Wednesday, February 19, 2014

Anak Tunggal

"Halo mama? Kakak Aya bosen sama Noyolo. Dibuang aja kelincinya boleh engga?"

Suara unyil pagi ini sukses membangunkan saya. Saya yang malas-malasan melek gegara hujan dan angin badai di Soe dan lebih memilih berbalut selimut tebal langsung terbangun.

"Halo kakaaaaak. Kenapa kok mau dibuang?"

"Abis sayulnya kakak tuh dimakanin telus sama kelinci ma. Namanya udah kakak ganti. Jadi Plincess Happy, bial dia happy telus."

"Nanti bilang papa beli sayurnya yang banyak biar bisa dimakan berdua."

"Engga mau. Sayulnya semua halus kakak yang makan. Plincess ga usah ikut-ikut makan punya kakak."

-___________-"

Saat saya ceritakan hal ini pada seorang teman, dia bilang "Wah kamu harus cepat punya anak lagi biar anakmu engga egois. Anak tunggal itu kasihan, Met. Kamu inget kan waktu kita kuliah jiwa dulu? Salah satu faktor risiko gangguan kejiwaan kan anak tunggal. Biasanya anak tunggal itu mau menang sendiri, manja, bossy, selalu minta diperhatikan, drama queen, engga mau susah, engga mau kerjasama, dan sejuta stereotip negatif lainnya. Kamu tau kan si ******? Atau si *******?" Dia menyebutkan beberapa nama teman yang adalah anak tunggal. Entah kebetulan atau tidak ya, tapi sejujurnya, nama-nama yang disebutkan memang berkelakuan persis plek seperti stereotip negatif tsb.

Saya langsung deh kepikiran semalaman. Saya sendiri inginnya punya anak dua. Tapi mengingat kondisi saat hamil dan melahirkan Naya, sepertinya saya pun harus mempertimbangkan bahwa bisa jadi Naya akan menjadi anak tunggal. -BISA JADI. Please do re-read it- Tentu saja, sebagai orangtua, saya engga pengin Naya kelak jadi anak yang manja, egois, drama queen dll dll dll yang termasuk ke dalam stereotip negatif tadi. Benarkan anak tunggal selalu seperti itu?

Saya pun mengingat-ingat, siapa tahu ada kenalan atau keluarga saya yang anak tunggal dan tidak bersifat negatif yang melekat pada gelar anak tunggalnya. Ternyata...Ada!!!

Saya punya teman waktu kecil dulu, seorang anak tunggal. Walaupun dia adalah satu-satunya anak untuk orangtuanya, tapi Alva -panggil saja namanya begitu- dididik sangat keras. Ibunya benar-benar disiplin pada Alva. Saya ingat, dulu sekolah kami sering mengadakan bazar dimana banyak penjual mainan, makanan dan buku.  Alva harus menabung dulu sekian lama hanya untuk membeli komik Doraemon kesukaannya. Padahal ayah ibunya pengusaha yang cukup berhasil dan kaya raya. Untuk anak satu-satunya, apalah arti uang senilai tiga ribu rupiah? (Dulu harganya komik Doraemon masih segitu. Gila, jaman sekarang uang segitu bisa buat beli buku macam apa yak?)

Setiap Alva hendak membeli mainan pun, ia harus menabung sendiri dari uang jajannya. Terkadang untuk berhemat, dia mau lho jalan kaki sepulang dari sekolah supaya uang angkotnya bisa digunakan menambah tabungan.

Sewaktu SMP saat sekolah kami mengadakan karyawisata ke Jakarta, Alva pun rela tidak jajan beberapa bulan agar bisa ikutan. Dulu sih saya pikir kasian banget nih anak, orangtuanya kaya raya tapi pelit:p -Maaf ya, pikiran anak kecil-:)))

Bukan hanya soal uang, orangtua Alva pun sangat keras terhadap nilai-nilainya. Alva pernah cerita pada saya kalau ia harus mendapat nilai baik setiap ulangan karena kalau tidak bisa dihukum oleh ibunya. Saya juga tidak bertanya sih hukumannya apa, tapi tetap saja buat saya saat itu, buset orangtuanya kejam banget. -but again, it was my opinion as a child;)-

Saya engga pernah punya masalah dengan Alva. Sebagai "saingan" dalam memperebutkan ranking 1, menurut saya Alva sangat sopan, tidak egois, bisa diajak kerjasama, fun, asyik, mau diajak susah, punya banyak teman dan segala yang tidak termasuk ke dalam stereotip negatif tadi. Terbukti dong, engga semua anak tunggal begitu?;)

Karena kami sudah lama banget tidak berhubungan, saya tidak tahu bagaimana kabarnya sekarang. Gegara penasaran -baca:kepo- langsung deh saya jadi private investigator, saya pengin tahu sudah jadi apa Alva sekarang. Hasilnya..wow, Alva saat ini sudah jadi pengusaha yang sukses, dan kalau dilihat dari foto-fotonya di social media sih, bahagia:)

Di sisi lain, saya juga punya -banyak- teman yang manja, drama queen, attention wh*re, bossy, egois, engga mau diajak kerjasama yang -surprise surprise!- BUKAN anak tunggal:D

Kesimpulannya, menurut saya, mau tunggal atau bukan, yang terpenting adalah bagaimana seorang anak dididik. Jika orangtua mendidik dengan sangat memanjakan, anak tunggal atau tidak, tetap saja akan tumbuh menjadi anak manja. Sesungguhnya benar banget, anak dilahirkan seperti selembar kertas putih bersih. Mau digambari apa, diwarnai apa atau dibentuk menjadi apa, tergantung orangtuanya.

Saya engga akan memanjakan Naya, for sure. -Catat itu baik-baik, Dum!;p-
Saya ingat sekali bagaimana susahnya hamil dan melahirkan Naya. Saya ingat bagaimana perjuangan menyusui, merawat dan mengasuh Naya. Saya engga pengin "mengorbankan" semua perjuangan itu untuk menjadikan Naya anak manja kelak.

-Naya, if you read this later, please do understand why i always hard on you. Its not because i dont love you, but it means i love you even more;)-


5 comments:

Anonymous said...

Mrebes mili ;(

alaya said...

suamiku anak tunggal dan dia ga masuk ke stereotype anak tunggal yang negatif kok.

aku juga punya beberapa teman anak tunggal tapi mereka baik2 aja :)

itu gimana cara orang tua mendidiknya aja...

Catcilku said...

Setuju bgt, tidak semua anak tunggal manja dan tidak bisa apa2. Tergantung bagaimnan ortu mendidiknya. Jangan sampai menyalahkan si anak kalau tyt ortu salah didik dan menjadikan anak menjadi manja :)

Maria Eckstein said...

2 thumbs up! I totally agree with you! ^_^

Anonymous said...

very inspiring :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...