Jauh sebelum Naya lahir, saya sudah berniat untuk tidak mengenalkan televisi padanya. Bukan karena saya anti, lho! In fact, sewaktu kecil dulu saya suka menonton televisi. Saya mengikuti sinetron Keluarga Cemara, tayangan musik Tralala Trilili, Cilukba, Bagito Show sampai ke acara Album Minggu Kita. Bahkan, dari televisilah saya mengenal bahasa Inggris untuk pertama kalinya. Thanks to Sesame Street and Xuxa! (Inget engga sih acara ini?). Saya engga pernah ketinggalan menonton sitkom semacam Cosby Show, Growing Pains atau Saved by The Bell. Tontonan ini pun yang melatih spelling serta pronounciation bahasa Inggris saya. Jadi bisa dibilang televisi berpengaruh cukup besar untuk kehidupan saya.
Hanya saja, saya menyadari jaman saya kecil dulu sangat berbeda dengan jaman sekarang. Menurut saya, tontonan televisi sekarang sudah sangat "kebablasan". Saya ingat, jaman dulu, sensor tayangan televisi ketat banget. Dibawah jam 10 malam, bisa dipastikan tidak ada adegan yang tidak pantas ditonton anak dibawah umur. Sekarang?
Mulai pagi sampai malam isinya infotainment yang memberitakan artis ini selingkuh dengan pejabat itu, artis itu berantem sampai cakar-cakaran sama seleb ini, video mesum pejabat dengan penyanyi ini, dan seterusnya. Kalau bukan infotainment, sinetron pun sami mawon. Yang settingnya di sekolah memperlihatkan seragam kurang bahan dengan dandanan masa-sih-anak-sekolah-dandan-kayak-tante-tante-begitu?-saya-aja-yang-udah-emak-emak-engga-pernah-dandan-menor-gitu. Belum lagi biasanya ceritanya pun bisa ditebak. Si kaya raya yang cantik nan jutek mem-bully anak lain yang tak populer. Yang settingnya di klub malam memperlihatkan baju seksi dengan musik jedang-jedung, merokok, minum minuman keras, mabuk, lalu berantem terus pingsan. Yang settingnya percintaan, pasti mengikutkan adegan mata melotot *zoom-in zoom-out close up* lalu dengan sepenuh tenaga mencoba "mematikan" tokoh utama sampai "pura-pura" kecelakaan terus amnesia.
Lain sinetron lain pula tayangan komedi. Hampir tidak pernah saya melihat tayangan komedi Indonesia di televisi yang menjual kekuatan script. Sepertinya semua menjual slapstick yang -sorry to say- norak. Ledek-ledekan antar pengisi acara, menyerempet fisik atau seks sampai dorong-dorongan, lempar-lemparan tepung, joget engga jelas dan mengerjai sesama pengisi acara.
Sejujurnya, saya engga pengin Naya "terinspirasi" dari salah satu acara tadi. Ada seorang teman yang bilang saya lebay. Katanya, banyak juga kok acara televisi yang "aman" untuk anak, misalnya saja tayangan kartun yang ditayangkan hari Minggu pagi. Masalahnya, mungkin saja tayangan kartun itu sendiri terbilang aman. Tapi, apakah ada yang bisa menjamin iklan yang ditayangkan disela acara tadi juga aman?:D
Contoh nih, saya pernah punya pasien berusia 4 tahun yang datang berobat karena batuk. Saat saya larang ia makan cokelat terlalu banyak, balasannya adalah "MASBULOH? Masalah buat loooh?"
Saya kaget. Lebih kaget lagi saat ternyata orangtuanya justru merasa bangga karena si anak terdengar lucu dan menggemaskan, karena mengikuti televisi masa kini. Entah ya, pendapat saya bisa saja berbeda dengan yang lain. Tapi saya sangat berharap Naya tidak akan pernah seperti ini.
Contoh lain, dari pasien saya juga. Seorang anak lelaki berusia 5 tahun bersama adiknya yang berusia 3 tahun. Orangtua mereka cukup ketat mengawasi tontonan televisi. Waktu itu si kakak dan adik berdua sama-sama sakit batuk. Karena rajin dan pintar minum obatnya, saat kontrol beberapa hari kemudian, sang adik sudah sembuh. Sementara si kakak yang sulit minta ampun minum obat masih saja batuk. Saya bilang ke si kakak, "Wah adik pintar ya minum obatnya. Hebat tuh adiknya!Mas juga harus pintar kayak adik dong." Tau jawabannya apa? "Terus? Gue musti koprol sambil bilang WOW gituuuh?"
Setelahnya saya baru tahu kalau si kakak meniru iklan di televisi. Walaupun ayah ibu sudah membatasi tayangan yang boleh ditonton, tapi iklan kan tidak bisa dikontrol bukan?:D
Saya memang sangat protektif terhadap Naya soal televisi. Saya masih engga rela kalau Naya menirukan goyang Caesar biarpun lagi beken sedunia, sambil menyanyikan lagunya yang berkonotasi negatif itu. Atau goyang itik. Atau goyang ngebor. Atau goyang gergaji. Atau goyang nyangkul *ada ga sih?:p*. Saya juga engga rela Naya menirukan lagu Cherrybelle atau gaya Chibi-chibi yang konon jadi idola anak-anak se-Indonesia. Coba didengarkan deh itu liriknya Cherrybelle. Suka-sukaan dan cinta-cintaan lho! Saya lebih engga rela lagi kalau Naya tetiba menyelipkan kata-kata semacam "Masbuloooh?" atau "Gue musti koprol sambil bilang WOW gituuuh?" atau apalah di percakapan kami. NO, thanks. Biarlah Naya dicap engga gaul daripada gaulnya "kebablasan"-menurut saya-.
Di rumah, kami hanya punya 2 pesawat televisi. Satu di kamar saya dan suami (Naya tidur di kamar lain) yang hanya menyala setelah Naya tidur. Satu lagi di kamar ART yang jauh dari jangkauan Naya. Saya yakin Naya tidak akan betah di kamar ART karena panas, sementara Naya anak kutub:p
Bagaimana dengan tv kabel?
Semenjak Naya berusia 19 bulan, saya mulai memperkenalkan tayangan televisi kabel padanya. Itu pun saya pilih sendiri. Pilihan saya jatuh pada si beruang Oso. Menurut saya ceritanya baik, dikemas menarik, dan yang paling penting, alurnya sederhana untuk dimengerti Naya. Saya temani Naya menonton televisi. Saya yakin, di umur segitu, Naya masih belum mengerti benar apa yang dia lihat atau bagaimana ceritanya. Disitulah peran saya. Saya dampingi Naya sambil ikut bercerita. "Nah itu Oso kak. Dia itu suka membantu. Yang cowok tadi namanya David. Dia engga bisa pakai sepatu sendiri. Mamanya pergi. Oso yang bantu. Caranya gampang. Pertama, buka tali sepatu. Kedua, masukkan kaki ke sepatu, yang ketiga, talinya disimpul. Warnanya apa tuh sepatunya?" dst dst dst.
Jadi, saya engga semata-mata "menitipkan" Naya pada televisi agar saya bisa mengerjakan hal lain. Saya menjadikan televisi sebagai salah satu sarana untuk menstimulasi Naya. Percaya engga, dari sekian banyak pasien speech delay alias terlambat bicara, hampir sebagian besar "dititipkan" pada televisi saat pengasuhnya mengerjakan sesuatu. "Biar anteng engga ngeganggu neneknya masak." atau "Biar engga ngacak-ngacak rumah", "Biar engga manjet-manjet, takut jatuh." Padahal, justru ngacak-ngacak rumah atau manjet-manjet itulah stimulasi terbaik tumbuh kembang anak, bukan anteng menonton televisi;)
Mungkin karena engga terbiasa, Naya engga begitu suka menonton televisi. Waktu 19 bulan itu, paling lama 10 menit Naya bisa bertahan di depan televisi. (Padahal rencana saya menjatah 30 menit lho!). Pernah juga ada periode dimana Naya enggan menonton televisi sama sekali. Seperti sekarang. Naya lebih suka membaca buku daripada menonton televisi.
Konsekuensinya buat saya pribadi nih, saya jadi engga gaul:p Engga mengerti gosip terbaru, engga tahu kata-kata gaul atau selebritis baru. Untunglah semua bisa dikompensasi berkat social media. Twitter, Path atau Facebook masih jadi "sumber berita" saya sampai sekarang:p Saya menonton televisi di malam hari, hanya mengikuti American's Next Top Model, How I Met Your Mother sama CSI. Semuanya diputar malam hari untungnya:p
Menurut saya, salah satu keputusan terbaik saya setelah menjadi orangtua adalah tidak memperkenalkan televisi pada Naya:)
1 comment:
Tapi sekarang tu ada pendapat mending tv drpda gadget. Tapi ya namanya screentime dok. Sy IRT 2 anak jarak dekt agak susah kalo tanpa tv. Iya udah ga ktgihan yutub, sh malah ktgihan tv. Padahal dari kuliah udah tau klo screen time gabagus, cuma kenyataannya di dunia nyata ga sgampang itu. Eh maap curhat
Post a Comment