Tuesday, March 28, 2017

Hablum Minallah Hablum Minannas

Saat umroh kemarin, ada satu tausiyah yang hingga kini terngiang-ngiang terus di telinga saya. Saat itu rombongan kami sedang tahajud bersama dan muthawif atau ustadz pembimbing memberikan tausiyah mengenai keutamaan shalat tahajud.

Beliau bercerita bahwa dulu ada seseorang yang dalam hidupnya (maaf saya lupa namanya hehe), tak pernah sehari pun tertinggal untuk melakukan shalat tahajud. MasyaAllah. Jangan pula ditanya shalat wajib dan sunnah lainnya, rajin bukan main. Tapi saat dilihat catatan malaikat mengenai ibadah, tak tertulis namanya sebagai ahli tahajud. Saat ia "protes", kenapa namanya bisa tak tertulis sebagai ahli tahajud? Sedangkan tak pernah sehari pun ia tinggal mengerjakan shalat tahajud.

Ternyata penyebabnya karena walaupun ia rajin sekali beribadah, tapi hubungan sosialnya tak dikerjakan. Ia tak pernah bersilahturahmi dengan saudara, tak pernah membantu tetangga, dan sebagainya.


Masih dari tausiyah yang sama, ada lagi cerita mengenai 3 orang yang berbeda. Orang pertama rajin sekali bekerja untuk keluarganya, sehingga melupakan ibadah. Yang kedua, sangat rajin beribadah, selalu berada di mesjid, tapi tidak bekerja dan tidak mengurusi keluarganya. Yang ketiga adalah di antara keduanya, bekerja iya, namun beribadah pun iya. Mana dari ketiganya yang masuk surga? Yang ketiga, karena tak hanya menjaga hubungan dengan Allah Swt saja (hablum minallah), namun juga hubungan dengan sesama makhluk Allah (hablum minannas).

MasyaAllah, betapa Allah SWT begitu menginginkan kita menjaga keseimbangan dalam berhubungan, tak hanya denganNya namun pun dengan sesama. 

Waktu mendengar cerita tersebut, saya jadi teringat dengan seorang teman lama. Lama tak pernah berkomunikasi, sekali waktu akhirnya hubungan terjalin kembali, thanks to technology. Alhamdulillah, saat ini ia rajin menyebarkan dakwah, termasuk pula di grup Whatsapp kami. Sayangnya, mungkin tak ia sadari, saat menyebarkan kebaikan dan mengingatkan ajaran agama itu, tak jarang ia justru menyakiti hati banyak orang.

Saat membahas mengenai menikah sebagai ibadah, dengan (mungkin) tak sadar ia menyampaikannya dengan "menyindir" beberapa teman kami yang belum menikah. "Ngapain sih kok engga menikah2?" "Enakan menikah lho daripada jomblo" "Ayo disegerakan menikah untuk menghindari maksiat" dan sebagainya. Betul sih, tapi coba bayangkan deh kalau ucapan itu ditujukan pada teman yang belum menikah di grup Whatsapp yang notabene dibaca banyak orang.

Salah satu teman yang tertuju rupanya tersinggung dan sempat curcol ke saya. "Ya elah, dikata gue kagak mau nikah apa. Tapi gimana dong kalau memang belum ada jodohNya? Gue juga udah usaha tapi yaa kalau kata Allah belum waktuNya gimana? "


Teman saya yang lain, sebut saja namanya dengan Z, pun ada yang serupa. Alhamdulillah, saat ini ia mendalami ilmu agama sehingga saya pun sempat mengaguminya. Sempat? Iya, karena hal yang sama dengan teman saya sebelumnya tadi. Ia sering sekali mengingatkan atau meyebarkan ajaran agama yang tentu saja baik, namun menurut saya caranya kurang pas. 

Bayangkan ya, di social media, Z ini seringkali "bergerilya". Melihat ada teman wanita yang memosting fotonya di Facebook, ia akan mengomentari bahwa kok suaminya rela ya kalau ada yang naksir sang istri setelah melihat foto-foto postingan di Facebook. (Ini di komen lho, bukan japri). Melihat ada teman yang memosting foto anak bayinya, dikomentarilah oleh Z mengenai betapa bahayanya penyakit a'in. Melihat foto-foto teman wanita yang belum berhijab, tentu tak lupa dikomentari, lengkap plus membandingkan dengan teman lain yang sudah berhijab. (Ini kejadian di Facebook saya hahaha. Saya sih tidak marah, malah minta didoakan segera mendapat hidayahNya, tapi rupanya teman saya yang lain tidak begitu).  Demikian seterusnya. Oh ya sekali lagi, ini semua komentar di social media tersebut yang notabene bisa dibaca orang banyak yaa, bukan lewat japri:D

Teman ini pun sering becanda dalam menyampaikan dakwahnya, namun lagi-lagi menurut saya kurang pas caranya. Contohnya nih, ingin mengingatkan teman-teman semua untuk bersedekah, ia malah hanya menyebut satu orang saja dengan pesannya "Tuh, jangan lupa tuh xxxxx, inget sedekah hehehe!". Di depan orang banyak ya ini settingannya, dan bukan teman dekat, sudah belasan tahun pula tak pernah berjumpa. Bisa dibayangkan perasaan bagaimana orang yang ia sebut? Curcolnya si xxxx ini pada saya: "Kesannya gue ga pernah sedekah, lagian sedekah itu kan urusan gue sama Yang Di Atas, emang tiap sedekah harus lapor dia dulu?" :))

Tak salah jika banyak yang akhirnya meng-unfriend teman saya ini di social media, bahkan sampai mem-block!

Saya pernah membaca bahwa Imam syafi’i berkata, “Barangsiapa menasehati saudaranya dengan sembunyi-sembunyi, berarti ia telah menasehati dan mengindahkannya. Barangsiapa menasehati dengan terang-terangan, berarti ia telah mempermalukan dan memburukkannya."
Beliau bahkan menuliskan satu syair:


Berilah nasihat kepadaku ketika aku sendiri,
dan jauhilah memberikan nasihat di tengah-tengah keramaian
karena nasihat di tengah-tengah manusia itu termasuk satu jenis
pelecehan yang aku tidak suka mendengarkannya
jika engkau menyelisihi dan menolak saranku
maka janganlah engkau marah jika kata-katamu tidak aku turuti[
 
 Adalah suatu kewajiban kita untuk saling mengingatkan dan menasehati untuk kebaikan, tapi kita juga harus tahu nih bagaimana caranya yang pas. Jangan sampai kebaikan tadi akhirnya tidak diterima dengan baik hanya karena cara kita menegur atau mengingatkan yang salah:) Jangan sampai juga niat baik kita untuk menyebarkan atau mengingatkan sesama malah jadi berbalik menjadi dosa karena sudah menyakiti sesama.

Kembali ke tema awal, memang menjaga hubungan kita pada Allah Swt harus seimbang dengan menjaga hubungan kita dengan sesama. InsyaAllah, semoga kita semua bisa menjaga keseimbangan ini yaa, aamiinn!

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...