Sunday, August 2, 2015

Praktik

Salah satu pertanyaan yang sering saya dapatkan akhir-akhir ini adalah "Met, kamu praktik di mana?"

Yang biasanya hanya saya jawab dengan cengengesan saja. Hehehe. Setiap hari, saya memang berpraktik di rumah sakit pemerintah terbesar se-Indonesia Timur. Tapi di sana, pasien tidak bisa memilih ingin ditangani oleh siapa. Nah, biasanya para dokter memiliki tempat praktik swasta lainnya agar mempermudah pasien berkonsultasi.

Lalu, praktik swasta saya di mana?

Ini agak panjang ya ceritanya:))
Setelah lulus, saya memang tidak langsung mengurus surat ijin praktik karena masih ingin membayar "hutang" waktu dengan Naya dan suami. Saya mengantar jemput Naya les, mendampinginya membuat PR, terkadang mengantar jemput suami pula, dan sejuta pekerjaan sebagai ibu/istri lainnya. Tentunya di luar jam kerja saya di RS pemerintah tadi yaaa.


Rupanya, mungkin karena terlalu lama dan intens menghabiskan waktu bersama Naya, akhirnya Naya pun semakin lengket dengan saya. Kemanapun, melakukan apapun, harus sama saya. Saya sih senang-senang saja. Hitung-hitung "menebus" hutang saya selama menjadi residen. Apalagi, karena itu pula, saya bisa lebih bebas menulis, melakukan promo tour buku terbaru saya dan -tentu saja- siaran! Im living a happy life, Alhamdulillah.

Sampai suatu ketika, saya merasa butuh menggunakan ilmu saya dengan lebih intens. Saya merasa butuh berbagi ilmu, memanfaatkan apa yang saya bisa untuk orang lain. Bukan semata-mata soal finansial ya, karena sejak sebelum menikah pun saya dan suami sepakat kalau kebutuhan finansial merupakan kewajiban penuh suami.Toh, kalau memang semata soal finansial, justru lebih baik -dan stressless- kalau saya bekerja sebagai MC atau penyiar saja:D

Karena kebutuhan itulah, saya mulai mencari kemungkinan tempat praktik swasta. Yang saya cari, dekat dengan rumah dan waktu praktik sore, pada saat Naya les. Jadi saya bisa mengantar Naya les dulu, berangkat praktik lalu menjemput Naya kembali sepulang praktik.

Setelah mendapat tempat praktik yang pas, saya mulai mengumpulkan berkas-berkas untuk mengurus ijin. Sampai suatu ketika, saya ngomel-ngomel terus ke Naya.

Semua baju dan celana Naya kesempitan. Memang sih, kami sudah lama tak membelikannya baju. Semakin terlihat sempit, karena selama liburan kemarin berat badan Naya melambung pesat. Saya belikan baju tanpa sepengetahuannya, ia tak mau memakai, bahkan melihatnya. Saya ajak ke mall untuk membeli baju, tak satu pun yang ia pilih. Intinya, Naya tak mau baju baru titik.

Awalnya saya biarkan saja. Pasti nanti ia menyerah juga kalau baju-bajunya tak ada yang bisa dipakai. Tapi, ternyata kok ya tak kunjung menyerah ya, hadeeeeh. Keras banget memang Naya ini. Karena saya sampai ditegur mama dan mertua -:p-, akhirnya saya ajak ngomonglah Naya baik-baik setelah ngomel-ngomel panjang lebar.

M: "Kak, kenapa sih kok engga mau beli baju baru? Kan udah sempit semua."
N: "Engga apa-apa mama. Sudah sempit sih memang, tapi masih bisa dipakai kok."
M: "Iya tapi mama kan malu kak. Masa anaknya kayak ga diurus?"
N: "Engga usah malu. Kakak aja engga malu kok."
M: "Kakak boleh deh pilih baju yang mana aja, terserah kakak."
N: "Iya kakak tau. Tapi kakak engga mau baju baru pokoknya."
M: *mulai esmosi* "Kenapa sihhhh?"
N: "Soalnya kalau kakak beli baju baru nanti uang mama habis. Terus mama harus jaga-jaga lagi kayak waktu itu sampai malem atau pagi. Padahal kakak itu engga mau mama pergi-pergi. Engga apa-apa mama, kakak pakai baju lama yang jelek juga asal mama sama kakak terus."
M: *kemudianmewek*

Saya langsung tertohok. Baru ngeh deh kenapa beberapa bulan terakhir ini, Naya selalu bertanya soal harga kalau saya ajak jalan-jalan.
N: "Mama, kalau kakak beli sate mahal ga? Berapa harganya? Kalau mama beliin kakak sate, nanti uang mama habis?"
atau
N: "Mama,kalau kaka tetap les di situ, bayarnya mahal engga sih? Mama uangnya masih ada kan?"

Bahkan ya, waktu pulang dari Hongkong, Naya langsung menyodorkan celengannya yang penuh untuk saya. Katanya untuk semua biaya yang saya keluarkan selama di Hongkong. Waktu itu sih saya si super tak sensitif ini iya-iya saja. Ternyata....

Kemudian saya dan suami berembuk untuk memberi pengertian pada Naya. Bahwa walaupun saya tak bekerja, papanya masih sanggup membelikan Naya sate atau baju baru. Setelah panjang lebar, Naya akhirnya mengerti juga dan mengiyakan saat saya ajak membeli baju baru. Tapi tetap saja,
N: "Mama, kalau beli baju buat kakak cari yang ada tulisan gedenya 50 % atau 70% gitu ya. Kata uti, itu murah harganya." -_-"

Anyway, saya jadi berpikir dua-tiga kali untuk praktik sore hari. Walaupun memang benar saya memilih waktu praktik pada saat Naya les, tapi memangnya bisa mengatur pasien emergency atau ibu yang melahirkan bayi? Kan harus tetap siaga 24 jam ya?

Jadi, sementara ini sih untuk praktik swasta? Saya pikir-pikir dulu yaa;D


3 comments:

nana marizqiana said...

Sebagai emak2 melankolis...ak pun ikut mewek membayangkan naya ngmg gt mba met..
Krna ak pernah merasakan resign ketika di puncak karir demi anakq usia 5th

Nova said...

Kasus mbak meta sama dengan yg saya hadapi saat ini, sewaktu di medan saya ga ada pilihan krn masih jadi 'tulang punggung' keluarga akibatnya anak kurang perhatian akan tetapi setelah pindah ke surabaya ikut suami ada dilema antara ingin mengamalkan ilmu yg sudah didapat susah payah selama sekolah seperti sebelumnya dengan membuka praktek swasta (krn bayaran bpjs sangat tidak sebanding dengan beratnya pengorbanan meraih spesialis) dan kesibukan menjaga anak dan mengurus rumah tangga (karena ga ada yg bantu2 dirumah) akhirnya sampai sekarang ga buka2 praktek swasta deh (padahal banyak yg nanya juga)

Ratna Wahyu said...

Huaaa, baca ini jadi bikin mewek. Bintang kapan itu juga bilang begini sama aku :((

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...