Tuesday, October 2, 2012

Ribut-ribut Susu

Beberapa hari terakhir ini lini masa di twitter dipenuhi oleh ribut-ribut masalah susu. Ada yang menganggap bahwa susu (sapi) tidak perlu dikonsumsi karena membahayakan kesehatan dan tidak layak dikonsumsi manusia. Ada juga yang beranggapan susu (sapi) penting adanya, menyehatkan walaupun tidak wajib untuk anak berusia diatas 2 tahun.

 Kalangan yang menganggap bahwa susu membahayakan dan justru akan membuat osteoporosis serta penyakit bahaya lainnya merujuk pada buku best seller karya Dr. Hiromi Shinya, The Miracle Of Enzyme. Sudah pernah baca? Saya sudah! Dan tidak sepenuhnya setuju dengan buku tersebut. Tapi bukan itu –well, at least belum deh ya:p-yang mau saya bahas.

Saya (sangat) tergelitik dengan suatu pernyataan dari mereka yang anti susu sapi. Dedengkotnya, sebut saja begitu, menulis bahwa  

Kalau dokter-dokter itu masih aja ada yang ngeles bilang susu engga berbahaya dengan alesan "Tidak berdasar tulisan ilmiah" berarti mereka engga bisa baca!.

Maaf ya, tanpa mengurangi rasa hormat saya, tapi justru karena membaca pernyataan ini, saya semakin yakin bahwa apa yang ditulisnya sangat sangat sangat HARUS diragukan kebenarannya. (Sengaja diulang 3x, dikapitalisasi dan dibold:p)

Kemudian followernya di twitter mendukung pendapatnya dengan bermacam-macam testimoni seperti “Duh engga usahlah evidence based2an, ini terbukti kok! Saya DULU rutin minum susu malah sakit-sakitan sekarang tanpa susu sehat walafiat”. Ada lagi yang “Ini kenyataan! Anak saya malah mencret dikasih susu, tanpa susu engga pernah mencret dan sehat walafiat!” dan beberapa pernyataan senada.

Oke, saya mau bahas sedikit soal Evidence Based Medicine alias EBM. Istilah yang sering disebut-sebut kalangan medis untuk menilai suatu teori, lama maupun baru.

EBM is the integration of BEST research evidence with clinical expertise and patient values. (Sacket DL et al, 2000).

Kenapa harus ada EBM? Jadi begini, dunia medis akan selalu berkembang seiring berjalannya waktu. Karena itu, informasi terupdate tentang bagaimana mendiagnosis pasien, prognosis, terapi sampai prognosis pasien harus ikut diupdate. Dan sebaiknya semua tenaga medis mengikuti ini demi kepentingan pasien.

Misalnya gini deh, sebut aja obat X dari jaman dahulu kala sudah dikenal sebagai pilihan untuk mengobati penyakit Y. Eh setelah sekian lama, ada penelitian yang membuktikan kalau ternyataaaaaa obat X itu engga aman karena ada efek samping tertentu. Ada penelitian lain lagi yang menemukan bahwa obat Z lebih baik daripada obat X buat pengobatan. Apakah kita masih mau pakai obat X? Engga kan?

Tujuan EBM adalah membantu pengambilan keputusan klinis. Bisa pencegahan, diagnosis , terapi yang semua harus berdasarkan bukti ilmiah terbaru dan terpercaya.

Sekarang kita ngomongin soal penelitian yaa. Semua orang bisa melakukan penelitian. Saya saja sekarang sedang melakukan 3 penelitian. Ada yang jumlah sampelnya “cuma” 16 orang. Apakah nanti setelah penelitian saya selesai, kesimpulannya bisa dipakai untuk semua orang di dunia? *yeah I wish:p*

Untuk dapat dipublish dan dijadikan referensi internasional, penulis jurnal penelitian tsb harus mempunyai kredibilitas. Selain itu tentu saja kita harus melakukan telaah jurnal alias critical appraisal pada semua jurnal.
Gampangnya, kalau saya sih, karena siwer juga bacain jurnal satu-satu cari jurnal dari portal yang terpercaya semacam Pubmed.com.

Penelitian ini juga ada tingkatannya lho. Yang paling atas adalah Meta-Analysis (bukan Meta Hanindita:p), dimana jumlah sampel biasanya banyak dan berasal dari banyak penelitian yang dianalisis. Selanjutnya adalah Systematic Reviews,  Randomized Controlled Trials, Case Control, Case Reports, Opinions dan terakhir, Animal Research.

Kembali ke kasus di atas. Saya berandai-andai dulu nih ya! Misalnyaaaaa, saya nulis di blog dan twitter “Ternyata makan nasi itu berbahaya lho! Hipertensi, kencing manis, semua disebabkan rutin makan nasi. Saya dulu sering migren, sering rematik. Tapi begitu stop makan nasi, sehat walafiat” Terus saya berhasil menerbitkan buku tentang ini. (Fyi, penerbit mah mana peduli valid apa engga, yang penting bukunya laku titik).

Diikuti dengan banyaknya testimoni dari followers saya yang senada dengan statement saya.

Apa ada tenaga medis di dunia yang mau mengikuti saya?:D
(Kalau ada saya rela keliling dunia ditemenin Brad Pitt #eh).

Coba kalau begitu, apa bedanya saya dengan klinik T*ngfang yang menghebohkan itu? Yang jelas sih ada kesamaannya, sama-sama ENGGA TERBUKTI ILMIAH.

Jadiii, kalau ada yang sampai berpendapat “Ah, engga usah deh dikit-dikit EBM, bilang aja ngeles. Engga update ilmunya!” Saya sih ngakak aja *sambilnyeruputsusucokelat*

Atau statement-standar-suudzon-ke-dokter-sepanjang-masa, "Dibayar berapa sih dokter sama pabrik susu?"   InsyaAllah, saya jadi dokter anak adalah karena niat baik demi bekal untuk di akhirat kelak. Bukan semata-mata materi. Kadang malah saya suka mikir, yang kepikiran gitu mungkin yang material-minded. Kok bisa-bisanya ya.

Saya sempat sewot dulu waktu ada masalah vaksin-anti vaksin. Karena menurut saya mereka yang anti vaksin merugikan semua orang termasuk yang vaksin. Sebaliknya, soal susu ini sih sebenernya engga ada yang dirugikan. Jadi eike engga sewot-sewot amatlah cyiiin!*benerinkemben* Yahh suka-suka situ deh cyinn, mau minum susu kek mau engga, not my business.

Cumaaaaa, sebagai tenaga medis, saya wajib meluruskan berita-berita geje di luar YANG TIDAK BERDASARKAN ILMIAH. Seandainya emang ada meta-analysisnya betapa ternyata susu sapi membahayakan kesehatan, saya PASTI tidak akan menganjurkan susu sapi untuk pasien saya:)
Kalau engga EBM, ah tauuu deh *ngomongsamatangan*

Diambil dari gotmilk.com.
*Yang saya maksud disini penggunaan susu sapi untuk yang tidak intoleransi  ya!

10 comments:

Rahmi Aziza said...

waktu itu pernah tanya ke dkter anak, diatas usia setahun dikasih susu formula penting ga dok, katanya ngga perlu, yang perlu diperhatikan adalah makanan padatnya dan tetap kasih asi sampe 2th.

Trus tanya lagi kalo stelah dua tahun, selepas as perlu ngga dikasih formula, jawabnya lagi ngga perlu, terpenting adalah makanan padatnya. Kalo menurut mba Meta gimana?

@mirasahid said...

Ternyata kalangan medis pun bisa berbeda pendapat ya, mak. Kalau aku sih selalu mengambil jalan apa yang aku yakini ajah. Alhamdulillah, susu masih jadi minuman favorit :)

penho said...

yg jelas sekarang banyak susu berprotein dan karbohidrat tinggi yang bikin anak menjadi pintar. tetapi efek negatifnya adalah si anak jadi pinter ngelawan ortu.. hehehe

Meta Hanindita said...

@Rahmi: Betul mbak, susu untuk anak diatas 2 tahun emang ga wajib. Tapiii, dengan catatan makannya engga susah, dengan menu beragam yang ada kandungan calciumnya untuk "mengganti" susu.

@Mbak Mir:Yaaaay!

@Penho: Hahaha ada2 aja:p

LiaKirana said...

dirimu tau saya akan komen apa ? ahhahaha.... *dendam* *nyeruput SKM sekaleng*

keren uy analisisnya..
dan.. menurut saya.. Susu bisa menenangkan&menyenyakkan hii

Meta Hanindita said...

@Buli: hahahaha *pukpuk* Buliiii, jangan dendam:))

Keke Naima said...

anak sy gak rutin si minum susu.. mereka lebih suka yogurt. Jd tiap hari minum yoghurt.. sama aja kan ya..

Bunda 'Aqila said...

Mbak Meta.....nice post ;-)
idem deh gregetannya kalo denger/baca komen2 kyk yg mbak Meta tulis diatas sendiri itu..(apalagi kalo masalah imunisasi grr....)

Masa' sihhh susu nggak penting?? kalo menurut saya SALAH BESAR kalo bilag susu nggak penting...why?? karena susu itu enyaaaakkkk....(hahaha..ngawur ya...ini nasib penyuka susu yang sampe setua ini masih doyan nyeruput dancow)

Dee said...

glek ! ini yg nyantol malah bukan bahasan ttg susunya lho, tapi gara2 menjurus ke penelitian jadi inget skripsi yang tak kunjung selesai. *renang-renang di kolam susu* well, berpikir secara ilmiah dan menggunakan logika memang tidak selalu bisa dilakukan semua orang. apalagi sama orang awam kayak akyuu :p

Gayahidupku.com said...

Iya waktu itu ramai banget ya mbak ribut-ribut tentang susu ini, kalau memang tidak sehat dokter juga tidak akan menganjurkan ya kan? ><

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...