Monday, October 29, 2012

RUM Part-2

Di tengah heboh-hebohnya soal RUM yang pernah saya bahas disini, saya jadi ingin membahas soal orangtua pasien nih soal pengetahuan mengenai RUM ini:D

Sekian lama berhadapan dengan pasien anak, saya bisa mengelompokkan orangtua (terutama ibunya) kedalam 3 bagian besar.

Yang pertama, kelompok orangtua yang memasrahkan segalanya kepada dokter. Terserah dokternya wis, mau dikasih antibiotik atau engga, mau diresepi puyer apa engga, diagnosisnya apa juga pokoknya gimana dokter. Wong kita engga ngerti apa-apa, percaya aja deh. Yang penting sembuh. Mahal-mahal bayar kok pakai ikut repot dan pusing segala mikirin diagnosis dan obat anak. Ada yang begitu?;)

Yang kedua, kelompok orangtua yang kritis, senang berdiskusi dengan dokternya. Kenapa harus diberi antibiotik, diagnosisnya apa, apa bahayanya, dll.
Biasanya sih orangtua dari kelompok ini sudah terlebih dahulu mencari info soal kesehatan anak lalu berusaha mengonfirmasi semua info tadi dengan dokternya. Orangtua kelompok ini juga biasanya well-informed, tahu benar yang mana yang harus dikasih antibiotik, yang mana yang engga. Yang mana yang bisa home treatment, mana yang harus diobati. Kalaupun ragu, orangtua dari kelompok ini memastikan untuk bertanya lebih dahulu pada dokternya, bukan semata-mata memutuskan sendiri. Dulu sih, saya jarang banget menemukan orangtua seperti ini. Tapi sekarang jumlahnya sudah mulai banyak lho!*happy*

Dan yang ketiga, kelompok orangtua yang engga kalah kritis (tapi kebablasan). Kenapa saya bilang kebablasan? Karena kekritisannya tidak diimbangi dengan informasi yang didapat. Istilah saya, hanya tahu setengah-setengah. Tahu antibiotik tidak boleh diberikan sembarangan, tapi tidak tahu kalau antibiotik itu bukan larangan selama dengan indikasi.  Tahu kalau obat-obatan pun sebaiknya tidak diberikan selama masih bisa home treatment, tapi tidak tahu kapan home treatment harus beralih ke terapi yang diberikan dokter. Orangtua kelompok ini juga suka "mengetes" dokternya. Kira-kira dokter ini ngasih antibiotik engga ya (dan begitu diresepi antibiotik langsung mencap sang dokter tidak pro RUM, antibiotik yang diberi engga bakal ditebus), kira-kira obat yang dikasih aman engga ya (dibandingkan dengan google), dan tidak jadi memberikan obat yang sudah diresepi dokter. Kelompok orangtua yang ini pun dulu jarang saya temui, tapi pelan-pelan mulai banyak sekarang:)

Nah, coba direnungkan, termasuk kelompok yang manakah kita?:D

Kalau buat saya sih, yang paling ideal dan menyenangkan adalah kelompok kedua. Bersikap kritis boleh-boleh saja kok. Itu adalah hak semua orangtua. Saya malah lebih senang kalau ada orangtua yang mengajak saya diskusi dan mengetahui benar apa alasan saya meresepkan obat tertentu. 
Dengan kelompok yang pertama, biasanya saya menjelaskan hanya seperlunya saja, karena khawatir kalau saya jelaskan secara mendalam, orangtua tidak mengerti dan malah kebingungan. Mostly, kelompok pertama ini datang dari kalangan yang tidak berpendidikan.

Sementara itu terhadap kelompok kedua, saya senang sekali menjelaskan sampai sejelas-jelasnya, baik ditanya ataupun engga. Mulai dari alasan saya mendiagnosis suatu penyakit, obat apa yang saya resepkan, kenapa saya meresepkan obat tsb, apa efek samping yang bisa saja terjadi, bagaimana prognosis anaknya sampai ke bagaimana usaha yang bisa dilakukan untuk mencegah anak sakit lagi. Saya yakin dengan menjelaskan sedetail mungkin, kelompok kedua ini akan merasa lega karena terinformasikan dengan jelas dan lengkap. Harapan saya sih, saat orangtua yakin dengan dokternya, compliance (kepatuhan minum obat) pasien baik, pasien cepat sembuh dan engga gampang sakit lagi.Win-win solution kan? Orangtua senang, dokter senang, anak pun senang:)

Nah untuk yang kelompok ketiga, percaya atau engga, saya bisa merasa lho kalau sedang sekedar dites atau ditanya beneran. Mungkin ini 6th sense yaa:p
Dan sebagai manusia biasa, biasanya saya sudah merasa malas duluan untuk menjelaskan detail. Rasanya seperti membuang-buang waktu yang bisa lebih berguna dipakai menjelaskan pasien dengan orangtua di kelompok kedua tadi. Jadi, kalau saya menghadapi kelompok ketiga, saya hanya akan menjawab pertanyaan yang diajukan saja. Kalau memang pertanyaannya detail, saya juga akan menjawab detail kok. Memang sudah kewajiban saya. Tapi kalau nanyanya engga detail, ya saya juga jawabnya engga sedetail itu:D

Sekarang kalau peran saya dibalik yaa.. Seandainya saya yang jadi orangtua, saya pasti ingin yang terbaik untuk anak saya. Saya ingin menerapkan RUM dan home treatment. Saya akan mencari info -yang valid- sebanyak-banyaknya. Tapi saya sadar, bahwa semua yang saya baca di google itu belum tentu benar dan valid. Saya punya hak untuk mengonfirmasi semua info ke dokter anak saya. Pasti saya akan berdiskusi sama dokter anak saya. Baru deh, kalau ternyata dokter anak tsb engga bisa memberikan argumen atau alasan yang kuat dalam mendiagnosis, memberikan obat, hak saya buat ganti dokter.

Sekali lagi, being smart parents is a must. Tapi jangan setengah-setengah ya!:)

Oh ya, saya lagi pengen banget nulis soal kontroversial puyer nih. Next post yak!

1 comment:

Bunda 'Aqila said...

Dokter Meta wajar deh kalo sebel sama ibu2 kelompok ke-3 (kok kyk tugas kuliah aja ya ada kelompoknya) saya aja yang emak2 awam (bukan dokter maksudnya) juga sebel kok kalo disalah2in gara2 dibilang dikit2 bawa anak ke dokter..lah masa kita nunggu anak sakit parah dulu baru ke dokter? apalagi saya gak tau masalah kesehatan jadi serahin aja ke ahlinya dengan catatan ya sebelumnya usah cari2 info dulu ttg kesehatan anak.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...