Setiap mendengar nama Kartini, kata pertama yang terlintas di benak saya adalah emansipasi.
Sebagai
seorang perempuan, saya sungguh sangat berterimakasih kepada Kartini.
Coba bayangkan, tanpa beliau mungkin perempuan di Indonesia sampai saat
ini tidak mempunyai kesempatan yang sama dengan pria untuk mengenyam
pendidikan, bekerja atau bahkan menjadi pemimpin.
Sekarang?
Ah, bisa kita lihat dimana-mana kaum perempuan bekerja yang tidak kalah
dengan pria. Bahkan banyak juga perempuan yang menjadi pimpinan.
Profesi yang dulu hanya menjadi milik laki-laki sudah 'dibagi' rata
kesempatannya dengan perempuan.
Waktu
belum menikah, impian saya adalah mendukung Kartini membuktikan bahwa
perempuan bisa sama dengan laki-laki. Saya tidak keberatan harus bekerja
semalaman di studio setelah dinas seharian di rumah sakit. Tidak
mengeluh juga kalau diberi tugas jaga bolak/i sampai jarang melihat
rumah. Kalau yang laki-laki bisa, saya juga harus bisa dong!
Tapi
setelah menikah dan -apalagi- punya anak, duh rasanya kaki ini berat
sekali untuk melangkah pergi bekerja. Saya ingin mendampingi Naya setiap
hari. Saya lebih ingin bersama Naya setiap saat dibandingkan bekerja.
Saya ingin menjadi saksi mata langsung tumbuh kembang Naya. Sempat
terlintas niat saya untuk berhenti bekerja saja.Lalu apa kabar dengan
impian saya untuk mendukung Kartini?
Saya
jadi berpikir, apakah harus menjadi wanita karier dulu untuk menjadi
seorang Kartini? Apakah harus menjadi ibu bekerja dulu untuk dapat
disebut sebagai seorang Kartini?
Saya
tahu banget nih, Full Time Mom alias Ibu Rumah Tangga dan Working Mom
alias ibu yang bekerja alias wanita karier masih jadi bahan perdebatan
abadi sampai sekarang.
Saya jadi ingat 'perang status BBM' teman-teman saya.
"Alhamdulillah
ya, Laika -bukan nama sebenarnya- lulus ASIX plus MPASI rumahan buatan
ibunya sendiri. Biarpun capek no nanny, no maid, insyaAllah berkah Tuhan
balasannya."
"Bekerja demi masa depan Biyan -juga bukan nama sebenarnya-. Biarpun capek, selama masa depan Biyan terjamin, engga masyalah."
"Rejeki anak ada sendiri-sendiri, engga perlu kerja terlalu ngoyo. Yang penting justru bonding dan kasih sayang ibu."
"Buat apa jauh-jauh memikirkan masa depan kalau saat ini anak kurang waktu dan perhatian?"
"Bekerja=aktualisasi diri=modal mendidik anak"
Dan
masih banyak lagi. Intinya, yang tidak bekerja merasa lebih baik karena
dapat sepenuhnya 'memegang' anak. Yang bekerja pun tidak mau kalah
karena merasa dengan bekerja dapat mengaktualisasi diri demi modal
mendidik anak. Ngenes ya bacanya? Eh tapi ini benar-benar kejadian lho!
Buat
saya, ibu bekerja atau ibu rumah tangga apapun sebutannya, tetap adalah
seorang ibu. Seseorang yang dengan ikhlas akan melakukan segalanya,
mengorbankan apapun untuk anak. Seseorang yang akan selalu memberikan
yang terbaik untuk anaknya.
Bekerja
atau tidak, ibu adalah sosok sempurna seorang Kartini. Sama seperti
Kartini, ibu pun berjuang melahirkan dan membesarkan manusia. Di tangan
ibu, generasi muda bangsa dibentuk.
Apapun
jabatannya, mau direktur, manajer, dokter, ibu rumah tangga, presiden
sekalipun, saya yakin hanya 'sampingan' saja karena pekerjaan utama
adalah sebagai seorang ibu. Titik.
Dimanapun berada, saat sedang di kantor, di tempat kerja, saya yakin hati dan pikiran ibu selalu ada pada anak-anaknya.
Pilihan
berkarier atau tidak memang kembali ke pribadi masing-masing dengan
segala pertimbangannya. Saya sendiri memilih tetap berkarier karena
yakin insyaAllah bisa menyeimbangkan tugas saya sebagai ibu dan wanita
bekerja dengan prioritas keluarga.
For
all the mothers in the world, please stop arguing about full time
mother or working mother. We are all Mothers. Period. It's all that
matters:)
Saya yakin kalau Kartini masih ada, beliau akan tersenyum bangga pada kita semua.
Selamat hari Kartini!
No comments:
Post a Comment