Sunday, March 11, 2018

Presentasi, Perbedaan dan Indonesia

Tugas presentasi pertama saya selama di Belanda dijadwalkan di minggu kedua alias minggu ini:D Kenapa saya bilang pertama? Karena ternyata banyak juga tugasnya haha. No problemo, saya akan berjuaaaang! Wish me luck! Anyway, tugas perdana saya adalah memperkenalkan sistem kesehatan Indonesia, termasuk bagaimana pemerintah menjamin kesehatan pasien-pasien dengan penyakit metabolik dan lain sebagainya.
Gedung di belakang itu AMC, Academisch Medisch Centrum, RS selama saya di Amsterdam

Tidak terlalu sulit sih, karena terus terang saya banyak terbantu data dari Biro Statistik dan Riskesdas yang bisa didownload gratis. Saya membutuhkan waktu sekitar 2 hari untuk menyiapkan presentasi yang mostly berisi data statistik Indonesia dan juga foto-foto dari rumah sakit tempat saya bekerja di Surabaya.

Perbedaan antara negara maju seperti Belanda dan negara berkembang seperti Indonesia tentu sangat jauh. Selama presentasi, para kolega saya yang kesemuanya kebetulan belum pernah mengunjungi Indonesia sampai terdiam alias speechless.


Saat saya perlihatkan data luas wilayah Indonesia saja, mereka sudah menganga. "Wah, Indonesia besar sekali ya. Belanda tidak ada apa-apanya dibandingkan Indonesia". Demikian pula saat mereka melihat data jumlah populasi Indonesia yang tercatat sejumlah 260,1 juta penduduk di tahun 2016. Sedangkan di tahun yang sama, populasi Belanda hanyalah 17 juta penduduk. Apalagi saat mereka tahu kalau bangsa Indonesia memiliki 724 bahasa daerah. "Wow. Indonesia is very rich!", begitu komentarnya.


Ala-ala Drama Korea engga?:p
Setelah sedikit memperkenalkan mengenai Indonesia, saya mempresentasikan bagaimana sistem kesehatan di Indonesia yang sangat jauh berbeda dengan di Belanda. Di Belanda, tidak ada rumah sakit swasta. Semua dikelola dan dibiayai oleh pemerintah, dari pajak yang dibayar oleh masyarakatnya. Pajak sangat tinggi, tergantung dari pendapatannya. Sebagai contoh, seorang dokter yang pendapatannya lumayan tinggi, pajaknya sangat tinggi. Seorang pekerja kasar yang pendapatannya tidak terlalu tinggi, pajaknya pun tidak terlalu tinggi. Menurut mereka, asas solidarisme ini penting untuk dijunjung tinggi semua orang. Karena yang lebih, wajib menolong yang kurang supaya tidak ada perbedaan terlalu jauh di antara keduanya.

Jadilah mereka terbengong-bengong mendengarkan cerita dan melihat foto-foto saya (yang kebetulan saya ambil dari Jawa Pos) tentang panjangnya antrian pasien di rumah sakit saya beberapa tahun lalu. Saking penuhnya, pasien harus datang mengambil nomor antrian dari jam 12 malam. Banyak foto ruangan perawatan yang sangat penuh bahkan sampai harus rela dirawat di lorong rumah sakit.

Tentu berbeda jauh dengan pasien di Belanda yang harus membuat appointment jauh hari sebelumnya dan mendapat jatah waktu periksa 30-60 menit perkonsultasi dengan dokter. Bisa dibayangkan, di rumah sakit saya, rerata pasien poli perbulan adalah 41.190 orang. Kalau satu orang diperiksa dalam 30-60 menit, sehari harus lebih dari 24 jam dulu hehe. Belum lagi mengenai edukasi pasien. Seperti yang saya ceritakan di postingan sebelumnya, dokter-dokter di Belanda sangat detail menginformasikan mengenai penyakit kepada pasien dan keluarganya. Misalnya nih, ada pasien saya yang terdiagnosis dengan kelainan genetik dan memerlukan terapi enzim. Dokter yang bertugas akan menjelaskan ke pasien (masih 6 tahun lho, bisa duduk manis fokus mendengarkan) dan keluarganya mulai kenapa kelainan ini bisa terjadi, siapa kira-kira yang membawa gen tersebut, siapa lagi di keluarga yang harus diperiksakan, apa yang dipengaruhi gen tersebut sehingga timbul gangguan, bagaimana jika pasien ini kelak memiliki anak, apakah akan sama-sama menderita penyakit ini? Mengapa enzim penting? Bagaimana cara kerjanya? Bagaimana jika tidak diberi enzim? Bagaimana kalau terlambat mendapat enzim? Apa ada makanan atau minuman yang tidak boleh dikonsumsi, dsb dsb. Detaaaaail banget!

Wajar ya, sejam waktunya hehe. Karena memang jumlah pasiennya sangat dibatasi. 6 saja per hari, kalau kontrol biasa 30 menit, pasien baru 1 jam.

Jika ingin ini diaplikasikan di Indonesia, yang pertama tentu kurang waktunya. Jumlah pasien tidak mungkin dibatasi hanya 6 kan? Bisa-bisa diamuk massa:)))

Yang kedua, berkaitan dengan tingkat pendidikan orang Indonesia. Berdasarkan data statistik tahun 2016, masih ada 5,6% penduduk Indonesia yang tidak mengenyam pendidikan apapun, 12,62% dropout dari SD, 27,79% lulusan SD, 21,44% lulusan SMP, 24,3% lulusan SMA, dan hanya 7,95% yang mendapat pendidikan lebih tinggi dari SMA. Kira-kira nih, kalau orangtua pasien kebetulan termasuk yang dropout SD (mayoritas kan tuh 27,79%), dijelaskan detail mengenai kerja enzim atau silsilah genetik akan mengerti tidak?:D

Sementara di Belanda, hampir 100% penduduknya kuliah karena program wajib belajar pemerintah mereka hingga 21 tahun, dan tentu saja biayanya pun dibantu dengan grant pemerintah. Jadi yaaa, tentu tak bisa dibandingkan.

Bagaimanapun, saya bangga sekali dengan Indonesia.  Dengan jumlah pasien sebanyak itu setiap harinya, skill dokter di Indonesia pasti akan sangat terlatih. Banyak kasus, banyak pasien, banyak kesempatan untuk belajar. Kita tak kalah kok dengan negara maju, yakin deh! Bayangkan ya, di Belanda (atau mungkin negara maju lainnya), jika ada kecurigaan akan kelainan metabolik, tak perlu susah-susah, langsung saja analisis enzim dan genetikanya. Tunggu beberapa saat, langsung keluar deh diagnosisnya. Keterbatasan yang kita punyai sebetulnya juga bisa dimanfaatkan dan diperlakukan sebagai kelebihan lho! Iyaaa, memang kita belum punya teknologi canggih analisis enzim apa genetika segala, tapi justru karena itu, akhirnya kita jadi bekerja lebih keras lewat wawancara dengan pasien (atau anamnesis) dan pemeriksaan fisik, sampai menemukan kira-kira ini diagnosisnya apa yaa dan harus diapakan yaa. Menurut saya, itu luar biasa banget:)

Tentu, banyak pula yang harus kita perbaiki (menurut saya terutama dalam hal berkomunikasi dengan pasien), tapi namanya juga negara berkembang, pastilah kita masih akan terus mengembangkan diri kan? Termasuk dokter-dokter Indonesia. Merdekaaaa!

Oh ya, terus terang saya terharu sekali melihat apresiasi mereka terhadap presentasi saya, si remahan rempeyek ikan teri ini dibanding mereka yang namanya sudah sering saya baca di textbook atau jurnal internasional.  Mereka memberikan applause yang luar biasa, sampai mengirimkan email untuk menyampaikan apresiasi terhadap presentasi saya. Rasanya....waaaaah speechless deh! Hari setelah presentasi pun, mereka masih saja menyatakan mereka sangat impressed dengan presentasi saya, bahkan sampai menceritakan ke pasien-pasien yang ada di rumah sakit tsb. Duh, saya jadi malu, tapi suer deh, super terharu.

Benar-benar pengalaman yang tak terlupakan. Besok, rencananya saya akan pergi ke The Hague alias Den Haag, sekitar 50 menit dari Amsterdam demi menemani suami yang kurang kerjaan niat banget ikut acara lari marathon di kota ini. Eh sebentar, saya tekankan dulu kata MENEMANI ya, jadi saya tak ikut berlari. Hanya MENEMANI. (Daripada salah paham nanti hahaha).

Jangan lupa untuk like, subscribe dan comment di bawah ini yaaa (Dikata Youtube):p


3 comments:

Yunie Henoek said...

Aku seneng dokter Meta jadi sering update blog sejak di Belanda :D. Walau ga terlalu mengerti dunia rumah sakit tapi ikutan excited bacanya. Yay! Good luck to you and your husband there!

Mifta said...

Dook.aq silent reader...

Anggraeni Septi said...

Terus berbagi kisah selama belajar disana ya dok, yeyyyy

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...