Thursday, April 24, 2014

Berkah Sekaligus Ujian

Sejak Naya lahir, saya memang sangat concern dengan tumbuh kembangnya. Maklum faktor risiko untuk terjadinya delay pada Naya sangatlah besar. Siapa yang engga parno? Oleh karena itu, saya selalu merencanakan stimulasi untuknya sampai sekarang.

Alhamdulillah, yang terjadi justru sebaliknya. Dari dulu, Naya malah lebih cepat mencapai milestone tertentu di banding anak sebaya. Saya sih masih belum berpikiran aneh-aneh karena mama saya bilang sewaktu kecil pun saya seperti Naya. Saya ingat benar Naya sudah bisa mengangkat kepala tegak pada saat usia 1,5 bulan usia koreksi, bisa berbicara pertama kali usia 7 bulan koreksi, pertama berjalan usia 11 bulan koreksi. Semakin besar, setelah melewati usia koreksinya, Naya justru terlihat semakin 'mature' di kalangan anak sebaya. Naya bisa membaca dan menulis usia 2 tahun setengah. Lagi-lagi, saya pun masih belum berpikir aneh-aneh karena mama saya bilang waktu kecil saya sudah bisa membaca saat usia yang sama dengan Naya.

Sampai di satu hari, Naya pulang ke rumah menangis keras. Tampak sekali ia merasa sakit hati. Karena apa? Ternyata setelah saya ulik-ulik, di playgroupnya, semua teman-teman Naya naik kelas ke pre-kinder-2. Hanya Naya yang tidak naik kelas karena usia yang belum genap 3 tahun dan belum bisa naik kelas. "Padahal kakak Aya lebih pintal ma. Kenapa kakak yang ga naik?" Begitu kira-kira keluhannya. Saking sakit hatinya, Naya mogok sekolah beberapa waktu.

"Ga mau sekolah. Di sana cuma diajalin gitu-gitu aja. Kakak Aya bosan. Pokoknya ga mau!"

Saya coba berkomunikasi dengan guru dan kepala sekolahnya yang awalnya tetap bersikukuh tidak bisa menaikkan Naya. Setelah saya bujuk sedemikian rupa, gurunya meminta untuk mengobservasi Naya dulu selama seminggu apakah kira-kira dia bisa mengikuti kelas lebih tinggi. Sayangnyaaaa, anak gadis saya tsb keburu ngambek. Bahasa Jawanya, mutung. Apapun yang disuruh gurunya, tidak mau dia kerjakan walaupun sebenarnya bisa. Saya sendiri sebetulnya engga keberatan Naya tetap di kelas sebelumnya. Toh sekolahnya hanya untuk main-main. Tapi anak gadis saya ini emosi berat setiap mengingat dia tidak naik kelas seperti teman-temannya, dan ngambek berkepanjangan. Tidak mau sekolah di sekolah tsb tetapi minta pindah ke sekolah lain. PR banget kan yaa secara uang pangkalnya engga mureeeh. *emakirit*

Saya putuskan mereview sekolah-sekolah lain dan malah merasa kebingungan. Khawatir kelak sekolah yang akan saya pilih pun sama saja seperti sebelumnya. Akhirnya setelah ngobrol-ngobrol dengan teman yang psikiater, saya putuskan untuk mengetes IQ Naya. Harapan saya, seandainya memang IQ Naya cukup, semustinya bisalah dia tetap saja di sekolah lama tetapi dinaikkan ke kelas pre-k-2. Sekalian jugalah saya tanya-tanya soal keengganan Naya bergaul dengan sesama anak kecil atau keengganannya bermain.

Hari itu, saya sudah menyiapkan diri Naya untuk tes IQ. Saya bilang, "Kakak Aya, nanti ikut mama tes IQ ya. Kalau ditanya harus dijawab. Kalau disuruh hitung juga."

Jawabannya, "Oke mama! Kakak Aya siaaaap!" *macam mau perang aja* :)))

Pukul 3 sore sepulang saya bertugas, kami langsung datang ke tempat diadakan tes IQ. Awalnya Naya enggan masuk ke ruangan tsb karena berbau rumah sakit. Engga tahu tuh kenapa dia anti banget sama rumah sakit. Padahal emak bapaknya tiap hari di rumah sakit-_-"

Tesnya berlangsung cukup lama. Saya sudah khawatir banget, takut Naya mengacau. Dia memang suka gitu. Ditanya, engga mau jawab atau langsung bilang engga tahu. Padahal aslinya dia sudah tahu. Atau disuruh melakukan sesuatu, langsung bilang engga bisa. Padahal sehari-hari memang terbiasa melakukan hal tadi.

Alhamdulillah, Naya cukup kooperatif. Pertanyaan demi pertanyaan dari psikolog dijawab dengan baik. Hanya akhir-akhir saja dia mulai mengacau. Pertanyaan sederhana tidak mau dia jawab. Padahal saya yakin benar Naya tahu jawabannya. AKhirnya sessi tes IQ diakhiri melihat mood Naya. Ealah, ternyata kelaparan:))))) Di luar ruangan, anak gadis saya tadi menghabiskan sekotak penuh nasi goreng dan bolu kukus-____-"

Lanjut soal tes IQ. Selama Naya makan, saya berdiskusi dengan psikolognya yang sangat komunikatif. Hasil tes IQ Naya cukup mengejutkan saya, hasilnya hampir mencapai 150. Yaaa beda tipislah sama emaknya, setipis 30-40 poin:p *emak ga mau kalah* :)))))

Dengan kemampuan Naya yang sedemikian tingginya, memang menurut sang psikolog wajar kalau dia bosan di sekolah yang mengelompokkan muridnya berdasar umur, bukan kemampuan. Seharusnya saya mencari sekolah yang mau menerima Naya sesuai kemampuannya, bukan umur. Naya lulus tes IQ setara anak kelas 1 SD. Jadi memang sebaiknya materi yang diberikan pada Naya adalah materi untuk kelas 1 SD.  Tapi kalau dinaikkan ke kelas 1 SD, saya sebagai orangtua yang agak engga rela. Bayikuuuuuuuuuu. Jangan kelas 1 SD duluuuuu:'( *mode denial ON*. Saya khawatir juga, Naya akan dibully teman sekelasnya karena paling kecil. Selain itu saya engga tega membayangkan Naya harus masuk sekolah setiap hari. Kan baru lahir:') *denial 2 on* Belum lagi secara mental, saya merasa Naya sepertinya belum siap.

Saat saya ngobrol-ngobrol dengan konsultan tumbuh kembangnya, ada alternatif baru yang bisa saya lakukan. Homeschooling dengan materi untuk kelas 1 SD. Lagi-lagi, saya agak kurang sreg dengan usulan ini. Tanpa homeschooling saja anak gadis saya ini enggan berinteraksi dengan anak sebayanya. Apa kabar kalau homeschooling?

Menerima hasil tes IQ Naya membuat saya galau luar biasa. Saya sungguh ketakutan dan bingung bukan main. Kalau kata teman saya, berkah sekaligus ujian. Saya pikir-pikir betul juga ya. Alhamdulillah, Allah mempercayakan Naya pada saya. Tapi bagaimana seandainya saya gagal mendidik Naya? Bagaimana kalau saya salah langkah memutuskan yang terbaik buat Naya? Rasanya mau tutup mata pun tak mungkin ya, karena berkah ini tentu harus saya fasilitasi secara maksimal kan? Tapi saya masih kebingungan, fasilitas seperti apa biar bisa maksimal? Duh galau.

Bagaimana dengan Naya?

Saat saya ceritakan hasil tes IQnya, Naya malah bilang:
"Kakak Aya engga mau kelas 1 SD. Maunya kelas 3. Kelas 1 kan isinya pasti anak kecil juga."

Errrrrrr.... gimana kalau langsung jadi dokter aja kak biar bisa gantiin mama?:p

Kalau ada yang pernah dengar sekolah di Surabaya yang mau menerima murid sesuai kemampuan dan bukan umur, tolong kasih tahu saya yaa.. Email di : metahanindita@yahoo.com. Terimakasih, segala usul/saran/masukan sungguh saya nantikan, karena bapaknya sih "terserah kamu ajalah saya ngikut." -__________-"


PS: Karena ini termasuk 'pengakuan', sah ya kalau saya masukkan postingan ini sebagai penutup 10 day blog challenge. Kebetulan temanya one confession:D Ayeeee, dengan begini, resmi selesai sudah tantangan blog ini saya selesaikan.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...