Thursday, November 27, 2014

Naya and Me - Jawa Pos 24 Nov 2014

Hey! Look who's on the Monday Newspaper?:D

Cerita behind the scene dan versi komplit -yang lebih jelas- coming soon ya!:)

Sunday, November 23, 2014

B-o-r-e-d-o-m

Akhir-akhir ini saya sepertinya kehilangan semangat untuk mengerjakan apapun. Entahlah, saat di mana saya seharusnya memasang gigi empat untuk belajar karena ujian sudah di depan mata, saya malah lebih senang sibuk bermalas-malasan dan kruntelan bersama Naya atau mencari pernak-pernik lucu untuk mengisi rumah:p

Beberapa minggu terakhir ini, kegiatan saya memang super hectic. Mulai ditinggal ART dan babysitter selama hampir sebulan, pindahan rumah (ps: suami memutuskan pindah lalu pergi meninggalkan saya ke luar negeri berminggu-minggu langsung setelahnya hahahaha, sempat mangkel tapi ya sudahlah ya:p) yang artinya saya harus mengurus semua-semua-semuanya sendirian, belum lagi masalah persekolahan Naya yang tak kunjung usai. Saya jenuh sekali lho survey sekolah, btw.
Selain itu pun saya cukup terengah-engah menyelesaikan naskah karena sudah dikejar deadline buku terbaru. Belum cukup, saya pun dikejar-kejar oleh UTS yang akhirnya terlewati juga. Tinggal UAS S2 dan ujian akhir saja sebentar lagi, dan saya belum siaaaaap, saudara-saudara! *mulaipanik*

Have i told you how well-prepared i am? 

Saya tidak bisa mengerjakan sesuatu within last minutes. Mungkin karena saya gampang panik, kalau mengerjakan sesuatu last minutes, bisa dipastikan saya langsung blank karena heboh duluan dengan kepanikan. I never consider it as my weakness, until now. Serius, saya panik banget setiap lihat tanggal di kalender yang berjalan terus. Dan karena panik itu, saya malah blank dan justru tambah malas belajar:))) Its vicious cycle, i know. And i have to break it, i know. But how? That's the question.

Kejenuhan seperti ini bukan baru pertama kali saya rasakan. Sebelumnya sih, bisa teratasi dengan syuting dan siaran hehehe. Tapi mungkin karena buat saya kejenuhan yang sekarang ini bisa digolongkan kelas berat (no proper holiday or proper vacation for 5 years, imagine that), syuting, siaran atau blogging pun belum cukup untuk "mengobati" kejenuhan saya.

Saya tahu saya butuh libur. A proper one. I need my me time. Without thinking anything else but myself. Sulit juga mewujudkannya, saya langsung terbayang Naya yang lagi hobi mengekor saya ke mana pun, termasuk saat mandi. Serius lho, saya di kamar mandi pun anak gadis pasti ikut stay tuned di depan pintu. Manalah saya tega meninggalkan Naya? Belum lagi suami yang selalu ke luar kota atau negeri. Siapa yang mau mengurusi macam-macam di rumah kalau saya seenaknya berlibur? Jadi jelaslah ya harapan saya masih jauh dari angan-angan karena memang kondisi yang belum memungkinkan, entah kapan. I hope ASAP since i need my full speed now.

Now i really now why they said "Surga di telapak kaki ibu", really.
The key to heaven lies beneath you mother's feet, indeed.

The best thing i could do for now is crossing my fingers. Hopefully, i could overcome this boredom immediately so i could go back to my full speed. And please, do cross your fingers for me too, will you?:D

Wednesday, November 19, 2014

Speak Up! 2014

Minggu lalu saya kembali diundang menjadi pembicara di acara Speak Up! 2014. Sama seperti tahun sebelumnya, saya diminta membawakan materi public speaking. Apa itu public speaking, bagaimana melakukannya, common mistakes sampai tips berpublic speaking.

Pesertanya adalah para mahasiswa universitas Airlangga Surabaya yang kebanyakan dari fakultas kedokteran alias adik-adik kelas saya:D

Acara ini berlangsung seru sekali. Saya senang karena antusiasme peserta yang luar biasa. Berbagai pertanyaan diajukan pada saya tak henti-henti hahaha. Karena Naya sedang demam dan saya tidak ingin kepikiran, sengaja saya bawa Naya mengikuti acara ini dari kursi paling belakang.
Blessing in disguise, Naya sepertinya jadi terinspirasi lho! Awalnya Naya selalu malu-malu dan tidak mau ngomong dengan orang lain. Tapi setelah melihat mamanya dengan gagah berani tak kenal malu -malah malu2in:p- berbicara panjang lebar di depan orang banyak, Naya pun bilang "Mama, kakak juga mau kayak mama, Kakak abis gini berani ngomong sama orang lain." Alhamdulillaaaaaah:D

Anyway, di akhir acara pihak panitia membuat saya surprised. Saya diberi foto saat sedang membawakan materi yang sudah dibingkai. So cute! Kaget banget lho, kapan ya cetak fotonya?

Akhirnya saya punya juga foto candid saat sedang bekerja:p

Terimakasih ya panitia Speak Up! 2014:*

Monday, November 10, 2014

Saat Anak Berbohong

“Mama, kakak tadi engga minum jus buah. ”
“Lho, kenapa? Kan sudah mama siapin”
“Jus buahnya tumpah pas mau kakak minum.”
“Kok bisa tumpah kak?”
“Iya ditumpahin semut yang ada di kamar kakak.”

It doesn’t take a genius to know that my baby is lying. Awalnya, tentu saya kaget. Siapa yang mengajari Naya berbohong? Siapa yang dicontoh Naya?

Lain kesempatan, saya mencuri dengar obrolan Naya dengan seorang temannya. Sang teman ini bercerita mengenai liburan sekolahnya yang dihabiskan berjalan-jalan ke Dunia Fantasi.

“Oooh Dunia Fantasi. Yayayaya, kakak Naya juga pernah tu ke sana. Enak banget ya di sana.” Begitu tanggapan Naya.

Sekilas tidak ada yang aneh pada pernyataan Naya tadi. Hanya saja, saya tahu persis Naya tidak pernah ke Dunia Fantasi.

Saya sering mendengar ungkapan bahwa anak kecil tidak pernah berbohong. Lalu, kenapa Naya berbohong? Jujur saya sempat khawatir sekali, takut ada yang salah dengan cara pengasuhan saya.

Sebetulnya, berbohong adalah hal yang sangat manusiawi, pada anak-anak pun. Kapan kita harus mulai khawatir? Kapan kita harus mulai mengintervensi? Jawabannya adalah tergantung usia anak.

Di usia seperti Naya atau pre-schooler, anak terkadang masih sulit untuk membedakan mana kenyataan dan mana yang khayalan. Imajinasinya sangat kaya, sehingga mereka suka sekali mengarang dan melebih-lebihkan suatu keadaan. Mereka tidak berniat untuk berbohong sebenarnya, hanya karena kreativitas dan imajinasi anak sedang berkembang pesat, maka bisa terkesan sedang berbohong.

Alasan lain anak seusia Naya berbohong adalah ia sebenarnya berharap tidak melakukan kesalahan karena takut mengecewakan kita. Saat Naya “mengarang” cerita semut menjatuhkan gelas dan menumpahkan jus buahnya, sesungguhnya ia sedang berharap bahwa memang bukan ia yang menumpahkan jus buah karena khawatir saya akan kecewa padanya. Ia juga takut kalau saya marah saat mengetahui Naya menumpahkan jus buah yang sudah saya siapkan.

Selain itu, mencari perhatian pun adalah salah satu alasan kenapa anak berbohong. Naya pernah bercerita pada saya kalau di sekolah, saat pelajaran olahraga, ia bisa melompat setinggi pintu. Saya yang sedang asyik mengerjakan tugas lain langsung menghentikan kegiatan dan memberikan perhatian penuh padanya karena ingin tahu kenapa dia berbohong. Coba kalau Naya tidak cerita kalau lompatannya setinggi pintu, mungkin saya masih sibuk mendengarkan ceritanya sambil makan, sambil BBM-an atau kegiatan lain.

Jadi apa yang harus dilakukan saat anak preschooler ini berbohong?

1.     Stay cool
Ingat lagi, anak usia ini masih belum bisa membedakan benar mana kenyataan dan mana imajinasi. Tapi tetap tenang bukan berarti membiarkan anak untuk bebas mengarang cerita. Saya selalu membimbing Naya untuk mengerti mana yang imajinasi dan mana yang kenyataan. Jangan marah atau ngomel saat anak mengarang bebas. Dari pada dimarahi “Kamu jangan berbohong ya! Mana mungkin semut bisa menjatuhkan gelas? Bilang saja kamu yang jatuhkan.”, lebih baik ajak anak bicara baik-baik.

“Wah, semutnya pasti besar sekali ya kak kok bisa sampai jatuh gelasnya? Memang kakak pernah lihat semut yang besar sekali? Mama pernah. Tapi lihatnya di buku sama di televisi, karena itu engga betulan kak. Jadi, yang betulan itu semut pasti kecil dan engga bisa jatuhkan gelas kakak. Kalau kakak yang jatuhkan baru bisa. Tapi mama engga marah kok kalau memang kakak yang jatuhkan. Pasti kakak engga sengaja kan?”

2.     Cari tahu alasannya.
Cari tahu mengapa anak berbohong. Apakah karena ia takut dimarahi? Apakah karena ia sebenarnya mengharapkan kebohongannya jadi kenyataan? Atau sekadar mencari perhatian. Dengan mengetahui alasan berbohong, kita bisa mencegah anak berbohong kembali di masa yang akan datang. Misalnya, saat Naya berbohong menyalahkan semut yang menjatuhkan gelasnya. Saya yakin Naya khawatir saya marahi. Karena itulah, setiap mengetahui Naya melakukan kesalahan, saya tidak akan memasang tampang marah terlebih dahulu.

3.     Beri konsekuensi
Anak harus mulai diajari bahwa apapun yang ia lakukan akan ada konsekuensinya, termasuk berbohong. Dengan mengetahui ini, otomatis anak akan berpikir 2x saat muncul niat untuk berbohong. Contohnya, masih soal semut dan gelas. Setelah Naya mengakui bahwa memang benar ia yang tidak sengaja menjatuhkan gelas, saya memberikan konsekuensi padanya. “Ya sudah, engga apa-apa kak, tapi karena kakak tadi bilang ke mama semut yang menjatuhkan gelas, jus buahnya mama ganti besok ya, bukan sekarang. Seandainya kakak dari tadi bilang kakak yang engga sengaja, mama ganti jusnya sekarang deh.”

4.     Jangan marah
Saat anak melakukan kesalahan dan berkata jujur, jangan marahi anak. Beri pujian karena ia mau jujur mengakui kesalahannya.

5.     Beri contoh
Hal yang akan sangat diingat oleh anak untuk dicontoh adalah perilaku orangtua. Biasakan untuk bersikap jujur kapanpun. Anak masih belum mengerti benar konsep white lies, jadi pasti mereka bingung kalau kita mengajarinya selalu jujur, tapi marah saat mereka “jujur” mengatakan makanan buatan yangtinya tidak enak di depan yangti langsung. Daripada mengajari mereka berbohong –walaupun white lie-, sebaiknya ajarkan bagaimana mengungkapkan ketidaksukaan dalam bentuk yang halus. Misalnya daripada bilang “Ih, engga enak banget ini nasi kuning buatannya Yangti!”, lebih baik bilang “Maaf ya Yangti, kakak sebetulnya suka nasi kuning buatan Yangti, tapi yang ini rasanya kok engga kayak biasanya ya”.

Yang terpenting, ingat, children see children do. Tidak mau anak berbohong? Ya jangan berbohong:D

Friday, November 7, 2014

Tes Masuk SD

Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya di sini, beberapa minggu yang lalu saya mengunjungi pameran pendidikan yang berada di Grand City. Tujuan utamanya tentu untuk melihat-lihat tempat kursus menggambar -ps: anak gadis sekarang sedang terinspirasi menjadi pelukis setelah membaca buku soal anak yang pintar melukis *sigh*-, tambahannya, melihat sekolah yang -siapa tahu- mau menerima Naya SD tahun depan. Susah banget ya-_-"

Eh sedikit melenceng dari topik awal, mumpung lagi ngomongin sekolah yang mau menerima anak lebih muda dari keharusannya nih. Beberapa minggu terakhir saya mendapat banyak sekali email dari orangtua yang menanyakan pada saya sekolah mana yang mau menerima anak mereka di usia yang lebih dini dari seharusnya. Sejujurnya, saya belum membalas email-email tsb karena saya takut salah, dan membuat banyak orangtua menjadi salah mengerti.

Perlu diketahui, program pemerintah yang mengharuskan batas usia tertentu untuk tingkatan sekolah tentulah ada alasannya. Misalnya saja, pemerintah mengharuskan usia 7 tahun sebagai batas masuk SD karena di usia tsb, anak diharapkan sudah cukup matang secara emosi untuk mengerti benar mengenai tanggung jawab dan kemandirian, terlepas bagaimana kemampuan kognitifnya.

Yang menjadi fenomena saat ini adalah, orangtua berlomba-lomba menyekolahkan anaknya sedini mungkin, semata-mata karena orangtua merasa anaknya mampu mengikuti pelajaran di sekolah. Padahal sebenarnya ada yang jauh lebih penting daripada kemampuan kognitif, yaitu kematangan emosi dan kesiapan mental anak.

Ada yang ingin menyekolahkan anaknya berumur 4 tahun ke TK B agar di usia 5 tahun bisa masuk SD karena anak tsb sudah bisa membaca dan menulis. Ada yang mencari sekolah yang mau menerima anaknya, 5 tahun di kelas 1 SD karena anaknya sudah lancar menulis, berhitung dan membaca, dsb dsb dsb.

Ada yang mungkin terlewat dari observasi orangtua, yaitu terlepas dari kelancaran membaca, menulis, berhitung tadi, apakah anaknya sudah mengerti benar tanggungjawab dan kemandirian? Masih menangiskah saat ditinggal di kelas? Sudah bisa pipis sendirikah? Dan yang terpenting, sudah siapkah mereka berkurang jam mainnya? Karena pada dasarnya usia balita adalah usia bermain. Dengan "memaksakan" anak bersekolah lebih dini, kita seolah-olah merenggut haknya bermain.
Gambar diambil dari sini

Saat ini mungkin tidak terasa akibatnya. Tapi percayalah, kelak akan sangat terasa. Ada kerabat saya yang disekolahkan SD saat berusia 5 tahun. Sampai kelas 6 SD, dia selalu menjadi juara kelas. Tapi sepertinya memasuki SMP, ada kejenuhan belajar dan kebutuhan bermain yang tampaknya belum terpuaskan, sehingga anak yang langganan juara kelas tadi malah jadi tinggal kelas.

Lah, kamu sendiri bukannya sibuk setengah mati cari sekolah yang mau terima Naya, Met? 

Untuk kasus Naya, tentunya berbeda karena advis untuk menaikkan tingkat sekolah Naya datang dari psikolog dan dokter konsultan tumbuh kembangnya dengan alasan Naya "special". Sejujurnya, saya pun ragu sekali menuruti advis ini karena deep inside, saya masih kurang ikhlas menyekolahkan Naya jauh di level yang seharusnya. Kekhawatiran Naya akan terenggut hak bermainnya pun ada. Tapi sekali lagi, Naya berbeda. Dan ini bukan hanya perasaan saya saja. Ada buktinya berupa endless consultations to the experts.

Jadi, maaf ya kalau email yang seperti saya sebut di atas sengaja belum saya balas karena saya khawatir membuat para orangtua salah paham. Saya sendiri setuju dengan pendapat "untuk yang usianya nanggung masuk sekolah, lebih baik lebih tua daripada lebih muda" karena alasan-alasan yang saya sebut tadi.

Kembali ke topik awal. Dari sekian sekolah yang ada di pameran tsb, ada satu sekolah yang menarik perhatian saya. Bukan hanya karena nama besar sekolah ini, tetapi karena saat saya menanyakan perihal Naya, wakil kepala sekolah yang menerima saya terlihat sangat welcome. Tidak seperti perwakilan sekolah lain di pameran tadi yang justru bertanya balik pada saya mengenai gifted, wakil kepala sekolah ini tampak mengerti benar mengenai gifted children dan menjelaskan pada saya kemungkinan Naya bersekolah di sana walaupun umurnya masih jauh dari batas masuk, asalkan Naya lulus tes dan ada rekomendasi dari psikolog dan dokter tumbuh kembang anak.

Btw, saya sempat menangis gegara percakapan singkat dengan sang wakil kepala sekolah. Beliau bilang "Ibu, selamat ya atas karunia yang luar biasa dari Tuhan berupa anak gifted ini. Tapi maaf, merawat, mengasuh, membesarkan anak gifted ini sama sulitnya dengan membesarkan anak Down Syndrome, Cerebral Palsy, Autis atau disabilitas lainnya. Hanya saja, pendidikan di Indonesia sudah banyak sekali yang men-support anak berkebutuhan khusus seperti Down Syndrome, Cerebral Palsy atau Autis. Tapi khusus gifted, belum ada."

*Lalu saya setengah mati menahan air mata tumpah saat itu juga* --> cengeng ya? Emberrrr:')

Singkat cerita, karena kesan pertama tadi, saya memutuskan untuk membeli formulir pendaftaran dan mengikutkan Naya tes masuk kelas 1 SD. Agar Naya tidak kecewa apapun hasilnya (Saya engga mau kejadian daftar 15 sekolah dan menyebabkan Naya minder setengah mati terulang lagi), saya bilang bahwa Naya akan dites untuk main-main saja. Bukan untuk masuk SD.

Pada hari H, Naya sedikit rewel karena berjumpa dengan orang baru. NAya meminta saya menemaninya di ruangan yang sama dengannya saat tes. Saya menunggu Naya beberapa meter di belakangnya sebelum pada akhirnya keluar ruangan.

Saya mendengar tes masuk full dalam bahasa Inggris (karena memang sekolah tadi full-english). Mulai menulis, membaca, berhitung dengan soal cerita, mewarnai, menggunting semua dilakukan dalam bahasa Inggris. Saya merasa Naya tidak bisa mengerjakan soal tadi karena memang kami selalu berbahasa Indonesia di rumah, hanya sesekali bahasa Inggris.

Nyatanya, Naya bisa mengerjakan dengan baik tes tadi. Surprised! Pihak sekolah lalu mengajak saya berdiskusi. Menurut mereka, pihak sekolah akan senang sekali menerima Naya di sekolah tsb. Hanya saja, mereka ingin memastikan apakah Naya bisa berkembang secara optimal di sekolah tadi sebagai gifted. Dengan usia yang semuda Naya, pihak sekolah mengkhawatirkan perlakuan teman-temannya yang bisa jadi memperlakukan Naya tidak seperti pada teman sebaya. Saya diminta berdiskusi dengan psikolog dan konsultan tumbuh kembangnya lagi.

Satu-satunya keberatan saya sebenarnya adalah sekolah tersebut adalah sekolah berbasis Kristen. Memang, saya dulu sekolah SD-SMP di sekolah Katolik. Saya hapal doa Bapak Kami, Bunda Maria, bahkan segala macam nyanyian gereja di Madah Bakti pun saya hapal karena saya pernah menjadi keyboardis paduan suara gereja. Tapi, waktu itu saya tidak semuda Naya. Waktu itu pula, saya sudah belajar mengenai agama Islam terlebih dahulu. Saat ini, Naya belum juga bisa membaca Al Quran, walaupun hapal banyak surat pendek. Saya khawatir, Naya akan bingung karena basic agama Islamnya belum kuat benar.

Saya belum memutuskan apa-apa sih, karena memang belum mendiskusikan ini dengan suami dan psikolog serta konsultannya Naya. Tapi, sepertinya memang saya akan berusaha mencari sekolah lain dulu.

Saya sadar, perjalanan saya masih panjaaaaang sekali. Terkadang kalau lagi cengeng-bukan kadang ding, sering!:p-, mudah sekali air mata ini tumpah hehehe. Saya bingung apa yang harus dilakukan, saya khawatir apakah keputusan saya benar atau tidak, saya takut salah langkah dst dst.

-Jadi coba yang suka usil nyuruh saya punya anak lagi ya, jangan usil melulu:p-

Besar harapan saya dengan diangkatnya menteri pendidikan yang baru, pleaseeee pak Anies yang ganteng *ngerayu*, perhatikanlah pendidikan untuk anak gifted:)
-Kali aja ada yang kenal sama beliau, pesenin dong- *macam pesen gado-gado*:)))

Bismillahirahmanirahim. 

Busy Book for Naya

Karena menonton televisi atau bermain gadget hampir tidak ada di jadwal harian Naya, otomatis saya harus mencari aktivitas lain untuknya. Awalnya sih, saya belikan saja Naya buku aktivitas mewarnai, berhitung, menempel stiker, atau buku bacaan yang banyak tersedia di toko buku. Hanya saja, satu buku berhalaman 30-40 itu bisa lho dihabiskan Naya dalam 2 hari saja sehingga kalau dihitung-hitung, banyak juga pengeluaran saya untuk membeli buku. 


Setelah dipikir-pikir, akhirnya saya memutuskan membuat sendiri saja buku aktvitas yang saya namakan Naya’s Busy Book. Cara membuatnya mudah, murah meriah-emak irit:p-dan yang terpenting Naya senang sekali.



Saya menggunakan binder yang tidak terpakai bekas kuliah dulu. Kemudian halaman-halamannya saya isi dengan sisa kertas scrapbook milik saya sejak lama. Lumayan menghemat dan hitung-hitung mengajarkan anak juga untuk peduli lingkungan:D


Aktivitas yang saya isi dalam busy book ini sangat beragam. Mulai dari berhitung, mengikat tali sepatu sampai mengenali waktu.  


Jangan ditanya bagaimana senangnya Naya. Super happy! Naya bersemangat sekali mengerjakan aktivitas di busy book, sampai-sampai semuanya dikerjakan dalam waktu singkat-_-“ Yaaah anggap saja mendorong saya untuk berkreativitas lebih banyak agar bisa membuat aktivitas baru untuk Naya.


Karena semua saya kerjakan dengan tangan sendiri dari bahan-bahan bekas yang tak terpakai, hasilnya memang tidak terlalu rapi tapi saya bahagia melihat Naya excited dengan busy booknya. Kemanapun pergi, Naya pasti meminta busy book-nya dibawa. Oh ya, semua saya kerjakan tanpa menjahit lho! Saya memang tidak bisa menjahit sih:p


Beberapa aktivitas untuk anak saya tulis setelah ini yaaa, semoga bisa memberikan inspirasi:D #Playandlearn

Wednesday, November 5, 2014

Dari Rumah Baru:p

Fyuh, akhirnya postingan pertama di bulan November ini:D

Jadi ceritanya, saya lagi sibuk-sibuknya pindahan rumah nih. Tau dong, beberapa minggu terakhir ART dan nanny pulang, jadilah kerepotan saya bertubi-tubi datangnya. Sedang repot-repotnya entah kepikiran dari mana, suatu hari sang suami pulang dari kerja dengan semangat 45 mengajak saya pindahan. Eaaaaaa.

Rumah baru ini sebenarnya rumah saya di Bandung yang saya pindahkan ke sini karena malas ribet mengurusi jauh-jauh. Dulu, rumah di Bandung saya kontrakkan. Tetapi ribet yaaaak karena sewaktu-waktu saya diminta datang ke Bandung. Ya kali saya nganggur-_-"

Singkat cerita, rumah tsb saya jual dan "diganti" di Surabaya tahun lalu. Cukup lama renovasinya karena mencicil satu persatu hahaha.

Anyway, namanya rumah baru, suasana pun ikut baru. Termasuk soal internet. Sayang sekali provider internet kesayangan saya tidak mengcover daerah rumah baru saya. Duh, sedihnyaaaaa. Survey punya survey, say aberalih ke provider lain yang nyatanya lelet setengah mati. Sepertinya itu pulalah yang membuat saya malas-malasan mengupdate blog *alesan* :p

Sebetulnya banyak update yang ingin saya tulis nih! Tapi ya itu tadi. *lirikproviderinternetlelet*:)))

Sabar ya!:D
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...