Friday, November 27, 2015

Orang Kaya dan Miskin

Saya cuma bisa geleng-geleng kepala dan menghembus napas panjang kala mendengar di radio kalau minggu ini, buruh se-Surabaya (dan daerah sekitarnya) demo lagi! Terbayang sudah macetnya jalanan di tengah panasnya kota metropolis ini. Lagi-lagi, yang dipermasalahkan adalah soal UMK.
Padahal baru minggu lalu, pemerintah Jawa Timur menyetujui kenaikan UMK buruh di Surabaya menjadi lebih dari 3 juta rupiah.

Memang sih, bicara soal uang tak akan ada habisnya. Ada yang selalu saja merasa kurang dengan sebesar apapun gajinya. Namun ada pula orang yang merasa cukup terus walaupun menurut kacamata kebanyakan orang, gaji atau uang yang didapat kecil.

Saya jadi ingat waktu SMA pernah mewawancarai tukang becak di dekat rumah. Bukan untuk tugas sih sebenarnya, murni karena kepo dan memang ingin berkenalan dengan si Mamang yang setiap hari rajin mengantarkan saya ke tepi jalan raya untuk naik angkot ke sekolah.



Mamang asli orang Tasikmalaya, dan semua keluarganya tinggal di sana. Di Bandung, ia kost di dekat rumah saya, tempat yang sangat sederhana. Sehari-hari, uang yang didapatnya tidak tentu. Kadang bisa mencapai dua puluh ribu kalau sedang ramai, namun sering juga hanya mendapat lima ribu. Uang tersebut harus cukup untuk biaya sehari-hari Mamang, dan juga kebutuhan keluarganya dengan anak yang masih kecil-kecil.

Belasan tahun lalu waktu saya SMA, uang dua puluh ribu memang masih bernilai lebih banyak dibanding sekarang. Nasi bungkus dengan lauk tahu tempe dan sayur berharga sekitar tiga ribu rupiah. Tapi tetap saja saya masih takjub bagaimana si Mamang bisa bertahan dengan uang sekian. Saya ingat betul dengan polosnya saya bertanya, "Cukup memang Mang?"

Yang dijawab dengan senyum dan logat Sunda kentalnya. "Yah Neng, lamun cekap mah tiasalah dicekap-cekapeun. Lamun kirang ge tiasa dikirangan. Kumaha kitana we Neng."
(Yaa, kalau cukup sih bisalah dicukup-cukupi, tapi kalau kurang juga bisa dianggap kurang. Bagaimana kita mengaturnya saja).

"Nu penting mah ya Mamang teh tiasa keneh nyakolakeun barudak, keur neda, mayaran listrik. Cekap da Neng. Pamajikan ge boga warung di imah. Alhamdulillah, cekap keneh da Neng. Alhamdulillah. " (Yang oenting masih bisa menyekolahkan anak-anak, untuk makan dan bayar listrik. Cukup kok. Istri juga punya warung di rumah, Alhamdulillah masih cukup sekali.)

Karena saat itu saya masih sekolah dan tak tahu benar bagaimana susahnya mengatur uang, saya menanggapi dengan manggut-manggut saja. Namun setelah saya semakin dewasa dan mengerti benar soal keuangan ini, saya salut sekali dengan Mamang. Setiap ke Bandung, pasti deh saya mencari becaknya sekadar untuk berkeliling dekat rumah. Mamang masih betah menarik becak sampai sekarang! Dan FYI, kedua anaknya yang dulu masih kecil-kecil itu sudah bekerja. Ada yang lulusan SMK, ada yang kuliah! Hebat banget ya. Terakhir bertemu waktu saya ke Bandung, Mamang bilang "Alhamdulillah Neng, namina ge rezeki. Pan ari rezeki teh teu kamana, boga pamajikan nu bageur, setia, barudak ge barageur, saroleh, Mamang ge sehat walafiat, Alhamdulillah Neng, Allahuakbar, rejeki Mamang banyak sekali."

(Alhamdulillah, namanya juga rejeki. Kan rejeki tak ke mana, punya istri baik, anak-anak baik dan soleh, Mamang juga sehat walafiat, Alhamdulillah, Allahuakbar, rejeki Mamang banyak sekali)

Saya melihat baju Mamang yang walaupun bersih nampak sudah lusuh. Sendal jepitnya pun tampak sudah sangat tua. Tak nampak aksesori seperti cincin akik atau jam tangan yang dipakai. Hanya ada jam weker kecil yang dibawa kemana-mana sejak saya SMA dulu. (Awet banget! ). Jangan tanya soal handphone ya, tentulah tak punya.

"Mamang teh percanten, aya rejeki batur di rejeki Mamang. Alhamdulillah Neng, Allah baik sama Mamang, rejeki mah aya wae. Mamang tiasa keneh berbagi. Yaaa, sekadar nyumbang takjil Ramadhan kamari."

(Mamang percaya kalau rejeki orang lain ada di dalam rejeki Mamang. Alhamdulillah Neng, Allah baik sama Mamang, rejeki selalu ada. Mamang masih bisa berbagi. Ya sekadar menyumbang takjil bulan Ramadhan kemarin).

 Seketika saya malu sendiri mendengar Mamang. Mungkin bagi banyak orang, Mamang adalah satu dari sekian banyak orang miskin di Indonesia. (Miskin = Penghasilan terpakai 75%nya untuk membeli pangan utama, kriteria Prof Mubyarto 2002) Namun di mata saya, Mamang adalah salah satu orang terkaya di dunia:)

Cerita lainnya, ketika saya sudah mulai kuliah. Karena pekerjaan saya di bidang broadcasting, mau tak mau saya mengenal banyak orang yang tampak glamour. Selalu bergaya dengan tren fashion terbaru, memegang handphone keluaran canggih, sampai bergonta/i kendaraan. Setiap hari rasanya tak lengkap kalau belum memegang secangkir kopi dari brand internasional yang sedang hits. Makan siang pun tentunya harus di tempat gaul supaya bisa sekalian hang out. Belum lagi kalau ada tontonan film baru di bioskop. Ya harus ikut antrian.

Sebagai konsekuensi gaya hidup perkotaan itu, tentu saja orang-orang tadi harus menyediakan banyak dana dalam budget. Sehingga tak pernah ada kata cukup di dalam kamus. Dengan gaji bulanan lebih dari UMR ketika itu, seorang relasi saya masih saja merasa kekurangan dan harus pinjam uang rutin ke mana-mana. Boro-boro dua puluh ribu, lima juta pun tetap tak mencukupi. Lalu kalau bulan depannya ada tambahan rejeki, jadi sepuluh juta misalnya, cukupkah? Ya tetap tidak. Harus membayar cicilan ini itu, membayar hutang ke sana sini. Kalau dua puluh juta? Tetap tidak cukup. Saya pernah menjadi saksi betapa seorang relasi, karena dikejar-kejar penagih hutang harus kabur dari rumahnya. Hanya demi sebuah gaya hidup.

Benar juga ya, rejeki dari Allah pasti akan cukup untuk hidup, tapi tidak akan pernah cukup untuk gaya hidup.

Saya pernah membaca quote dari seseorang (saya lupa siapa, maaf).
ORANG KAYA adalah orang yang selalu merasa cukup, hingga dia terus berbagi. ORANG MISKIN adalah orang yang selalu merasa kurang, hingga dia terus meminta-minta.
Semoga kita selalu berlaku sebagai orang kaya ya!
Oh ya, PR juga nih buat saya untuk mendidik Naya agar bisa berlaku sebagai orang kaya:)

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...