Sunday, December 1, 2013

Klarifikasi Aksi Dokter

Sudah 4 hari berlalu dari saat dilaksanakannya aksi solidaritas dokter Indonesia. Timeline social media saya masih saja dipenuhi oleh respons masyarakat mengenai hal ini. Ada yang menghujat dokter besar-besaran, ada yang mempertanyakan maksud dokter menggelar aksi ini, ada yang akhirnya malah bertengkar satu sama lain. Tak sedikit mereka yang berlomba-lomba memberikan 'testimoni' pengalaman mengecewakan dengan dokter sebelumnya. Hampir semua bersikap negatif terhadap dokter. Jangankan masyarakat, pejabat pun seperti berebut panggung mengomentari aksi dokter, tentunya dengan komentar yang tak kalah negatif. Ini pun diperparah oleh media yang kompak memberitakan sisi buruk dokter. Bahkan saat sedang panas-panasnya, stasiun televisi swasta pertama di Indonesia justru dengan sengaja malah memutarkan film lepas tak bermutu tentang dokter yang berhati jahat. Entah apa tujuannya. Sengaja menyiramkan bensin ke nyala api? Entahlah, wallahualam.

Saya mendapat beberapa pertanyaan yang masuk ke dalam inbox email saya atau lewat Facebook.  Saya pikir sepertinya akan lebih berguna jika saya tulis di blog agar bisa dibaca orang banyak. Semoga bisa memberikan pencerahan. Saya mohon, sebelum membaca, tak usahlah emosi atau negative thinking dulu. Ingat, marah dan emosi dekat dengan setan. Apakah ada gunanya jika anda memaki lewat komentar? Apakah akan ada yang berubah setelah anda bersikap kasar? For every minute you are angry, you lose 60 seconds of happiness:)

Ini adalah beberapa pernyataan dan komentar yang sliweran di timeline saya:)

1. Dokter-dokter ini gila semua ya. Masa ngebelain satu orang salah aja sampe segitunya pake demo segala. Arogan banget, ngerasa dewa kali bisa kebal hukum. (Seriously, ada teman saya di Path yang nulis begini.)

Begini, kami sama sekali engga meminta kekebalan hukum. Dokter pun manusia juga, bisa lalai. Kalau memang lalai dan karena kelalaiannya ini sampai menyebabkan meninggalnya seseorang, wajarlah kalau dihukum. Kami pun setuju. Pernah mendengar kasus aborsi oleh dokter? Atau kasus tertinggalnya alat operasi di tubuh pasien setelah operasi? Toh, setelah itu dokter ybs dihukum, kami engga masalah, engga membela. Kami mendukung hukum Indonesia. Wong memang salah kok. Tapi, kalau seorang dokter telah melakukan semua sesuai standar prosedur, TIDAK LALAI, tapi karena pasiennya meninggal kemudian dituntut dibilang MALPRAKTIK, itulah yang kami tidak setuju. Bagaimana bisa? Apakah gagal menjadi Tuhan adalah malpraktik? Coba baca lagi definisi malpraktik:)

2. Okelah, semua sesuai standar prosedur. Tapi kan katanya tandatangan di informed consent dipalsuin. Itu kan engga bener? Tetep salah tuh dokternya!

Sudah lihat acara Hitam Putih edisi tanggal 28 November 2013? Kalau belum, lihat di Youtube ya. Disana Deddy Corbuzier sebagai host dengan smartnya dapat membuka "misteri" ini. Awalnya saat ditanya apakah ibu pasien menandatangani surat persetujuan untuk operasi, ibu pasien menjawab tidak pernah. Setelah ditanya lagi, ibu pasien tadi menjawab tandatangan, tapi tidak dijelaskan untuk apa. Menurut saya, seseorang yang sudah dewasa, sehat jiwanya, apakah wajar memberikan tandatangan di atas surat resmi begitu saja tanpa membaca isinya atau menanyakan apa maksudnya? Buat saya plin-plannya sang ibu dalam menjawab pertanyaan sesederhana "Apa sudah menandatangani surat persetujuan?" sungguh sangat mencurigakan. Saya mengacungkan empat jempol saya buat Deddy Corbuzier untuk kelihaiannya mencari fakta. Smart! Oh ya, lagi pula nih, seandainya tidak ada informed consent pun, segala tindakan untuk keadaan gawat darurat SAH di mata hukum.

3. Katanya dokter berpendidikan. Kok menyampaikan pendapat pake cara yang norak sih? Mbok ya mikir cara lainnya.

Ask before you judge. Setahu saya, kami sudah melakukan segala cara termasuk meminta PK. Tapi tidak ada responnya sampai sekarang. Meskipun pahit, akhirnya kami memutuskan cara ini untuk mendesak pemerintah. Tapi bisa dilihat sendiri kan ya, bahkan setelah riuh rendah, orang nomor satu di negara ini tetap adem ayem. Tidak ada responnya sama sekali.

4. Tapi kan rakyat yang ditelantarkan? DImana hati nuraninya? Ingat sumpah dokternya!

Saya senyum-senyum sendiri membaca komentar macam ini. Apa yang menulis ini tahu benar isi sumpah kami? Tak perlulah bawa-bawa hati nurani kami. TIDAK ADA rakyat yang ditelantarkan. Pelayanan tetap jalan, pasien emergency tetap dilayani. Pasien rawat jalan pun hanya ditunda beberapa saat. Ada yang bilang "Iya terserahlah ditunda berapa lama, 5 menit kek, 10 menit kek, 25 menit atau 2 jam, nyawa kan berharga sekali. 5 menit untuk nyawa itu sangat berharga!" Iya, kami tahu kok. Time saving is life saving. Makanya pelayanan emergency di UGD masih dibuka. Ngomong-ngomong, yang nulis begini tahu engga sih pasien rawat jalan itu yang seperti apa? Nih sekalian saya jelaskan ya. Pasien rawat jalan tuh misalnya yang sakit batuk, pilek karena common cold,  panu, gatal-gatal atau penyakit ringan lain. Apakah common cold jika diundur sehari pengobatannya bisa mematikan?Setiap Sabtu dan Minggu, rawat jalan libur tapi kenapa tidak pernah diprotes atau masuk koran? Saat libur panjang lebaran, rawat jalan juga libur panjang, tapi kenapa tidak pernah jadi headline?:p

5. Itu buktinya di media ditulis begitu. Sampai ada yang menulis "Dokter Mogok, Pasien Melahirkan di Toilet Puskesmas." atau "Dokter Demo, Anak Gizi Buruk". Pokoknya memang dokter-dokter sekarang itu keterlaluan!
Konfirmasi dari TS yang berada di tempat tsb.

Lagi-lagi, saat membaca tulisan begini, saya senyum manis semanis madu *halah*:)))
Pertama, tahukah anda, di Puskesmas, pasien yang melahirkan MEMANG ditangani oleh bidan. Dokter di Puskesmas bertugas di poli umum menangani pasien lain. Saya pernah bertugas di Puskesmas, dan selama itu pula setiap ada orang hamil melahirkan, semuanya ditangani oleh bidan. Kenapa di toilet? Buat yang pernah melahirkan, seharusnya mengerti terkadang mulas saat mau melahirkan tak bisa dibedakan dengan mulas saat mau ke kamar mandi. Saya yakin, banyak kok orang yang pernah melahirkan di kamar mandi, terlepas ada atau tidak dokternya. Jangan lebay;)
Kedua, yang menulis mengerti definisi gizi burukkah? Gizi buruk adalah keadaan yang kronis, yang lama berlangsung. Lah masa dalam sehari bisa gizi buruk? Ibaratnya, ada anak bayi sehat, usia 1 tahun berat badan 12 kg, kemudian karena dokternya aksi, langsung susut beratnya jadi 6 kg? Tidak masuk akal kan?:))))

6. Tapi memang benar dokter itu menyebalkan. Saya pernah mengantar saudara sakit di Singapore. Disana kami didampingi dokternya 24 jam, dokter selalu siap sedia di samping. Di Indonesia boro-boro!

Please, be fair:) Kalau anda ingin membandingkan pelayanan dokter di Indonesia dengan di SIngapore atau di negara maju lainnya, bandingkan pula sistem kesehatan yang berlaku di kedua negara.  Saya sempat magang sebagai dokter internship di Aarhus Hospital, Denmark di bagian Bedah Syaraf. Di unit rawat jalan, pasien harus membuat appointment dulu sebelum datang, dan dibatasi maksimal hanya 5 orang pasien setiap hari. Satu orang pasien mendapat kesempatan 45 menit untuk bertemu dokternya. Sebagai dokter, saya juga senang dengan kondisi ini. Saya bisa menganamnesis atau bertanya sampai jelas, melakukan pemeriksaan fisik seteliti mungkin, dan menjelaskan penyakit sedetail-detailnya. Pasien senang, dokter pun puas. Di Indonesia? Jangan ditanya. Setiap hari, di unit rawat jalan, ada ratusan pasien yang menunggu dengan jumlah dokter yang terbatas. Setiap hari, rata-rata saya melayani 40-50 pasien. Kalau semua minta waktu 45 menit, ya hitung saja 50x45 menit:D

Di Denmark, saat ada pasien rawat inap yang akan dioperasi, ada satu dokter yang bertanggungjawab sampai pasien tadi pulang. Satu dokter bertanggungjawab hanya untuk satu pasien. Di Indonesia, satu dokter bertanggungjawab untuk puluhan pasien. Mungkin tidak? Lalu salah siapa? Salah dokternya? Salah pasiennya? Atau salah sistemnya?

7. Dokter sekarang sering malpraktik. Saya pernah sakit panas, pulang diresepi banyak obat. Ya engga saya minum. Udah gila kali tu dokter! Waktu itu anak saya juga pernah sakit, diberi obat. Saya tanya ke rekan saya dokter di kota lain, katanya dosisnya kebanyakan. Untung ga jadi saya minumin obatnya. Saya juga pernah tuh ke dokter, engga diapa-apain, periksa juga engga tapi langsung tulis resep.

Tolong jangan digeneralisasi. Seperti profesi lain, dokter pun pasti punya "oknum". Saya tidak menutup mata, memang ada oknum yang tidak benar. Tapi tidak semua kan? Sekarang introspeksi diri sendiri dulu deh. Protes saat datang ke dokter tidak diperiksa langsung diberi obat, tapi masih sering memention dokter di twitter untuk bertanya "Kalau sakit ini obatnya apa dok?". Protes saat dokter memberi banyak obat, tapi tidak pernah bertanya pada dokter ybs kenapa diberi obat sebanyak ini. Oh ya, kasus yang kebanyakan dosis itu juga menurut saya belum tentu benar. Pertama, dokter yang di luar kota tadi kan tidak memeriksa sendiri pasiennya. Bagaimanapun juga dokter yang memeriksa sendiri akan lebih tahu dibanding yang hanya diceritakan lewat telepon atau BBM. Kedua, dosis obat itu untuk anak ada  rangenya. Bukan harga mati. Contohnya, dosis Paracetamol untuk anak adalah 10-15 mg/kg. Biasanya dosis yang diberikan adalah 10 mg/kg supaya lebih mudah menghitungnya. Tapi apakah saya salah kalau memberikan dosis 12 mg/kg? Atau 14 mg/kg? Toh masih dalam range aman. Medical is art. Kalau tidak tahu, tanyakan ke yang meresepi. Bukan ke orang lain. Ask first, dont judge. 

8. Dokter itu mata duitan semua. Saya pernah mengantar tetangga saya sakit ke rumah sakit menggunakan Jamkesmas yang katanya gratis semua, eh tetap disuruh beli obat di apotik luar. Pantes aja kaya raya! Pasti biar dibayar pabrik obat.

Apakah yang menulis ini pernah bekerja di Rumah Sakit? Begini, coba sebelumnya lihat dulu beberapa tulisan hasil googling saya berikut:

Program Jamkesmas diluncurkan tahun 2008 menggantikan program Asuransi Kesehatan untuk Keluarga Miskin, yang memungkinkan masyarakat miskin memperoleh akses layanan kesehatan dengan pembayaran oleh pemerintah ke puskesmas dan rumah sakit. Lihat sendiri tuh, pemerintah berhutang hampir 2 triliun rupiah. Akibat penunggakan dana ini, sejumlah rumah sakit menghadapi persoalan, seperti penambahan pasokan obat dan pembiayaan tenaga medis. Engga usah ngomongin pembiayaan tenaga medislah ya, biar itu menjadi masalah kami saja. Tapi soal pasokan obat? Obat-obatan yang digadang-gadang gratis semua dari pemerintah kalau habis bagaimana? Wong yang sebelumnya saja masih nunggak. Makanya saya kadang bingung juga, caleg-caleg yang gembar-gembor kalau terpilih akan membuat pelayanan kesehatan gratis itu apa kabarnya ya? Mau membayar tunggakan hampir 2 triliun ini? Tanggung jawab ke yang memilih ya, sama Yang Di Atas:p
Oh ya, yang berpikiran dokter jualan obat, jangan negative thinking lagi ya. Dont judge before you really know.

9. Tapi kan benar dokter sering bekerja sama dengan farmasi. Tetangga saya ada yang dokter bisa tuh jalan-jalan ke Eropa, beli mobil mewah, pasti dibayarin obat kan tuh! Kalau saya dateng ke praktik dokter suka banyak tuh detailer atau tukang obat yang sliweran.

Dengan kerja keras yang 24/7, pantas dong ya kalau dokter bisa mengumpulkan uang lebih banyak? Yang namanya rejeki sudah diatur kan? Seharusnya sebagai makhluk yang percaya akan kuasa Tuhan, tidak perlulah "mengurusi" rejeki orang lain. Masalah kerja sama dengan pabrik farmasi, menurut saya pribadi, selama dokter meresepkan obat secara rasional, kemudian pabrik farmasi ybs memberi penghargaan pada dokter tsb ya tidak masalah. Memang apa salahnya? Buat saya, yang salah itu kalau "oknum" dokter rajin meresepkan obat yang tidak perlu atau tidak rasional untuk pasien hanya demi kejar setoran pada pabrik farmasi. Toh, dokter dan farmasi memang sama-sama membutuhkan. Kalau dokter tidak mengerti isi kandungan merk suatu obat, bagaimana bisa meresepkan? Sekali lagi, please dont judge.

10. Masa media sekelas **** *** atau ****** atau ******* menyebarkan berita bohong sih? Bukan dokternya nih yang bohong? Kan ada kode etik profesi wartawan.

Saya tidak pernah bilang media berbohong. Semua yang diberitakan benar adanya, walaupun mungkin tidak ada hubungannya. Saya juga bekerja di media dan tahu benar bagaimana cara memberitakan sesuatu. Cari point of interest, kemudian blow-up. Kalau bisa dengan judul yang menghebohkan agar bernilai jual tinggi. Sayangnya, nilai jual tinggi di Indonesia biasanya adalah yang kontroversial atau berita negatif. Lihat saja infotainment yang menguliti hal-hal negatif dari pribadi para artis. Laris maniiiis tanjung kimpul! Contohnya nih ya, ada headline yang bilang "Dokter Mogok, Anak Gizi Buruk." Saya yakin tidak ada yang berbohong. Dokter Mogok--pernyataan benar. Anak Gizi Buruk--pernyataan benar. Sayangnya tidak berhubungan:) Masyarakat yang tidak mengerti tentu menelan mentah-mentah pemberitaan ini dan membuat asumsi pribadi kalau kedua pernyataan ini PASTI berhubungan -which is not-. Jadilah opini publik sukses digiring media massa, Belum lagi media elektronik. Duh saya kecewa sekali dengan kebanyakan presenter talkshow beberapa televisi yang hobi memotong pembicaraan narasumber dan menggiring opini publik, sayangnya ke arah yang salah. Saya tahu sih alasannya, lagi-lagi karena rating. Sekarang pintar-pintarnya masyarakat sajalah, mau digiring ke arah mana;)

Dalam kitab suci agama saya, terdapat satu ayat yang saya rasa ada hubungannya dengan point ini.

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpe mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (Al-Hujuraat:6)


Percayalah, kami memperjuangkan apa yang layak kami perjuangkan. Bukan untuk kami pribadi tapi untuk masyarakat Indonesia umumnya. Bayangkan, sekarang dengan kasus ini, kami merasa "takut" memutuskan apa pun bila tidak ada informed consent yang ditandatangani keluarga. Lagi-lagi siapa yang rugi? Pemerintah? Dokternya? Atau masyarakat?

Seandainya nih, ada satu pasien datang karena kecelakaan lalu lintas dalam keadaan tidak sadar dan terluka parah, membutuhkan operasi secepatnya. Dompet tempat identitas disimpan tidak ditemukan, pasien datang hanya diantar polisi. Tidak ada handphone atau pengenal apa pun. Sebelum ada kasus ini, saya yakin semua dokter pasti tidak akan berpikir dua kali. Langsung operasi untuk menyelamatkan nyawa pasien. Kami pun tidak tahu bagaimana hasilnya kelak, meninggal atau tidak ada di tangan Pemilik Usia. Tapi yang kami tahu, apapun yang terjadi, usaha harus tetap dilakukan. Sekarang, setelah ada kasus ini? Beda lagi ceritanya. Jangan-jangan kalau kami mengoperasi pasien kemudian meninggal, kami dituntut? Jangan-jangan kalau nanti pasiennya meninggal, karena tidak ada informed consent yang ditandatangani keluarga kami dipenjara? Jangan-jangan kalau nanti pasiennya meninggal, kami dicacimaki seluruh Indonesia dituduh malpraktik? Apa sebaiknya dibiarkan saja? Menunggu ada keluarga yang melapor kehilangan anggotanya? Sudah telat, tentunya. Apa sebaiknya dibiarkan meninggal begitu saja? Bagaimana menurut anda?:)

Saya masih akan mengupdate list pernyataan ini kelak. Saya ingat-ingat dulu deh apa saja. Saya menulis ini untuk konfirmasi, apa yang sebenarnya terjadi. Semoga bisa meredam panasnya situasi yang ada sekarang antara dokter dengan masyakat.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan satu cerita untuk direnungi. Semoga bermanfaat!:)

A 24 year old boy seeing out from the train's window shouted " Dad, look the trees are going behind!". His dad smiled. A young couple sitting nearby, looked at the 24 year old's childish behavior with pity. Suddenly he again exclaimed. "Daaaad, look the clouds are running with us!".The couple couldn't resist and said to the old man. "Why dont you take your son to a good doctor?" The old man smiled and said "I did. We are just coming from hospital. My son was blind from birth, he just got his eyes today. Every single person on the planet has story. Dont judge people before you truly know them. The truth might surprise you. Think before you say something! (Source: NN).

*2 Desember 18.30: saya merevisi judul karena setelah dipikirkan lagi, sepertinya kata Klarifikasi lebih cocok untuk tulisan ini:)

58 comments:

Anonymous said...

ijin share yaa dok :-)

Anonymous said...

•⌣˚Ʈ♓ªƞƘ ♧ ƔoƱ˚⌣•‎​ dr Meta, sudah memberi penjelasan dengan jelas & bijak. Ijin share ya dok.

Ida Nur Laila said...

barengan saya memposting tulisan sejenis...menarik ini

Unknown said...

ijin share ya mbaak meett ;)

Unknown said...

dari pertama dgr ttg demo2 dokter u dr. ayu...aku tdk prnh tahu mslh apa yg sbnrnya terjd..kr mmg jrg bgt liat tv/bc koran, liatpun hanya sekilas..br tahu dr dokter meta crita sbnrnya..memang yg hrs dibiasakan masyarakat adalah "belajar melihat & menilai sesuatu dg bijak"...tdk smua masalah digebyah uyah (disma rata/ ungkapan jawa )...Sabar ya dok...

bunda aisykha said...

owh,,agak bingung jg sih,,stlh baca ini infonya baru seimbang,,biar bgaimanapun semoga cepat selesai urusan ini,,sama2 mndapat pncerahan,,tengkyu sharingnya mba meta

Anonymous said...

Biarkan aja, ga usah dikomen2 lagi pemberitaan2 itu. Habis waktu n energi. Mari bekerja karena Allah dan utk mencari ridha Allah...... Smoga sgala amal kita mendapat ganjaran kebaikan yg berlipat ganda dari-Nya... Amiiin

Unknown said...

Mbak metaaaa....great job....saya mah sebenernya ga ambil pusing banyak timeline dan media yg mencaci maki dokter, karena fakta di lapangan pasien2 masih menghormati dan menghargai dokter...palingan yg jelek2in itu ya mereka2 yg pengen cr sensasi.. tp sejurus kemudian saya berpikir,bagaimana caranya tulisan ini bisa dimuat dimedia cetak/elektronik... ps: tp pernyataan pak waketu mk ada benarnya loo..montir lbh sulit drpd dokter...skrg kl kendaraan sy knapa2 sumpah sy bingung mah diapain..hehehe...4 ibu jari buat mbak meta.. saya bangun dulu pernah jaga igd rsud balung abv dr internship dan pernah kknsul ke mbak meta..hehe

Unknown said...

Ijin share ya...
@ardhianr

budiono said...

media telah sukses menyudutkan dokter. tapi kayaknya yang semangat mencaci maki itu sebenarnya dulunya dia atau anaknya pengen banget jadi dokter, tapi otaknya gak mampu, jadilah mereka happy banget begitu dokter diberitakan negatif

kasihan

Meta Hanindita said...

Halooo! Jadi daftar ppds ga?

ibnumd said...

Inilah cara dokter menjawab, selalu bijak walau diinjak, selalu senyum walau dizolimi. Semoga tulisan ini dapat membuka mata rakyat karena lebih penting daripada mata pejabat negeri ini yang selalu dibutakan materi dan kekuasaan. Tetap semangat untuk memperjuangkan Kehidupan, Tuhan tidak pernah tidur...wahai saudaraku.

entik said...

baca postingan ini, jadi ada pencerahan tentang pemberitaan miring tentang dokter-dokter.
postingan yang bagus mba...

salam kenal

Enci harmoni said...

dari semua poin, saya setuju, cuma demo yg ga setuju, mahasiswa ato buruh demo juga ga setuju, yg setuju kalo demo masak bu dokter....

Anonymous said...

Ijin share ya dok

Anonymous said...

Saya bukan dokter, dan saya suka sekali tulisan ini. Tulisan ini sangat informatif, objektif, dan yg paling penting adem- tidak emosional. Sebagai orang awam, saya mengikuti kasus dr. Ayu dari berbagai sumber. Dokter memang disudutkan oleh pemberitaan dari media, dan sudah sepantasnya memberi klarifikasi. Namun sayang, banyak pembelaan dokter di blog-blog, status facebook atau bahkan di kompasiana-yang justru secara eksplisit ato implisit menyinggung orang awam seperti saya yg sedang belajar mencari kebenaran. Misalnya "yang tidak kompeten, tidak usah komen", 'untuk orang awam yang pikirannya dangkal bla bla bla...", "tulisan ini untuk orang yang belum ngerti juga masalah kami para dokter", "kayaknya yang semangat mencaci maki itu sebenarnya dulunya dia atau anaknya pengen banget jadi dokter, tapi otaknya gak mampu" dll. Mungkin maksudnya utk menunjukkan 'esprit de corp' ya..? Tapi seyogyanya tidak usah membodoh-bodohkan orang awam atau profesi lain. Masih inget kasus Kopassus Cebongan, yg awalnya krn esprit de corp? Meski jelas-jelas salah, dukungan dari masyarakat awam membludak. Di sudut jalan, banyak slogan membela Kopassus. Di mahkamah militer, orang awam mengawal sidang. Ini salah satunya krn Kopassus ndak pernah (ato nggak sempat nge-blog :)) menganggap orang di luar corp-nya sebagai 'ancaman'. Kalo memang sekarang posisi dokter disudutkan krn banyak orang awam belum mengerti benar kasusnya, maka tulisan-tulisan elegant seperti Mbak Meta ini yg bisa membuat pencerahan di masyarakat. Kalau media disebut 'membodohi' masyarakat, jangan sampai pembelaan dokter 'membodoh-bodohkan' masyarakat. Perlu diketahui, bahwa yang sekarang memilih profesi di luar dokter itu juga bukan orang bodoh. Talent is God's gift. That's why we have to be humble. Makasih Mbak, buat tulisannya yang tidak menyinggung hati orang awam ;)

Anonymous said...

poin diatas masuk akal dan saya setuju, hanya kongkalingkong farmasi dan dokter yg ga setuju banget selain harga obat jadi melambung tinggi hal ini buka celah kesempatan jadi dokter oknum alias kejar setoran. Juga tentang demo, dimana pun, kapan pun, siapa pun yang demo mogok-mogok tetep ga setuju...

Anonymous said...

saya setuju dengan dua poin diatas...para dokter juga harus membuka mata soal kongkalingkong dengan farmasi dan hal itu seharusnya bisa dimasukkan dalam kode etik profesional dokter seperti halnya gratifikasi untuk profesi2 lain.... dan untuk demo dan mogok kemarin melihat beberapa poster yang dibawa peserta demo menunjukkan memang ada "arogansi profesi" yang merasa bahwa profesi dokter itu lebih kalau dibandingkan profesi lain...

haridiva said...

Bagi yang tidak pernah berada di dalam lingkaran dunia kedokteran, mereka tidak akan pernah bisa memahami hal seperti ini secara utuh.

Jadi menuntut seluruh masyarakat awam untuk memahami permasalahan ini terkadang tidak adil. Tapi bukan berarti kita mesti berhenti memberikan penjelasan selalu.

Meta Hanindita said...

InsyaAllah sabar mbak:) terimakasih atensinya.

Meta Hanindita said...

Sama-sama terimakasih untuk apresiasinya Mas/Mbak. Saya pun menyayangkan sejawat yang begitu emosi menanggapi komentar yang berredar. Harap maklum, hujatan dan caci-maki sedemikian besarnya dari orang banyak. Siapalah yang bisa menahan emosi? Jujur, saya puns empat emosi berat;) Kemudian masalah profesi lain, saya percaya semua profesi mulia selama dikerjakan dengan hati. Gelar boleh dokter, SH, SE! , Letkol, Jenderal atau apalah, tetap saja kelak semua akan berganti menjadi almarhum atau almarhumah;) untuk apa diributkan?

Anonymous said...

Nice pint of view!
Dikira gampang apa perjuangan orang jd dokter??
tp emang kadang ekspektasi org ttg dokter gak realistis n kurang pada tempatnya,
tp smua itu menurutku krn ada gap diantara masyarakat awam n dokter, dan seharusnya dokterlah sbagai org yg lbh ngerti memberi penjeasan yg juga realistis ttg resiko n prognosis stiap tindakan medis yg diberikan,
btw, td ada juga sih bapak2 yg maksa minta giginya diekstraksi krn sakit, tp wkt kita jelasin resikonya dia masih aja ngeyel, trus wktkita minta ttd inform consent n kita panggil juga istrinya buat nyaksiin, guess what dia TUNDUK sama kekuasaan yg lbh tinngi, yak titah istrinya, hahahaha
btw, ijin share ya mbak......
God blesed your brain and also your fingers tips for thi article then!

Anonymous said...

saya setuju dengan sebagian besar tulisan ini, kecuali masalah waktu periksa dokter yang cepat karena pasien yang banyak. dsa langganan saya melayani pertanyaan pasien tanpa dibatasi, walaupun pasien banyak sekali.. beliau memeriksa pasien tanpa terburu2 walaupun di luar antrian panjang... beliau membatasi pasien hanya 10 di hari jumat karena hanya praktek sampai sebelum sholat jumat,.. jadi sebenarnya dokter ybs sendiri yang harus punya niatan melayani pasien tanpa ada batas waktu..bukan berarti menyalahkan pasien yang jumlahnya berlebih di luar batas kemampuan melayani semua secara maksimal...

Unknown said...

ijin share ya dok :)

Unknown said...

Hi mba meta..salam kenal..what a great article..dr kmr aku jg masih sempet emosi klo baca comment2 masyarakat yg menjudge dokter "as a bad person". Ditolongin klo hasilnya ngga sesuai kemauan ya salah..nanti klo ngga ditolongin jg dibilang ngga bener. Padahal niat seseorang menjadi dokter itu mau menolong orang (kec yg oknum).
Semoga kita tetap diberi kesabaran dan keikhlasan dalam menerima segala komentar orang2 yg berprasangka buruk terhadap dokter, dan tetap diberi diberi ketegaran dan semangat untuk menolong pasien2 yang benar2 membutuhkan dan masih menghargai pertolongan kita..amin

kalisa said...

Pembatasan jumlah pasien hanya berlaku jika dokter itu sendiri yg punya tempat praktek, atau pd bbrp RS swasta yg memberlakukan hal tsb demi pelayanan prima. Lain halnya jika dokter tsb bekerja dalam satu sistem atau instansi dan tdk bs scr pribadi membatasi jumlah pasiennya. Misalnya dokter tsb kerja di puskesmas atau RSUD tdk ada pembatasan jumlah pasien, yg ada hanya pembatasan jam pendaftaran d bagian administrasi. Jadi jika pasien yg mendaftar pd hari itu smp ratusan dokter tsb mau tdk mau hrs melayani walau jam kerja sdh hbs, dan itu memang benar2 terjadi bukan sekedar berandai2. Contoh juga pd dokter jaga IGD dia tdk bs membatasi dan memprediksi pasien yg datang, misalnya pd kasus keracunan massal atau kecelakaan bus yg melibatkan bnyk korban membludak msk ke IGD. Dgn segala keterbatasan SDM dan prasarana mereka dituntut utk bertindak cpt dan dikejar waktu, berburu dg nyawa. Jd kalau ada diantara korban tsb dgn kondisinya lbh ringan dokter tsb tdk bs berlama2 krn ada korban yg lbh parah yg lebih butuh perhatian.

Anonymous said...

harus diakui bahwa sebagian besar dokter di indonesia, bahkan yang praktek di rumah sakit swasta, bukan di igd, memeriksa pasien terburu buru karena jumlah pasien yang banyak.. dsa langganan saya adalah salah satu dari sebagian kecil dsa indonesia yang tidak membatasi waktu konsultasi pasiennya.. yang membuat saya salut adalah pasien yang banyak tidak mengurangi kualitas pemeriksaan beliau dan beliau tetap menjawab semua pertanyaan orang tua pasien. komentar saya ini hanya untuk sharing sebagai bahan refleksi dokter2 di indonesia, supaya pasien tidak selalu membandingkan dengan kualitas layanan di luar negeri. pasien yang sering ke dokter luar negeri sebenarnya yang mampu membayar konsultasi di rs swasta, tapi tetap banyak yang ke luar negeri.tanya kenapa? cuma sebagai bahan refleksi saja. semoga semakin banyak yang menganggap dokter indonesia tidak kalah dengan dokter di luar negeri. amin.

Anonymous said...

setuju, banyak dokter yg dengan alasan banyak pasien, menjadi lupa, diagnosa yg detil sgt penting. jadilah berkomentar igd lah, wabah lah. kita liat yg keadaannormal saja. apa dr yg punya pasien 40 ini mau membatasi pasiennya, atau rela lembur, demi melakukan diagnosa lbh baik? saya membawa anak saya ke penang, Dr menghabiskan lebih dari 1 jam hanyamendiagnosa. Dr sini? 5 menit cukup lah, terus kasih obat deh. hasil? tentu diagnosa yg bertolak belakang. karena argumen dan data analisa yg baik, tentu saya ikut saran Dr Penang. Puji Tuhan, sampai sekrg anak saya baik, tanpa hrs konsumsi obat yg sgt keras itu dan beresiko tinggi. Kelalaiankah ini? atau Ketidakpedulian? dont judge the patient for critizing a Dr, they may hv a good reason too, so better think b4 say they need to think. if u hv a family die because of wrong diagnose, then u can feel their pain, dont judge b4 u hv that.

Meta Hanindita said...

Pertama, i dont judge. Kedua, saya hanya menyampaikan fakta di lapangan. Anda bertanya apakah dokter mau membatasi pasien atau rela lembur untuk diagnosis lebih baik? Jawabannya PASTI MAU. Kami senang sekali kalau diberi waktu panjang untuk memeriksa satu pasien agar bisa lebih teliti. Tapi kami tidak bisa. Di rs pemerintah, kami tidak boleh menolak pasien yang datang. Seandainya saya membatasi hanya mau menerima 10 pasien/hari, bagaimana nasib pasien ke-11 dst? Kalau keluarga atau anak anda yg kebetulan ada di urutan ke 11 dstnya bagaimana? Bersediakah menunda pengobatan? Kalau ada pasien lain yang lebih gawat keadaannya, tentu kami memeriksa berdasar prioritas. I dont judge. Better think before say we need to think. If you have a family dies because the doctor preferred to treat another patient -which is probably not urgent enough for an hour and too late to treat your family, i supposed you can feel their pain. Dont judge before you have been there;)

Meta Hanindita said...

Betul, terutama dokter yang bekerja di rs pemerintah. Karena adanya pengobatan gratis, ratusan pasien yang datang setiap harinya dengan fasilitas kesehatan seadanya dan dokter terbatas. Saya yakin, kualitasa dokter Indonesia tidak kalah dengan dokter dari mana saja. Tapi untuk sistem pelayanan kesehatan, kita jauuuuuuhhh tertinggal. Inilah yang sesungguhnya menjadi alasan kami untuk mendesak pemerintah agar segera membenahi sistem yang ada. Semoga -entah bagaimana caranya- pemerintah sadar. Terimakasih atas komentarnya Mas/mbak:)

Alla said...

Suka bgt sama tulisannya mba meta, terutama cara menjawab komentar-komentar negatif kayak begini. Ga emosional, elegan, adem rasanya!

Anonymous said...

lebih bijak mana, tidak berdemo karena kepentingan masyarakat, or berdemo karena kepentingan golongan (profesi), buruh berdemo karena karena ga punya power, ga di dengerin juga ga papa, kalo dokter2 semua punya power, wong memang diperlukan orang, yahhh... jangan mentang2 lah

Meta Hanindita said...

Maaf Mas/Mbak, kalau ternyata yang terlihat seperti beraksi utk kepentingan dokter saja. Sesungguhnya kami makukan aksi kemarin bukan utk kepentingan kami semata, tapi masyarakat Indonesia. Coba deh tulisan diatas dibaca lagi tanpa emosi. Kami ingin menyadarkan pemerintah bobroknya sistem pelayanan kesehatan di negara ini. Untuk kami sajakah? Tentu tidak. Tujuan utamanya justru utk masyarakat. Kami juga senang kalau Indonesia sehat:)

Anonymous said...

Seandainya lebih banyak dokter seperti Dr. Oen, Dr. Hunter Patch Adam, Dr. Lo Siauw Ging di Indonesia yang berani membuat terobosan dalam hal melayani pasien. Ada yang berpesan bahwa dokter untuk not only to prevent death tapi juga to increase quality of life dari pasien yang ditanganinya. Pernahkan dokter berpikir harga obat yang dia resepkan mampu atau tidak dibayar oleh pasien? Pernahkan dokter tahu bahwa terdapat obat-obat yang dijual di atas harga HET-nya yang hal ini memberatkan pasien? Beranikah dokter bilang ke pasiennya ambil saja obat yang saya tuliskan di resep di apotik nanti saya yang bayar? Menurut saya menerima apapun baik dalam bentuk natura dan fasilitas dari perusahaan farmasi merupakan hal yang tidak layak, terlepas adanya oknum atau tidak. Bahkan untuk hal tersebut tidak ada aturan yang mengatur, yang saya tahu hanya ada himbauan dari IDI saja, kemanakah para dokter untuk hal itu? Anak saya 4 tahun, dan saya punya kerinduan dia menjadi dokter.... Saya akan Open Her Heart untuk menjadi dokter seperti tiga orang di atas plus kakeknya.... Karena pada saat dokter berbuat seperti ketiga dokter di atas, mereka tidak akan pernah kekurangan becau THE PEOPLE WILL TAKE CARE OF THEIR BILLS.....

Ariesta said...

Skakmat! I really love how you deal with these kind of comments doc. Im not a doctor, i had some disappointing experience with doctors, but i never generalized all doctors. Respect! Your article has changed my point of view bout doctors. Thanks

Anonymous said...

sedih banget liat dokter mogok,.. mudah2an kejadian itu nggak terulang lagi,..
kalaupun MA salah mengambil keputusan harusnya protes nggak dilakukan dengan cara mogok,..
kasian rakyat,.. kami para pasien tuh ngerti koq kalo Dokter tuh bukan Tuhan,..
Nggak semua pasien menuntut Dokter kalau kecewa pada hasil penanganan medis,..
apalagi sekarang muncul ancaman defensive medicine,..
kami para pasien sekarang cuma bisa pasrah doang,..

Anonymous said...

maaf sebelumnya untuk pernyataan di atas, kan udah dijelasin sm dr.Meta kalau mogok akhirnya dilakukan krn pengajuan PK yg tdk digubris MA. lantas bgmn seharusnya dokter-dokter ini bertindak? mereka hanya mencari cara untuk mendapat perhatian, tp ternyata setelah mogok pun gak ada percepatan urusan PK, apalagi kalau mereka diem2 aja. maaf sekali lg, sy bukan dokter tp sy berusaha melihat juga dari sudut pandang dokternya. Memang gak semua pasien bakalan nuntut pada hasil penanganan medis, tp justru karena "gak semua" itu, pasti ada satu-dua org pasien yg bandel kyk kasus dr.ayu ini. Nah inilah gunanya defensive medicine, melindungi keselamatan dokter dari 1-2 org pasien yg bandel.. menurut pendapat sy sih, pelayanan tetap maximal tp prosedurnya yg jd ribet, hrs izin dulu lah, hrs panjang lebarlah ngejelasin, dll, jd gak cck untuk kasus2 emergency yg paling banyak terjadi di IGD dan resiko kematiannya lebih besar. maaf sy cm menyampaikan pendapat sj. sukses untuk dokter indonesia, dan sehat selalu untuk masyarakat indonesia. :)

Pratama said...

Always very impressed with your writings about the world of doctors in Indonesia :) Ngebaca tentang hal-hal kontroversial gini selalu lebih enak ketika baca di personal blog etc, seeing things from different perspective instead of the negative things the media serves as. Adem ayem gak pake emosi, and very informative. Keep writing doc! And keep helping people!

Anonymous said...

Ngeles aja lu semua dokter bisa nya!! Berasa makhluk paling pinter!!! Kalian semua sudah jenuuuh berada dilingkungan orang "kesakitan kesusahan" makanya kalian semua moralnya butek!! Sombong selangit.

Anonymous said...

Seandainya para dokter ini.. bekerja tulus dan penuh dengan kerendahan hati.. tidak merasa paling jago.. paling dibutuhkan.. pasti tidak akan terjadi hal2 seperti ini. Masyarakat indonesia lebih banyak awam nya drpd pintarnya. Seharusnya kondisi ini membuat para dokter lebih bijaksana dan sabar dalam melakukan tindakan apapun. Maaf, mayoritas manusia indonesia yang berprofesi dokter itu bisa dipastikan arogan. Karena arogansi para dokter inilah... demo sampai bisa terjadi. Maksud yang anda jelaskan diatas sama sekali nol kosong. Tidak ada keuntungan masyarakat sam sekali. Dokter yang sudah sok paling bisa segalanya pasti tidak teliti melakukan tindakan. Beda kalau dokternya bijak dan sabar. Profesi dokter itu mulia. Namun banyak yg tidak mensyukuri nya. Paling bagus.. jangan pernah sakit.. jgn celaka.

Anonymous said...

betul sekali, kebanyakan dokter terlalu arogan... bahkan tulisan dr ini terkesan sebagai pembenaran, bukan jawaban yang terdengar bijak.. apalagi mengkomentari "pintarnya dedi corbuzier" membuat si ibu pasien mengaku menandatangani surat. yang harus dikomentari bukan ibu pasien, tapi rumah sakit yang tidak memberikan penjelasan lengkap tentang apa yang dittd dan resiko operasi.... harap disadari oleh para dokter yang SMART ini, tidak semua orang dewasa yang sehat jiwanya tau hukum dan menyadari semua ttd berkekuatan hukum. saya tidak yakin orang tua saya akan membaca kalau disuruh ttd di depan loket... tolong jangan merasa diri sok pintar dan arogan..... saya tidak tau yang sebenarnya terjadi di loket dan apakah si ibu menandatangani, tapi alangkah baiknya tidak perlu mengeluarkan tulisan ttg "orang dewasa yang sehat jiwanya", karena terdengar sebagai ejekan yang arogan dari sang dokter yang pintar...

jono said...

saya tetap tidak setuju klo dokter demo! kenapa?mudharatnya lebih banyak dibandingkan manfaatnya.Jaringan dokter kan luas, minta audiensi saja ke dprd.Pertanyaannya apa hasil yang didapat setelah dokter berdemo?mendapatkan kepuasan karena telah menyampaikan uneg-unegnya??
Apa dengan berdemo masyarakat menjadi mengerti dan berempati?kemudian yang berperkara mendapat kebebasan?
Karena dokter profesi yang mulia.keep posting BU dokter

Anonymous said...

Like this dok :)

Saya belum resmi dkter, tapi sudah cukup mengetahui seluk beluk kasus ini...yang paling disesalkan adalah pandangan banyak orang bahwa tandatangan dibutuhkan dalam tindakan gawat darurat, baik jika hal itu yang diinginkan maka kami para dokter pun dengan senang hati menjelaskan panjang lebar tentang komplikasi penyakit, kemungkinan yang akan terjadi dan lainnya. Namun harap dicermati, bahwa hal ini sama dengan defensive medicine, dan kemungkinan pasien sudah meninggal setelah mendapat tanda tangan di atas formulir :)

Kalau sudah begitu, isu apalagi yang muncul? Dokter menelantarkan pasien sampai meninggal hanya untuk minta izin? Kami dipersalahkan lagi? Lalu apa yang harus kami perbuat?

Saya hanya bisa memohon dengan sangat, agar kita sama-sama bijaksana. Beberapa dojter memang sombong dan arogan, tapi janganlah kita menggeneralisasi semua hal. Kami pun tidak menngeneralisasi masyarakat sebagai orang awam yang bodoh dan suka menuntut ini itu. Kita semua sama-sama bodoh, kita semua manusia biasa di mata Tuhan :)

Anonymous said...

Saya mau komentari hal ini :"Tapi kan benar dokter sering bekerja sama dengan farmasi. Tetangga saya ada yang dokter bisa tuh jalan-jalan ke Eropa, beli mobil mewah, pasti dibayarin obat kan tuh! Kalau saya dateng ke praktik dokter suka banyak tuh detailer atau tukang obat yang sliweran"

Saya kebetulan pernah kerja di pabrik farmasi bagian marketing. Jujur mbak sepanjang pengalaman saya jd medrep dokter-dokter jika ditawari produk obat baru lebih banyak yang tanya " Saya dapat apa?" "Komisi buat saya apa?" daripada yang bertanya "apa mechanism of action dari obat ini?" "Bagaimana hasil uji klinisnya?" Tolong ya mbak buka mata akan keadaan sekitar. Tak perlu membabi buta membela sejawat. Toh awam sudah tau "kelakuan" dokter Indonesia.

Anonymous said...

Saya juga bekerja sebagai medrep di salah satu farmasi. Betul, tidak semua dokter mata duitan atau minta imbalan. Saya banyak "melayani" dokter-dokter yang memang tertarik ingin mengetahui obat yang saya tawarin. Tanya efek samping, harga dst. IMO, betul kata dr. Meta, kalau anda tidak ingin digeneralisir (saya kerja di farmasi capek digeneralisir cari muka sama dokter) ya jgn menggeneralisir. Saya netral, tidak punya kepentingan dgn dokter. Saya suka sekali tulisan ini. Bagaimanapun, biar masyarakat yang menilai. Trims dok.

Anonymous said...

Maaf, menurut saya, seperti yang dr. Meta katakan, kasus tersebut kan kasus gawat darurat, emergensi, dan berdasarkan keterangan dr. Ayu, dr. Ayu sudah mengobservasi berjam-jam sebelum memutuskan melakukan operasi cesar (tentu kontradiktif dengan pernyataan Anda yang bilang dokter yang sok paling bisa segalanya tidak teliti melakukan tindakan, beda kalau dokternya bijak dan sabar). Dan saya yakin, kalau belum apa-apa dokter OBGYN (nggak hanya dr. Ayu) langsung memutuskan SC, pasti akan semakin banyak opini di masyarakat yang mengatakan "dokter OBGYN mata duitan karena prevalensi SC tinggi". Serba salah.

Saya bukan dokter. Tapi saya mengakui BANYAK dokter yang baik, juga ada oknum dokter yang tidak baik. Setahu saya dr. Meta juga sudah menyebutkan faktor-faktor yang menyebabkan buruknya pelayanan dokter-dokter Indonesia, terutama di puskesmas dan rumah sakit pemerintah.

Lalu, tidak ada keuntungan masyarakat sama sekali gimana? Pelayanan gawat darurat tetap jalan, rawat inap tetap jalan, bahkan ada yang polinya juga jalan. Tidak semua rumah sakit melakukan aksi solidaritas. Para dokter juga turun ke jalanan untuk mencegah terjadinya defensive medicine (yang saya yakin Anda pasti tahu artinya). Profesi dokter tentu mulia, dan saya yakin banyak yang mensyukurinya.

Anonymous said...

Kenapa seolah2 bahwa harga obat mahal adalah salah dokter? Bukankah pasien berhak meminta obat generik? Kenapa saat diresepkan pasien tidak memintanya?

Kenapa harga tas dan sepatu yg setengah juta tidak dipermasalahkan? Kenapa harga obat setengah juta dipermasalahkan?

Kenapa harga rumah yang 1milyar tidak pernah dipermasalahkan? Kenapa harga operasi yang 1 milyar dipermasalahkan?

Kenapa seolah2 dokter yg "tidak bajingan" adalah dokter yg membayari pasiennya? Kalau begitu produsen tas dan developer rumah dan arsitek dan montir yang tidak membayari konsumennya juga bisa masuk kategori kurang ajar morotin duit konsumen donk.

honey milky said...

metewww... ijin share yaaa

Unknown said...

masih aja mencari pembenaran ama aksi demonya.... kalau pure demi keadilan (padahal ada cara2 lebih elegan dan manusiawi karena dokter itu bukan buruh, buruh demo hanya kerugian perusahaannya sendiri yang dirugikan, tapi kalau dokter demo pada jam seharusnya melayani kesehatan, masyarakat yang butuh penanganan kesehatan yg dirugikan) demo juga tuh rumah2 sakit yang mempersulit pengobatan bagi rakyat miskin, rumah2 sakit yang menolak korban2 kritis yang harus ditangani segera karna masalah administrasi, rumah sakit yang belum lama ini UGD nya di jadiin lokasi syuting... dan yang sangat vital demo juga tuh pemerintah yg sampai sekarang ini cuma menganggarkan untuk kesehatan hanya 2,5 persen dari APBN yang seharusnya yang di amanatkan undang undang 5 persen buat kesehatan... mana IDI mana apalah lembaga kedokteran yg lain semuanya termasuk pemerintah??????? jalani aja usaha terakhir aja belum di jalanin yaitu PK (peninjauan Kembali) mudah2an dokter Ayu dan teman2nya di bebasin tapi bukan karena aksi demo tapi karena bukti2 yang di ajukan kuat untuk memenangkan Dr Ayu...

bagaimana kalau kalian2 berada pada posisi keluarga korban yang meninggal?

bagaimana kalau kalian saat tanggal demo kalian tinggal di daerah terpencil jauh2 dengan dari rumah mau berobat jalan trus gak ada dokter gak dilayanin trus pulang dengan rasa sakit yang belum ditangani pengobatannya?

janganlah memanfaatkan situasi kalimat kalau itu sudah takdir Tuhan, sangat beda tipis nasib buruk karena kecerobohan sama takdir?

bagaimana bila terjadi keluarga kalian di perjalanan dalam berkendara motor tersenggol dengan mobil pribadi terus terjatuh terlindas sama truk lalu meninggal... dan mobil pribadi yang tersenggol kabur sedang supir truk tidak dapat kabur karena di hadang warga... apa yang akan kalian lakukan?? pastinya kalian tidak terima akan menuntut supir truk bertanggung jawab atas kelalaiannya melindas keluarga kalian itu, pastinya sangat manusiawi kalian akan emosi padahal supir truk sebenarnya tidak salah sama sekali dia berkendara sesuai SOP berkendara dengan kecepatan yang sesuai yg ditentukan dan supir truk mana tahu ada pengendara motor jatuh di samping truknya masuk kedalam bawah truknya.... pasti kalian tetap akan menuntut supir truk tersebut yang telah melindas keluarga kalian..... atau mungkin ada salah satu keluarga kalian yang lain emosi sampai memukul atau memaki maki supir truk tersebut di kantor polisi karena gak terima kehilangan salah satu anggota keluarga...

Anonymous said...

Kalau saya sih gak pernah gebyah uyah profesi apapun tp jelas yg dinamakan oknum itu ada dimana2, cuma kenapa dokter2 itu harus dicari sampai keluar pulau ya, saya malah curiga RS nya yg terlambat menangani pasien, dokter mah hanya ikuti jadwal dari RS siapa yg mau diperiksa. Apalagi bbrp Rs kalau belum bayar gak akan dilayani. Masalah ada di RS bukan dokter...

Royyan said...

Apa komentar para dokter ketika ada org kesehatan yang tertangkap basah mengkonsumsi narkoba??kejadiannya di daerah sumsel sy lihat di berita trans tv kalau nggk salah,tp kebenaran nya bisa di cek di mbh google ajj...yang jelas sy nggak FITNAH...dan kenapaa masyarakat di larang mengkonsumsi mie instan yang di katakan oleh para pakar kesehatan bahwa mie instan mengandung zat lilin...tp kan mie instan sudah lolos uji BPOM..??so ini salah masyarakat yg mengkonsumsi apa salah yang memperbolehkan mie instan di jual di pasaran????

Anonymous said...

Orang yang pada awalnya sdh kecewa, sudah memandang buruk dokter indonesia, sudah kehilangan kepercayaan sm dokter indonesia pd akhirnya akan terus berkentar buruk mbak.. Semakin kita jelaskan semakin gelap mata lah mrk krn menyangkal. Apapun jawaban kita ttp akan sudutkan. Saya saat in hanya bs mendoakan semoga Allah menunjukkan keadilannya. Hukum manusia selamanya tidak akan pernah adil untk smua pihak tp hukum Tuhan sll adil adanya. Yuk mbak tetep senyum. Tetep semangat praktek.. Awali dg bismillah akhiri dg la haula walla quwwata illa billah.. Pd akhirnya niat dan ikhtiar kita yg akan menunjukkan kualitas kita sbg dokter

android murah - teknonetwork said...

woo keren kak ^^

Cara Memilih Susu Formula Untuk Anak katalogibu.com said...

wah keren

Aplikasi resep makanan - said...

wooo iya ini kayaknya lebih eren deh ^^

Aplikasi Video Call Android said...

hmmm ininih baru keren konfirmasinya :D

teknonetwork.com said...

wih mantab nih keren

Novita Andri said...

Hemmmhemmm ... ini lumayan

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...