Friday, September 4, 2015

Pola Parenting

Kemarin ada yang menanyakan bagaimana pola asuh alias parenting saya dan suami terhadap Naya. Memang ini bukan pertanyaan yang pertama diajukan pada saya, tapi tetap saja saya selalu bingung menjawabnya. Mungkin karena memang tidak ada juklak atau SOP paling benar mengenai parenting ya!

Saya dan suami sama-sama tegas dan disiplin. Saya sendiri dulunya dididik dengan sangat keras. Maksudnya bukan keras dalam artian fisik ya, tapi memang betul, saya tumbuh di keluarga yang banyak aturan. Makan harus di meja makan bersama keluarga. Sebelum Maghrib, harus sudah sampai rumah. Televisi hanya boleh nyala sejam dalam sehari (termasuk setelah saya SMA!). Semua jadwal saya sehari-hari sudah teratur, sampai ke jam-jam-nya. Dan sebagainya. Dan sebagainya.

Menyebalkan? Sangat! Saya dulu mangkel sekali lho! Sirik rasanya melihat teman sebaya yang bebas merdeka bisa melakukan apapun yang mereka mau. Tapi, benar juga kata orang tua saya. "Percaya deh, kelak kamu akan mengerti kenapa mama papa begini, dan pasti kamu akan berterimakasih mama papa sudah mendidik kamu seperti ini."


Dulu, saya mempertanyakan kata-kata itu. Ah, yang benar saja. Apa enaknya hidup dengan segala macam aturan? Bagaimana bisa saya merasa hal seperti ini bermanfaatn?

Tapi, setelah saya dewasa, memulai hidup jauh dengan orang tua, terutama setelah papa meninggal dunia, saya benar-benar merasakan semua manfaatnya. Tanpa saya sadari, selama ini rupanya secara tak langsung orangtua saya mengajarkan banyak hal, bukan semata soal menuruti aturan saja.

Dengan membiasakan hidup teratur, saya jadi terlatih me-manage waktu dengan baik. Waktu 24 jam sehari harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin. Saya jadi ingat satu quote deh nih, semua orang di dunia mempunyai jatah waktu yang sama. 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu. Lalu apa bedanya saya dan presiden? Atau dengan Isaac Newton? Atau dengan tokoh lainnya. Kalau orang lain bisa memanfaatkan jatah waktunya agar bermanfaat untuk orang banyak, saya mustinya juga bisa.

Selain waktu, berdisiplin secara finansial pun sangat penting. Bayangkan, waktu papa meninggal, kalau saya tidak berdisiplin menggunakan uang untuk hal yang benar-benar perlu, bagaimana? Mungkin saya tak bisa lulus kuliah sampai sekarang. Papa dari dulu melatih saya untuk hidup sederhana, dan tidak terpengaruh gaya hidup orang lain.

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat ngobrol dengan mama soal betapa bersyukurnya saya dididik sedemikian keras waktu kecil karena saat ini bisa merasakan semua manfaatnya. Tanpa disangka, mama saya bilang "Waktu papa divonis kanker (saya masih kelas 2 SD waktu itu, tak mengerti apa-apa), sebagai dokter papa mengerti benar prognosisnya. Kemungkinan sembuh sangat kecil. Lalu, hanya satu yang dipikirkan. Bagaimana dengan mama, kakak dan kamu yang waktu itu masih kecil-kecil? Mama keluar kerja karena papa sakit. Papa engga mau kamu dan kakak engga bisa sekolah dan engga bisa hidup kalau papa engga ada. Karena itu memang papa sengaja mendidik kakak dan kamu keras karena papa ingin kamu dan kakak bisa survive di dunia yang lebih keras walaupun engga ada papa. Kamu tahu engga, setiap habis marahin kamu kalau kamu engga disiplin, mama sama papa masuk ke kamar dan nangis lho. Antara engga tega lihat kamu nangis, sama harus ditega-tegain biar kamu kuat mental dan tahu kalau disiplin itu penting."

(And, yes, i was crying a river to hear that--> kan cengeng:p)

Anyway, kembali ke topik awal. Saya merasa pola asuh orang tua saya dulu sangat bermanfaat buat saya di kemudian hari. Sehingga, saya pun mendidik Naya agar berdisiplin juga.

Saya bukan tipe orang tua yang membebaskan anaknya mencoret-coret atau melukis di tembok rumah. Iya betul, memang kreativitas atau imajinasi sangat penting buat anak. Saya tak melarang kok kalau Naya mau mencoret-coret atau melukis di kertas atau di kaos yang disediakan. Buat saya, kebebasan yang baik bukan yang sebebas-bebasnya melainkan yang pada tempatnya, dan pada porsinya masing-masing.

Saya membebaskan Naya main air, tapi di kamar mandi. Saya juga mengijinkan Naya main tanah, tapi di halaman. Intinya, kebebasan yang tetap bertanggung jawab.

Sekali lagi, memang tidak ada teori parenting yang paling baik. Tak ada textbook yang menulis aturan baku bagaimana mengasuh dan mendidik anak, karena semua orang tua pasti mempunyai keinginan terbaik bagi anaknya yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing. Betul?;)






1 comment:

Unknown said...

"I was crying a river"..ahh, ternyata saya tak sendirian :')
Kita sama ternyata dok. Saya anak pertama, perempuan, dan di didik dg keras baik dg aturan bahkan sampe di toyor. Makan harus bareng di meja, pulang sebelum jam 5, ga boleh main kerumah teman. Pertama kali pulang malam ya sampai jam 9, itupun gara2 perpisahan kelas dan yg jemput di tanya dulu anak siapa, rumahnya dmn, dll. Bahkan sampai kuliah pun papa rutin nelpon SETIAP MaLAm buat nanya lagi apa, uda makan apa belum, ngingetin ga boleh pacaran kalo belum wisuda *absen harian*. Ahh, papa memang bukan manusia sempurna, tp kalo papa ga mendidik keras, entah jd apa saya hari ini. pelantikan kemarin Papa jd org yg paling semangat datang dan bertepuk tangan paling keras waktu nama saya resmi ditambah "dr." Disitu saya tau, Papa ya tetap papa yg jd sahabat waktu masih kecil. Dia cuma mendidik kita jd org sukses dg caranya sendiri :')

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...