"Halo mama? Kakak Aya bosen sama Noyolo. Dibuang aja kelincinya boleh engga?"
Suara
unyil pagi ini sukses membangunkan saya. Saya yang malas-malasan melek
gegara hujan dan angin badai di Soe dan lebih memilih berbalut selimut
tebal langsung terbangun.
"Halo kakaaaaak. Kenapa kok mau dibuang?"
"Abis sayulnya kakak tuh dimakanin telus sama kelinci ma. Namanya udah kakak ganti. Jadi Plincess Happy, bial dia happy telus."
"Nanti bilang papa beli sayurnya yang banyak biar bisa dimakan berdua."
"Engga mau. Sayulnya semua halus kakak yang makan. Plincess ga usah ikut-ikut makan punya kakak."
-___________-"
Saat
saya ceritakan hal ini pada seorang teman, dia bilang "Wah kamu harus
cepat punya anak lagi biar anakmu engga egois. Anak tunggal itu kasihan,
Met. Kamu inget kan waktu kita kuliah jiwa dulu? Salah satu faktor
risiko gangguan kejiwaan kan anak tunggal. Biasanya anak tunggal itu mau
menang sendiri, manja, bossy, selalu minta diperhatikan, drama queen,
engga mau susah, engga mau kerjasama, dan sejuta stereotip negatif
lainnya. Kamu tau kan si ******? Atau si *******?" Dia menyebutkan
beberapa nama teman yang adalah anak tunggal. Entah kebetulan atau tidak
ya, tapi sejujurnya, nama-nama yang disebutkan memang berkelakuan
persis plek seperti stereotip negatif tsb.
Saya langsung deh kepikiran semalaman. Saya sendiri inginnya punya anak dua. Tapi mengingat kondisi saat hamil dan melahirkan Naya, sepertinya saya pun harus
mempertimbangkan bahwa bisa jadi Naya akan menjadi anak tunggal. -BISA JADI. Please do re-read it- Tentu saja, sebagai orangtua, saya engga pengin Naya kelak jadi anak yang manja, egois, drama queen dll dll dll yang termasuk ke dalam stereotip negatif tadi. Benarkan anak tunggal selalu seperti itu?
Saya
pun mengingat-ingat, siapa tahu ada kenalan atau keluarga saya yang
anak tunggal dan tidak bersifat negatif yang melekat pada gelar anak
tunggalnya. Ternyata...Ada!!!
Saya punya teman waktu kecil
dulu, seorang anak tunggal. Walaupun dia adalah satu-satunya anak untuk
orangtuanya, tapi Alva -panggil saja namanya begitu- dididik sangat
keras. Ibunya benar-benar disiplin pada Alva. Saya ingat, dulu sekolah
kami sering mengadakan bazar dimana banyak penjual mainan, makanan dan
buku. Alva harus menabung dulu sekian lama hanya untuk membeli komik
Doraemon kesukaannya. Padahal ayah ibunya pengusaha yang cukup berhasil
dan kaya raya. Untuk anak satu-satunya, apalah arti uang senilai tiga
ribu rupiah? (Dulu harganya komik Doraemon masih segitu. Gila, jaman
sekarang uang segitu bisa buat beli buku macam apa yak?)
Setiap
Alva hendak membeli mainan pun, ia harus menabung sendiri dari uang
jajannya. Terkadang untuk berhemat, dia mau lho jalan kaki sepulang dari
sekolah supaya uang angkotnya bisa digunakan menambah tabungan.
Sewaktu
SMP saat sekolah kami mengadakan karyawisata ke Jakarta, Alva pun rela
tidak jajan beberapa bulan agar bisa ikutan. Dulu sih saya pikir kasian
banget nih anak, orangtuanya kaya raya tapi pelit:p -Maaf ya, pikiran
anak kecil-:)))
Bukan hanya soal uang, orangtua Alva
pun sangat keras terhadap nilai-nilainya. Alva pernah cerita pada saya
kalau ia harus mendapat nilai baik setiap ulangan karena kalau tidak
bisa dihukum oleh ibunya. Saya juga tidak bertanya sih hukumannya apa,
tapi tetap saja buat saya saat itu, buset orangtuanya kejam banget. -but again, it was my opinion as a child;)-
Saya
engga pernah punya masalah dengan Alva. Sebagai "saingan" dalam
memperebutkan ranking 1, menurut saya Alva sangat sopan, tidak egois,
bisa diajak kerjasama, fun, asyik, mau diajak susah, punya banyak teman
dan segala yang tidak termasuk ke dalam stereotip negatif tadi. Terbukti
dong, engga semua anak tunggal begitu?;)
Karena
kami sudah lama banget tidak berhubungan, saya tidak tahu bagaimana
kabarnya sekarang. Gegara penasaran -baca:kepo- langsung deh saya jadi private investigator,
saya pengin tahu sudah jadi apa Alva sekarang. Hasilnya..wow, Alva saat
ini sudah jadi pengusaha yang sukses, dan kalau dilihat dari
foto-fotonya di social media sih, bahagia:)
Di sisi lain, saya juga punya -banyak- teman yang manja, drama queen, attention wh*re, bossy, egois, engga mau diajak kerjasama yang -surprise surprise!- BUKAN anak tunggal:D
Kesimpulannya,
menurut saya, mau tunggal atau bukan, yang terpenting adalah bagaimana
seorang anak dididik. Jika orangtua mendidik dengan sangat memanjakan,
anak tunggal atau tidak, tetap saja akan tumbuh menjadi anak manja.
Sesungguhnya benar banget, anak dilahirkan seperti selembar kertas putih
bersih. Mau digambari apa, diwarnai apa atau dibentuk menjadi apa,
tergantung orangtuanya.
Saya engga akan memanjakan Naya, for sure. -Catat itu baik-baik, Dum!;p-
Saya
ingat sekali bagaimana susahnya hamil dan melahirkan Naya. Saya ingat
bagaimana perjuangan menyusui, merawat dan mengasuh Naya. Saya engga
pengin "mengorbankan" semua perjuangan itu untuk menjadikan Naya anak
manja kelak.
-Naya, if you read this later, please do understand why i always hard on you. Its not because i dont love you, but it means i love you even more;)-
5 comments:
Mrebes mili ;(
suamiku anak tunggal dan dia ga masuk ke stereotype anak tunggal yang negatif kok.
aku juga punya beberapa teman anak tunggal tapi mereka baik2 aja :)
itu gimana cara orang tua mendidiknya aja...
Setuju bgt, tidak semua anak tunggal manja dan tidak bisa apa2. Tergantung bagaimnan ortu mendidiknya. Jangan sampai menyalahkan si anak kalau tyt ortu salah didik dan menjadikan anak menjadi manja :)
2 thumbs up! I totally agree with you! ^_^
very inspiring :)
Post a Comment