan diri saya sendiri yang begitu underestimate terhadap Naya. Sejak saat itu, saya berjanji TIDAK AKAN mengunderestimate kemampuan anak saya sendiri.
Maka dari itu, sekarang setiap Naya meminta dibelikan buku atau kursus ini itu, saya selalu mengusahakan membelikan (walaupun mungkin sebelumnya saya pikir buku tsb terlalu rumit buat Naya) dan berusaha mencarikan tempat kursus yang mau menerima anak sekecil Naya. Jadwal les Naya full lho, ngalah-ngalahin emaknya. Padahal emaknya juga lumayan sibuk, tapi tetap saja lebih sibukan Naya. Saya engga pernah memaksa Naya masuk les, sesukanya dia saja. Malah saat ingin mengajak Naya jalan-jalan, saya memintanya untuk bolos saja, pasti Naya malah mengomeli saya.
"Jangan ajak kakak bolos ma. Kakak nanti ga pintal." -_______-"
Kasihan? Jelas. Saya ingat waktu saya seusia Naya, boro-boro les,kerjaan saya maiiiiiinnnn teruuuuus:)))) Tapi, mungkin memang tidak bisa disamakan, karena kemampuan saya dan Naya pun jauh berbeda. Yaaa engga jauh-jauh amat sih, IQ kami cuma beda tipis saja, setipis 30-40 point:))))) *teteupgamaukalah* Lagipula Naya bahagia sekali setiap waktunya les, engga saya bangetlah yang dulu bawaannya pengin kabur setiap jam les.
Saat ini pun pertanyaan Naya sudah jauuuuh di luar jangkauan saya. Saya sering ketakutan sendiri kalau Naya bertanya. Takut salah menjawab. Misalnya saja,
Naya: "Mama, kenapa kuda itu engga bisa belenang? Kuda laut kok bisa? Kan sama-sama kuda?"
Meta: "Errrr...." *googling*--> engga nemu--> "Mama juga ga tau ya kak. Nanti kita cari sama-sama jawabannya ya. Menurut kakak gimana?"
Naya: "Kuda itu kan punya kaki, bisa jalan, jadi engga apa-apa kalau engga bisa belenang. Tapi kuda laut kan engga punya kaki, engga bisa jalan, jadi ya halus bisa belenang ma. Benel ga ma?
Meta: *manggut-manggut*
Naya: "Mama tu dulu pelnah sekolah engga sih?"
Meta: *nangisdipojokan*
Pertanyaan lain,
Naya: "Mama, Allah itu lambutnya panjang apa pendek?"
Meta: "Mama engga tau kak."
Naya: "Mama pelnah ketemu Allah?"
Meta: "Engga."
Naya: "Siapa yang pelnah? Papa? Mbak Yaci? Mbak Siti?"
Meta: "Engga juga."
Naya: "Kalau gitu mama engga usah sholat aja, jangan-jangan Allah itu emang engga ada. Ga tau kok Allah kalau mama engga sholat."
Meta: *cegluk* Ada dong kak. Kayak angin, kakak engga bisa liat kan angin kaya gimana? Tapi angin kan ada."
Naya: "Angin kan ada lasanya. Allah lasanya kayak apa ma? Adem juga?"
Meta *nangisdipojokanlagi* "Nanti kita tanya ustadzah ya."
Lain kesempatan,
Naya: "Mama, telepon lumah itu kok ada kabelnya? Ga kaya handphone?"
Meta: "Iya kak. Telepon rumah itu pakai kabel memang. Jaringannya lewat kabel, kalau handphone lewat udara."
Naya: "Kenapa halus ada telepon lumah kalau ada handphone ma? Kan enakan handphone bisa dibawa kemana-mana."
Meta: *mikir* "Iya kenapa ya?" *nangislagi*
Macam-macam deh. Saya sering banget engga tahu jawabannya apa. Engga tahu juga apa saya yang dudul banget, atau memang pertanyaannya Naya yang kelas berat. Oh ya, saya sempat tanya sana-sini, siapa tahu ada yang punya kenalan dengan anak seperti Naya. Hasilnya ada beberapa, dan karena tidak diapresiasi di negara kita tercinta ini, kebanyakan dari mereka pindah ke luar negeri, bersekolah di sana, dan ikut membangun negara orang. Bahkan ada yang sudah kuliah di usia yang masih 14 tahun lho!
Ironis ya. Mungkin ada baiknya, pihak berwenang memikirkan untuk membuat kurikulum khusus untuk anak-anak seperti Naya. Bukan hanya akselarasi yang cuma ada setelah anak SD, tapi lebih dipikirkan bagaimana kalau kemampuannya telah diketahui sebelum usia sekolah. Biar saya sebagai ibunya juga engga bingung-bingung lagi:))))
Bagaimana akhirnya? Karena saya sudah pasrah -
dan setengah sebel gegara dicap emak ambisius sama kebanyakan sekolah yang bahkan engga tau gimana Naya- akhirnya saya putuskan untuk membeli buku-buku pelajaran kelas 1 SD dan TK-B untuk Naya pelajari di rumah. Sekolahnya yang sekarang tetap dijalani dengan pertimbangan untuk sosialisasi dan interaksi -
plus udah bayar lunas cyin!Engga murah pula:)))-
Nih lihat beberapa hasil karya Naya. Bukan saya yang ambisus kan? Kan? Kan? *BETE* :))))
|
Hasil anak 3 tahun saya |
|
Lumayan rapilah ya tulisannya |
|
Pas saya bilang "Kak itu BIS tulisan S-nya kebalik", Naya bilang "Itu memang Z bukan S ma, Gaya balu.":))) |
|
Anggota tubuh |
|
Hasil Karya |