Thursday, April 25, 2013

All That Matters

Setiap mendengar nama Kartini, kata pertama yang terlintas di benak saya adalah emansipasi.

Sebagai seorang perempuan, saya sungguh sangat berterimakasih kepada Kartini. Coba bayangkan, tanpa beliau mungkin perempuan di Indonesia sampai saat ini tidak mempunyai kesempatan yang sama dengan pria untuk mengenyam pendidikan, bekerja atau bahkan menjadi pemimpin.

Sekarang? Ah, bisa kita lihat dimana-mana kaum perempuan bekerja yang tidak kalah dengan pria. Bahkan banyak juga perempuan yang menjadi pimpinan. Profesi yang dulu hanya menjadi milik laki-laki sudah 'dibagi' rata kesempatannya dengan perempuan.

Waktu belum menikah, impian saya adalah mendukung Kartini membuktikan bahwa perempuan bisa sama dengan laki-laki. Saya tidak keberatan harus bekerja semalaman di studio setelah dinas seharian di rumah sakit. Tidak mengeluh juga kalau diberi tugas jaga bolak/i sampai jarang melihat rumah. Kalau yang laki-laki bisa, saya juga harus bisa dong!

Tapi setelah menikah dan -apalagi- punya anak, duh rasanya kaki ini berat sekali untuk melangkah pergi bekerja. Saya ingin mendampingi Naya setiap hari. Saya lebih ingin bersama Naya setiap saat dibandingkan bekerja. Saya ingin menjadi saksi mata langsung tumbuh kembang Naya. Sempat terlintas niat saya untuk berhenti bekerja saja.Lalu apa kabar dengan impian saya untuk mendukung Kartini?

Saya jadi berpikir, apakah harus menjadi wanita karier dulu untuk menjadi seorang Kartini? Apakah harus menjadi ibu bekerja dulu untuk dapat disebut sebagai seorang Kartini?

Saya tahu banget nih, Full Time Mom alias Ibu Rumah Tangga dan Working Mom alias ibu yang bekerja alias wanita karier masih jadi bahan perdebatan abadi sampai sekarang.

Saya jadi ingat 'perang status BBM' teman-teman saya.

"Alhamdulillah ya, Laika -bukan nama sebenarnya- lulus ASIX plus MPASI rumahan buatan ibunya sendiri. Biarpun capek no nanny, no maid, insyaAllah berkah Tuhan balasannya."

"Bekerja demi masa depan Biyan -juga bukan nama sebenarnya-. Biarpun capek, selama masa depan Biyan terjamin, engga masyalah."

"Rejeki anak ada sendiri-sendiri, engga perlu kerja terlalu ngoyo. Yang penting justru bonding dan kasih sayang ibu."

"Buat apa jauh-jauh memikirkan masa depan kalau saat ini anak kurang waktu dan perhatian?"

"Bekerja=aktualisasi diri=modal mendidik anak"

Dan masih banyak lagi. Intinya, yang tidak bekerja merasa lebih baik karena dapat sepenuhnya 'memegang' anak. Yang bekerja pun tidak mau kalah karena merasa dengan bekerja dapat mengaktualisasi diri demi modal mendidik anak. Ngenes ya bacanya? Eh tapi ini benar-benar kejadian lho!

Buat saya, ibu bekerja atau ibu rumah tangga apapun sebutannya, tetap adalah seorang ibu. Seseorang yang dengan ikhlas akan melakukan segalanya, mengorbankan apapun untuk anak. Seseorang yang akan selalu memberikan yang terbaik untuk anaknya.

Bekerja atau tidak, ibu adalah sosok sempurna seorang Kartini. Sama seperti Kartini, ibu pun berjuang melahirkan dan membesarkan manusia. Di tangan ibu, generasi muda bangsa dibentuk.

Apapun jabatannya, mau direktur, manajer, dokter, ibu rumah tangga, presiden sekalipun, saya yakin hanya 'sampingan' saja karena pekerjaan utama adalah sebagai seorang ibu. Titik.

Dimanapun berada, saat sedang di kantor, di tempat kerja, saya yakin hati dan pikiran ibu selalu ada pada anak-anaknya.

Pilihan berkarier atau tidak memang kembali ke pribadi masing-masing dengan segala pertimbangannya. Saya sendiri memilih tetap berkarier karena yakin insyaAllah bisa menyeimbangkan tugas saya sebagai ibu dan wanita bekerja dengan prioritas keluarga.

For all the mothers in the world, please stop arguing about full time mother or working mother. We are all Mothers. Period. It's all that matters:)

Saya yakin kalau Kartini masih ada, beliau akan tersenyum bangga pada kita semua.

Selamat hari Kartini!

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...