Saturday, February 6, 2016

Korupsi

Sudah beberapa hari ini teman-teman lama saya di grup whatsapp heboh. Ada salah seorang dari kami yang baru saja dikeluarkan dari tempat kerjanya karena ketahuan "menilep" uang ratusan juta rupiah.

Saya juga teman-teman yang lain tak ada yang menyangka. Teman saya yang dikeluarkan itu, anggap saja namanya Melati, bukan nama sebenarnya, sudah bekerja hampir 15 tahun di kantornya. Pangkatnya sudah lumayan tinggi, dan ia adalah orang kepercayaan pemilik saham di tempat tersebut. Lah kok bisa ya?
Diambil dari Google

Dari dulu, memang kami semua mengagumi keberuntungan Melati. Bayangkan, sebagai sekretaris perusahaan, ia bisa bolak/i liburan ke luar kota. Bali, Lombok, Jakarta, manapun deh setiap weekend. Tas yang ia pakai selalu branded, demikian pula dengan baju-bajunya. Baru terus. Katanya sih dapat bonus dari boss. Kami semua pun memaklumi karena memang Melati sudah lama bekerja di sana, dan bossnya memang terkenal murah hati.

Walaupun kaget bukan main, menurut teman dekatnya, Melati memang bergaya hidup glamor. Tak makan tak masalah, asal tas selalu baru. Tak bisa tinggal di rumah layak dan harus pindah kost tiap bulan tak mengapa, selama baju yang dipakai berganti terus. Tak bisa menabung juga bukan problem, yang penting bisa nongkrong di cafe membeli kopi yang jadi tren. Harus berhutang kesana-sini pun dijabani, asal masih bisa travelling ke sana/i sekadar untuk mengupload foto-foto di social media.


Mungkin karena itu pulalah, Melati jadi tergoda untuk mengambil uang perusahaan yang ternyata sudah berlangsung sejak lama. Bedanya, di awal-awal yang ia ambil hanya hitungan ratusan ribu. Tak ada orang yang ngeh, sehingga ia berani kembali mengambil dengan jumlah lebih banyak. Beberapa juta rupiah, lagi-lagi tak ada yang mengetahui, ia berani mengambil dengan jumlah lebih lagi. Sampai akhirnya, ia ketahuan menilep ratusan juta rupiah.

Oh ya, uang total ratusan juta yang ia ambil dari dulu itu benar-benar tak ada wujudnya. Maksudnya, kalau dibelikan emas atau rumah atau mobil begitu kan ada barangnya yang bisa dijual kembali. Nah, ini tidak ada. Mau menjual tas atau baju (tak berbranded pula), harganya pasti jatuh sekali dan tak bisa dipakai membayar hutang. Saat diminta untuk mengembalikan uang tsb, Melati panik dan mulai menghubungi kami semua untuk berhutang. Tapi, karena kami sudah mengetahui gaya hidupnya, tak ada yang bersedia meminjami. 

Hidup di jaman sekarang memang susah. Bayangkan, di social media bertebaran gaya hidup orang lain yang pasti terlihat. Jangankan artis deh, follow saja instagram the so-called Instagram celeb. Setiap hari yang dipost macam-macam. Outfit saat hangout di mall, dengan tas, sepatu, baju, aksesoris yang matching semua. Postingan lain lagi waktu travelling ke Bali dengan teman-teman, dengan outfit yang beda namun tetap matching dari atas ke bawah. Besoknya, upload foto makan-makan di restoran yang lagi happening, lagi-lagi dengan outfit keren dan matching. Begitu seterusnya. Namanya juga manusia, bisa jadi banyak yang tergiur dengan gaya hidup demikian.

Setelah tergiur, mencari segala macam cara untuk mengikuti. Kalau memang cara yang dipakai jujur sih tak masalah ya, tapi kalau akhirnya jadi seperti Melati begini bagaimana? Kasihan juga.


Saya jadi ingat beberapa tahun lalu, teman saya pun pernah dikeluarkan dari tempat kerjanya karena korupsi. Uang yang ia ambil tak banyak setiap bulannya, tapi kalau ditotal bisa mencapai puluhan juta rupiah. Bedanya, kalau Melati mengambil hak orang lain untuk kepentingan gaya hidup, teman saya ini memang mengambil uang yang bukan haknya untuk pengobatan ibunya yang sedang sakit keras.

Apapun alasannya, mengambil sesuatu yang bukan hak kita adalah dosa. Saya jadi takut sendiri, dan bertanya-tanya, bagaimana ya saya harus mendidik Naya supaya tidak korupsi kelak? Pada akhirnya, jawaban pertanyaan tersebut kembali ke soal agama. InshaAllah kalau dasar yang diajarkan sudah kuat, Naya bisa terhindar dari korupsi. Oh ya, hal-hal sepele pun saya ajarkan benar pada Naya. Misalnya soal tepat waktu. Apa hubungannya Met? Eh banyak lho!

Dengan tidak tepat waktu, kita sudah korupsi lho sebetulnya. Bayangkan, misalnya kita terlambat datang ke tempat kerja 15 menit saja, artinya kita sudah korupsi waktu perusahaan 15 menit. Kelihatannya sepele ya? Tapi sama seperti kasus Melati atau teman saya yang lain, yang awalnya sepele itu bisa menjadi besar di kemudian hari. Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit.

*fingercrossed* Semoga bisa tetap rajin mengingatkan dan mengajarkan Naya untuk tidak pernah mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...