Wednesday, April 15, 2015

Quit or Not? Stay or Not?

"Mbak, pernah engga ngerasain kayanya sekolah/kampus/tempat kerja yang sekarang is not where you belong? Rasanya salah jurusan, kayaknya ga bakal bisa ngikutin. Maunya keluar aja?"

Dont be surprised. The answer is: Yes, i have. Many times.

Saat pertama kali kuliah di FK, saya merasa bingung. Saya tak pernah mengenal kota Surabaya sebelumya, hanya pernah sekali ke kota ini waktu masih kecil menghadiri pernikahan saudara. Saya tak punya teman di sini. Mama saya jauh di Bandung, sahabat-sahabat saya semua di Bandung, keluarga saya semua di Bandung. Saya tak kenal siapa-siapa, saya tak tahu jalan, dan tak betah setengah mati karena cuaca Surabaya yang jauh berbeda dengan kota kelahiran saya.



Saya sempat terkaget-kaget dengan cara bicara orang sini yang seperti sedang memarahi saya. Buset, bahkan mama papa saya pun tak pernah "sekasar" itu saat berbicara. Berat badan saya turun lumayan banyak di awal masa kuliah. Saya tak terbiasa dengan masakan Surabaya sehingga tak napsu makan rasanya. Saya berharap dapat segera mempunyai teman baru sehingga bisa segera beradaptasi. Eh tapi nyatanya, memasuki gedung perkuliahan, saya semakin tak betah. Hampir kesemua teman saya waktu itu sudah berkelompok sendiri. Ada yang berasal dari satu SMA (bahkan sekelas pula di SMA!), banyak juga yang dulunya teman SMP, SD, les bimbel, keluarga, atau teman satu kost. Saya tambah merasa sendirian. Ingin pulang saja rasanya. Kuliah di Bandung kan bisa.

Tapi saya ingin mandiri, saya kuatkan niat untuk tetap bertahan. Alhamdulillah, tak sulit bagi saya mendapatkan teman baru. Yang menjadi penyemangat saya untuk stay where i were adalah teman pertama saya di FK, Monica, -akhirnya menjadi sahabat sejati sampai sekarang-  Monica yang mengenalkan saya dengan Surabaya, termasuk makanan dan kebudayaan lainnya. Monica juga yang membuat saya merasa aman dan nyaman berada di kampus, tepatnya di kota nun jauh dari tempat asal saya.

Eits, tapi jangan kira pikiran untuk quit sudah hilang setelahnya.

Saya sempat kesulitan mengikuti pola perkuliahan di FK. Pelajarannya yang sulit (jangankan mengerti, membaca nama latin saja saya sudah belibet), ujian yang -terlalu!- sering, sampai tugas yang tak ada hentinya membuat saya ragu-ragu. Saya sering stress, tak cukup tidur. Kayaknya saya tak cocok deh kuliah di bidang ini. Apa pindah jurusan saja ya?

Keraguan semacam itu tak hanya sekali dua kali saya alami. Bolak/i deh! Waktu mendapat nilai jelek saat ujian, saat tak juga paham apa maksudnya salah satu pelajaran (ps: Biokimia! sorry, hubungan kita tak terlalu baik ya dulu. Walaupun akhirnya saya putuskan "Sudahlah tak usah dimengerti, yang penting hapal supaya bisa lulus ujian" dan saya bisa mendapat nilai A, tetap saja sesungguhnya saya tak mengerti sampai sekarang hahahaha), saya ingin keluar saja.

Tahu tidak apa yang menjadi penyemangat saya untuk tetap bertahan?
Pekerjaan "sampingan" saya, dunia luar selain FK yang menjadi passion saya.

Saat stress setengah mati menghadapi ujian, saya malah meminta jadwal siaran. Waktu galau gegara tak jua hapal nama latin casciscus itu, saya justru meminta jadwal syuting. Bukan sok, tapi setelah mengerjakan passion tadi, saya seperti mendapat suntikan energi baru untuk melakukan semua;D

Setelah lulus dokter, perasaan "quit or not? stay or not?" ini pun bolak/i datang. Selama menjadi PPDS, entah sudah berapa kali saya merasa tak cukup mampu untuk bertahan di bagian anak. Inginnya keluar, tapi saya mengingat inilah mimpi saya selama ini. Ingin bertahan, tapi lagi-lagi terpikir "Jangan-jangan memang bukan jalanNya saya ada di sini. Mungkin ini #kode supaya saya pindah jalur?". Super galau deh, segalau cuaca Surabaya sekarang yang habis panas terik bisa langsung hujan deras, dan sebaliknya.

Apalagi setelah saya melahirkan Naya. Saya ingin berada di rumah bersama Naya, tapi saya juga ingin mengejar cita-cita sejak kecil. Bisakah? Saya mampu tidak ya? Saya tak ingin melewatkan mengurus Naya di awal-awal umurnya. Saya tak mau melewatkan momen pertama Naya berjalan, bicara atau sekolah. Apalagi sebagai PPDS, saya terkadang ditempatkan di luar kota atau pulau sebulan penuh. Di dalam kota saja saya bisa tak pulang 2 hari karena jaga. Perasaan tak mampu ini juga bertambah kalau Naya sakit. Duh, berdosa sekali saya meninggalkan anak sakit untuk mengurusi anak -orang-lain yang juga sakit. Jadi bagaimana? Should i stay? Should i quit?

Jangan ditanya kalau soal ujian atau tugas. Saya pernah lho ujian online (karena masih masa cuti) sambil menyusui Naya yang sedang growth spurt, menempeeeeel terus seharian minta disusui. Bayangkan saja, kira-kira saya bisa fokus tak? Boro-boro berpikir, bisa menggendong Naya pasca operasi caesar sambil pegang laptop saja sudah Alhamdulillah:)))))

Alhamdulillah, suami dan keluarga saya sangat suportif. Tak terbayang bagaimana jadinya kalau tidak. Saya bisa merasa aman dinas sebulan di luar pulau dan meninggalkan Naya dengan mama. Saya pun tak khawatir meninggalkan Naya kalau sakit bersama suami. Syukurlah.

Saya jadi ingat nasihat yang pernah diberikan papa. "Selalu selesaikan apa yang kamu mulai."
Lalu bagaimana kalau tak suka? Tak betah? Tak cukup mampu?
Kata papa saya dulu sih begini, "Makanya, sebelum memutuskan sesuatu pertimbangkan masak-masak. Hitung untung ruginya, positif negatifnya, istikharah. Begitu kamu sudah memutuskan, sudah tanggung jawabmu untuk menjalaninya. Masalah tak suka, tak betah, tak cukup mampu pun harus dipikirkan jauh sebelumnya. Setelahnya, serahkan sama Yang Di Atas. Jalan hidup kita semua sudah ada kok, sudah tertulis, tinggal jalani saja. Tak perlu terlalu dipikirkan, just let it flow. Pokoknya selama kamu sudah berusaha semaksimal mungkin, berdoa, ya sudah, selesai tugasmu."

 Akhirnya, nasihat papa inilah yang saya "bawa" sampai sekarang. Dont overthink, just do it and pray for the best. When you think too much, you'll create a new problem that wasnt even there in the first place.

Betul juga ya, seandainya saya terlalu memikirkan tak betah hanya karena tak kenal siapa-siapa, tak cukup mampu kuliah di FK hanya karena kesulitan mengikuti (padahal yang lain pun juga begitu), mungkin saya tak menjadi dokter seperti sekarang. Kalau dulu saya terlalu memikirkan takut tak bisa menyusui eksklusif hanya karena harus menjalani sekolah spesialis (and btw, i did it! Bukan cuma eksklusif, saya menyusui Naya 2 tahun lamanya tanpa tambahan formula), atau kehilangan momen pertama Naya (tidak juga sih, seingat saya tak ada momen pertama Naya yang terlewatkan. Thanks, technology!), mungkin sekarang saya bukan spesialis anak.

Mungkin "jalan" saya memang seperti ini.

Ada yang sedang galau antara quit or stay? Mungkin, sedikit curhat saya ini bisa berguna:)



No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...