Saya mempunyai satu orang sahabat dekat saat SMA dulu. Saking
dekatnya, saya sering menginap di rumah dia saat ke Jakarta. Dia pun
sering menginap di rumah saya di Bandung. Kami tidak pernah sekelas,
tidak pernah satu tempat les, tidak pernah satu ekskul, hanya saja kami
sama-sama anggota OSIS. Mungkin itulah yang mendekatkan kami, karena
kalau bukan itu, saya tidak tahu apalagi yang bisa. Kami benar-benar
berbeda.
Saya termasuk orang yang introvert. Saya
lebih memilih menuliskan perasaan atau opini saya dibanding berdiskusi
dengan orang lain. Dia super ekstrovert. Tak segan menangis, marah atau
bahkan berteriak-teriak di muka umum saat ada yang tidak sesuai
keinginannya. Di saat cewek lain malu-malu menunjukkan rasa suka pada
gebetan, sahabat saya ini tak sungkan menembak langsung cowok yang
disukai. Hahahahaha.
Saya super cuek. Tidak pernah
peduli soal fashion, apalagi makeup. Saya ingat dulu waktu SMA, semua
orang heboh mempersiapkan prom night -termasuk si sahabat- saya
cuek-cuek saja. Sahabat saya super stylish. Baju model terbaru, make up
keluaran gres, pasti dia punya. Kami pernah datang ke acara salah satu
majalah remaja, dan dia terpilih menjadi the best dress:D
Saya
suka membaca. Hobi saya salah satunya adalah ke toko buku. Sahabat saya
lebih suka ke mall untuk window shopping baju keluaran terbaru atau
aksesoris yang lucu-lucu.
Saya tidak bisa menggambar.
Sama sekali. Sahabat saya pintar sekali menggambar, coretan isengnya
saja menurut saya bagus bukan main. Dia suka mendesain baju sendiri kemudian diwujudkan sehingga baju-bajunya selalu one of a kind.
Selepas
SMA, kami berbeda tujuan. Saya memilih jurusan kedokteran di Surabaya
sementara dia memilih jurusan arsitektur di Bandung. Kesibukan
masing-masing tidak membuat kami jauh. Thanks to technology, kami masih sering kontak sekadar bertanya kabar.
Setelah
merampungkan kuliah S2-nya di bidang manajemen, sahabat saya diterima
di satu perusahaan terbesar di dunia. Saya bangga sekali padanya.
Sahabat saya jadi sering berkeliling Indonesia dan luar negeri, bahkan
sempat membintangi iklan salah satu produk binaannya. Gaji yang didapat
pun jauh berlipat-lipat dibanding teman-teman sebaya kami waktu itu.
Keren sekali.
Maka dari itu, betapa terkejutnya saya
ketika sahabat mengabarkan bahwa dia resign dari perusahaan tadi dan
memilih untuk membuka clothing line sendiri, satu hal yang diidamkannya
sejak dahulu kala. Dengan berwiraswasta, memulai usahanya dari nol,
tentu kemewahan yang biasa didapat saat masih bekerja di perusahaan
internasional terkemuka tak lagi bisa ditemui. Penghasilannya menurun
drastis. Dia bahkan harus rela menanggung kerugian saat bisnisnya tak
berjalan lancar. Di pikiran saya waktu itu "Kamu ngapain sih? Udah
enak-enak disitu, kok pake keluar segala?"
Dia hanya
tersenyum. Tapi sebagai sahabat, saya tahu benar senyumnya adalah senyum
penuh kebahagiaan. Satu hal yang tak ternilai harganya. Saya masih
ingat betapa sumringahnya dia waktu BBM saya soal ini. Sahabat saya
merasa sangat bahagia karena bisa menjalani passionnya selama ini. Saya
ikut berbahagia bersamanya:)
Banyak
orang yang terkadang mendefinisikan kebahagiaan sebagai kemewahan
materi. Punya uang banyak, rumah bagus, mobil banyak, sering keluar
negeri, engga mikir kalau mau beli apa pun, itu pasti bahagia. Engga
heran, banyak orang pula yang bekerja keras demi mewujudkan
"kebahagiaan" ini. Lembur pun engga masalah, jarang pulang ke rumah juga
engga apa-apa, engga pernah bertemu keluarga hanya sekedar konsekuensi
untuk menjadi bahagia. Pembenarannya, toh hasil kerja keras ini kan
untuk keluarga juga. Kalau bisa punya rumah mewah, yang menikmati kan
keluarga. Kalau punya ini itu, yang senang juga kan ya keluarga.
Benarkah?
Saya jadi ingat tukang pecel langganan suami.
Suami saya ngefans berat sama pecel ini karena menurut pak suami, bumbu
pecelnya super maknyus. (Menurut saya sih biasa saja;p). Rupanya yang
ngefans dengan pecel ini bukan suami tapi banyak orang lainnya. Sejak
dibuka jam 6 pagi, antrean pembeli akan mengular panjaaang sekali.
Saking banyaknya, terkadang hanya dalam waktu sejam, jualannya sudah
ditutup karena habis.
Sekali waktu, saya pernah
dititahkan pak suami membeli pecel kesayangannya. Sambil mengantre,
iseng saya mengobrol dengan pasangan suami istri penjualnya.
Saya: "Pak, pecelnya laku banget ya?"
Pak Pecel: "Nggih, alhamdulillah mbak."
Saya:
"Kadang baru jam 7 sudah habis. Cepet banget. Apa engga ditambah aja
pak jualannya? Kan lumayan kalau bapak bisa jualan lebih banyak?"
Pak
Pecel: "Ah engga mbak. Saya setiap hari mampunya bikin pecel segini
aja. Rejekinya segini sudah cukup untuk saya dan istri hidup
sehari-hari. Sisa waktunya bisa dipakai ibadah dan momong anak-cucu.
Ndak perlu ngoyo mbak, semua sudah diatur Gusti Allah. Yang penting
bahagia. Saya tuh bisa momong cucu aja sudah bahagia sekali."
Jleb.
Saya langsung merasa tertohok. Terkadang, saya bekerja keras demi
memenuhi target yang sudah saya rencanakan. Saya ingin sekali bisa
mengajak Naya ke Disneyland kelak, ingin juga bisa berlibur ke UK,
negara idaman saya sejak dulu, ingin membelikan mama saya ini itu. Saya
rela lembur, terlambat beribadah, atau bahkan jarang bertemu Naya hanya
demi target tadi. Asumsi saya, setelah target tadi saya penuhi, saya
akan merasa bahagia. Emang iya? Yang tidak saya sadari, sebenarnya arti
kebahagiaan buat saya sangatlah sederhana. Kruntelan bertiga dengan anak
dan suami bermain tenda-tendaan di kamar tidur contohnya. Hal yang
tidak membutuhkan modal sama sekali tapi membuat saya sangat bahagia:)
Jleb yang kedua:
Saya: "Kak, kakak mau engga ke Disneyland? Kayak yang di majalah itu lho. Yang ada Mickey Mouse sama Goofy-nya?"
Naya: "Mauuuuu!"
Saya: "Senang ga kakak?"
Naya: "Senang ma!"
Saya: "Kalau ke Dufan mau? Senang juga engga?
Naya: "Mauuu. Senang juga!"
Saya: "Lebih senang mana, kakak Aya ke Disneyland atau ke Dufan?"
Naya: "Asal ada mama! Di lumah aja sama mama kakak Aya juga senang!"
:')
Saya berjanji akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama Naya, karena memang benar, to a child happiness is simple, to a child, love is spelled T-I-M-E:)
Arti kebahagiaan mungkin akan berbeda untuk setiap orang. Menjalani passion, berkumpul bersama keluarga, membahagiakan orang lain bisa berarti kebahagiaan. My definition of happiness is being with my family. As simple as that. What's yours?;)
5 comments:
belajar dari film Rumor Has It, kira-kira begini, bukan melakukan apa yang penting, tapi dengan siapa melakukannya :)
kayaknya sama dengan.. bukan kemana atau dimana tapi dengan siapa berada disana, ya?
Lagi-lagi dibuat menangis terharu dengan tulisan dokter Meta. Saya punya kesamaan dengan Dokter, ingin membahagiakan orang-orang sekitar dengan cara bekerja keras, rela lembur, ninggalin anak agar bisa mencukupi kebutuhannya. Tapi saya belum tau bagaimana cara saya agak bisa bahagia. Saya juga gak yakin apakah saya bisa membahagiakan orang-orang di sekitar saya apabila saya berhenti bekerja.
@Intan: Betul mbak, kurang lebihnya begitu sih:)
@Sales: kesimpulan yang saya dapat sih begini mbak, bahagia itu bukan dicari. Engga perlu dicari jauh-jauh, tapi dibuat. DIbuat sekarang oleh kita sendiri, sederhana kok:)
setuju,met.. touched bangett T.T
buat saya, happiness is family.
percuma saya punya jabatan/nama tenar/kaya/semacamnya tapi keluarga saya tidak merasakan kebahagiaan yg sama dg yg saya rasakan. toh dari doa mereka juga kan kesuksesan kita berasal :)
Post a Comment