Friday, March 6, 2015

Ikut Campur

Kemarin, seorang teman lama menelpon saya. Saya senang sekali karena sudah beberapa tahun ini "kehilangan jejak"nya. Kami dulu cukup dekat. Mawar -sebut sajalah begitu namanya ya-sering curhat masalah apapun pada saya, termasuk segala masalahnya dengan Duri -tentu saja bukan nama sebenarnya-, sang kekasih. Setelah berpacaran hampir 7 tahun, mereka akhirnya menikah dan pindah kota mengikuti tempat dinas Duri.

Hingga saat ini, kalau saya hitung-hitung mereka sudah menikah hampir 8 tahun dan telah dikaruniai 1 orang anak lelaki yang lucu. Kalau dilihat dari social medianya sih, Mawar terlihat bahagia dengan keluarga kecilnya tadi. Karena itu, saya bingung dan kaget bukan kepalang mendengar Mawar ingin bercerai dengan Duri. Lah? Ada apa nih?

Rupanya Mawar merasa Duri tidak mampu menafkahi hidup mereka dengan baik. Duri bekerja sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi negeri dan statusnya sebagai PNS menurut Mawar tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarga mereka. Duri juga mempunyai usaha sampingan membuka kost-kostan yang cukup ramai. Tapi Mawar tetap berpendapat kalau penghasilan Duri tak cukup.

Saya yang masih linglung kontan bertanya, "Lho, bukannya dari 8 tahun yang lalu Duri juga PNS ya? Dari kalian menikah juga Duri punya kost-kostan. Kenapa baru sekarang minta cerainya?"

Mawar menjawab, "Yaa sebenarnya selama ini sih aku merasa cukup, Met. Alhamdulillah walaupun tak mewah, kami masih bisa makan 3 kali sehari, masih bisa beli mobil keluaran 5 tahun lalu, bahkan masih bisa ke luar negeri untuk berlibur setiap tahun meskipun cuma negara tetangga."

Saya bertambah bingung. "Terus, sejak kapan kamu merasa engga cukup lagi?"

"Sejak aku mengikuti arisan di kompleks rumah. Ibu-ibu kelompok arisan suka bercerita kalau suaminya menghadiahkan mereka kalung berlian saat ulangtahun. Pas mereka tahu kalau suamiku engga pernah ngasih hadiah perhiasan mahal buatku, pada kaget semua tuh. Ada yang bilang gini lho Met, 'duh kalau aku punya suami pelit kayak gitu sih kucerai aja.', ada yang komentar juga 'Cari yang lain aja jeeeeng, banyak kok yang masih mau pasti.'. Setelah kupikir-pikir, iya juga ya Duri kok engga pernah beliin aku perhiasan mahal. Pas ulangtahunku paling dia cuma kasih mukena atau kue ulangtahun. Kusuruh dia cari kerjaan lain yang lebih menghasilkan malah ga mau. Ya sudah, cerai saja!"

Saya jadi ingat cerita tentang teman saya yang lain, anggap saja namanya Berto. Berto ini sudah berkeluarga dan memiliki 2 orang anak. Selama ini, kemana-mana Berto selalu mengendarai Kijangnya yang walaupun sudah tua, masih bagus karena dipelihara dengan baik. Keluarga mereka pun terkenal harmonis, sampai Berto mulai sering berhutang dan gali lubang tutup lubang hanya karena ingin mengganti mobilnya dengan mobil terbaru bermerk "wah". Karena urusan hutang-berhutang ini pun, Berto sampai nekad korupsi di kantornya dan mengakibatkan dia dipecat. Keluarga yang dulu harmonis kini mulai carut marut. Pada saat curhat ke saya, Berto bercerita kalau masalah yang dia hadapi semuanya berawal dari komentar teman-temannya yang penuh ledekan karena mobil tua Berto.

Cerita lain saya dapatkan dari seorang kenalan, anggap saja namanya Melati. Melati telah menikah hampir 3 tahun dan belum juga dikaruniai anak.  Awalnya mereka tak keberatan belum dikaruniai anak karena ingin memanfaatkan waktu berdua saja untuk pacaran. Awalnya pun mereka berniat berikhtiar sama-sama dengan penuh semangat untuk mendapatkan anak. Itu awalnya. Lama-kelamaan setelah berjuta pertanyaan "Kapan nih hamilnya?" dan "Kapan punya momongan?" serta "Apa engga periksa dulu saja? Jangan-jangan suami punya masalah?" atau "Biasanya sih yang mandul yang cewek" dari orang yang merasa Melati-dan-suami-engga-punya-anak-itu-adalah-masalah-saya, mereka sering cekcok, saling menyalahkan dan akhirnya cerai:(

Kalau diperhatikan, masalah dari semua contoh kasus yang saya tulis di atas bersumber pada satu hal, komentar dari orang lain yang bahkan bisa dibilang "bukan siapa-siapa". Bukan yang membiayai hidup, bukan yang melahirkan, bukan juga yang bertanggungjawab terhadap hidup mereka. Bahkan mungkin, setelah mengeluarkan komentar penuh "keikutcampuran" yang sudah menghebohkan, mereka yang usil ini sudah lupa sama sekali pernah melontarkan komentar demikian.

Mereka yang tadinya merasa hidupnya berkecukupan, bisa menjadi merasa serba kekurangan hanya karena satu komentar usil. Mereka yang tadinya merasa berbahagia hidup seadanya, menjadi merasa tak cukup lagi dengan seadanya hanya karena satu komentar usil. Mereka yang tadinya ikhlas menerima apapun yang Allah Swt berikan, menjadi mempertanyakan rencana Allah cuma karena komentar usil.

Pelajaran untuk kita semua -saya jugaaa!-, tak perlulah memberikan komentar apapun terhadap hidup orang lain, karena bagaimanapun hidup orang lain bukanlah hidup kita. Bukan kita yang menjalani hidup mereka, bukan kita pula yang berhak menilai hidup mereka. Bicaralah hal yang baik atau diam adalah satu ungkapan yang paling baik menggambarkan ini.

The most important thing to do in life is to not interfere with somebody else's life -Frank Zappa-

Pelajaran lain yang bisa diambil adalah sebagai makhluk sosial, tentulah wajar hubungan antar manusia terwujud dalam bentuk komentar, saran, kritik atau sekadar mengingatkan. Tetapi perlu diingat, tidak semua harus diikuti, tidak semua harus didengarkan.
Damn right!:p
Eh, sudah pada ikutan Reborn Giveaway belum sih? Masih ditunggu lho sampai 16 Maret 2015. Masih banyaaaak kesempatannya!

4 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...