Saturday, November 14, 2015

The Overexcitement

Sudah beberapa minggu terakhir ini Naya excited sekali dengan Sekolah Dasar.

"Mama, kapan kita beli seragam putih merah? Sepatunya merah juga ya!"

Berulang kali, ia memastikan saya tak lupa membelikannya seragam Sekolah Dasar, sampai-sampai terbawa mimpi segala. Pernah, suatu malam, tetiba ia terbangun dan spontan bertanya "Mama, sudah kan beli seragam SD kakak?" :))

Selain excitement-nya akan masuk SD, saya sedang mendapat "project" alias PR dari psikolog, nih. Semakin lama, saya melihat Naya semakin "lebay". Dalam pengertian sebenarnya ya. Contoh, saat kami akan menuju satu tempat lalu ternyata jalan yang biasa dilalui ditutup, saya yang menyetir spontan berseru "Aduh!". Orang lain -atau anak lain- mungkin biasa saja menanggapinya, tapi Naya? Histeris menangis ketakutan di dalam mobil yang berakibat membuat ibunya ikut stress juga.


Hal lain, waktu di dekat rumah kami ada kebakaran, Naya pun ikut menangis histeris. Saya yang waktu itu memang sedang tak di rumah sudah ketakutan setengah mati, hampir copot rasanya jantung ini. Eh, setelah ditanya, ternyata Naya histeris "cuma" karena kasihan melihat petugas pemadam kebakaran yang wira-wiri mengambil air untuk memadamkan api. Sungguh lebay, untuk saya yang cuek ini.

Karena kesibukan saya dan juga psikolognya, kami baru bisa membuat janji temu minggu lalu. Menurut sang psikolog, salah satu karakter Naya sebagai gifted kid memang adalah overexcitement. Satu trigger kecil dan sepele (yang bahkan tak terpikir oleh kebanyakan orang) bisa membuat otak, sensori, psikomotor, imajinasi dan perasaannya bereaksi beratus-ratus kali. Memang lebay, secara harafiah.

Untuk menyelesaikan masalah ini, saya diminta mencatat reaksi atau respon Naya terhadap berbagai hal setiap harinya. Jadilah saya rutin membawa notes dan pulpen ke mana-mana saat bersama Naya. Bisa jadi satu buku sendiri deh:))

Sebagai contoh, saat Naya histeris karena mendengar saya berseru "Aduh!", biasanya saya mencari berbagai cara mendiamkan Naya, tanpa bertanya lebih lanjut apa yang membuat ia ketakutan begitu. Tapi, setelah mendapat PR, saya berusaha menggali lebih dalam lagi apa yang ia pikirkan. Hasilnya? Waduh, saya merasa bersalah sekali pada Naya. Maaf ya kak!
Ternyata setelah saya baca ulang berbagai respon Naya, saya bisa merasakan apa yang Naya rasakan. Saya jadi menyesal, kenapa baru sekarang ya saya menulis respon Naya, mengapa saya tak terpikir melakukan ini sejak dulu.

Beginilah yang terjadi:
N: *menangis histeris ketakutan, sampai seluruh tubuhnya menggigil"
M: (dalam hati: duh, biasa deh, selaluuuuu Naya ini, bikin stress aja:p)
      "Kenapa kak?"
N: "Im scared, mama. Im scaaarrreeeeed!"
M: "Scared of what?"
N: "Nanti kalau jalannya ditutup, kita terlambat datangnya gimana? Terus kalau terlambat semua orang bakal mikir kakak itu suka telatan. Terus kalau jalan ditutup kita muter-muter terus nanti bensinnya habis, kalau bensinnya habis mogok mobilnya. Terus kalau mobilnya mogok kita engga bisa pulang, kita kejebak di sini selamanya. Kakak ga bisa sekolah, ga bisa bobo di kamar kakak, ga bisa les lagi. Kalau mobilnya mogok, jendela ga bisa dibuka terus oksigennya habis kakak ga bisa napas, terus AC juga mati di sini kakak kepanasan, terus kalau hujan kita ga bisa kemana-mana karena mogok, nanti banjir gimana? Kalau banjir, terus kita engga bisa kemana-mana, mobilnya tenggelam terus kebawa arus sampai laut, terus ada ikan hiu. Kalau ikan hiunya makan mobil kita terus gimana mama? Gimanaaaaaaa? "
M: *bengong*

Ternyata benar apa yang dikatakan psikolognya, setelah saya gali lebih dalam, ternyata trigger sepele "Aduh!" saya membuat Naya yang sangat sensitif ini berpikir ratusan kali lipat ke depan, bukan hanya dengan otak tapi juga dengan imajinasi (please kak, ikan hiu?-_-"), psikomotor (sampai menggigil banget lho!), sampai sensorinya (ketakutan).

Saya yang akhirnya mulai mengerti sedikit demi sedikit apa yang menjadi ketakutan Naya berusaha membantunya mengendalikan apa yang ia pikir dan memberikan solusi. Walaupun begitu, sepertinya saya masih perlu banyak belajar, karena terkadang saya pun masih saja bingung harus melakukan apa.

Seperti semalam, saya dan Naya siap-siap tidur bersama. Suami saya sedang dinas ke luar negeri sehingga saya bisa tidur dengan Naya. Saat sedang cerita-cerita, tetiba Naya terdiam selama 3 menit, kemudian menangis histeris.
M: *sigh* (dalam hati: Okay, here we goo! Apa lagi sekarang?")
N: "Mama, kakak engga mau di siniiii. Kakak takuuuut!"
M: "Di sini di kamar kakak? Oke kita ke kamar mama ya?"
N: "Engga mauuu, ga mau di sini, di sana di mana-mana. Pokoknya kakak engga mauuuu."
M: "Kakak mau di mana?"
N: "Kakak engga mau ada. Kakak engga mau di mana-mana, kakak engga mau adaaa mamaaa."
M: *panik sekaligus ketakutan sendiri, serius saya merinding* "Why?"
N: "Because im scared, mama. Im scarreeeeeeddd"
M: "Of what?"
N: "Of everything. Im scared of late, rain, lift, scarry monster, im scared of everything. Kakak ga mau ada mama, kakak mau masuk perut mama aja!"
M: *Speechless and clueless*

Karena saya sendiri bingung harus menanggapi bagaimana, akhirnya saya peluk saja Naya sampai tertidur dengan sendirinya. PR banget nih buat saya, selain menambah kesabaran juga mencari bagaimana caranya bereaksi kalau-kalau Naya mulai overexcited akan sesuatu lagi. Bismillah, doakan ya!    

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...