“Lho,
kenapa? Kan sudah mama siapin”
“Jus
buahnya tumpah pas mau kakak minum.”
“Kok
bisa tumpah kak?”
“Iya
ditumpahin semut yang ada di kamar kakak.”
It doesn’t take a genius to know that my
baby is lying. Awalnya,
tentu saya kaget. Siapa yang mengajari Naya berbohong? Siapa yang dicontoh
Naya?
Lain
kesempatan, saya mencuri dengar obrolan Naya dengan seorang temannya. Sang
teman ini bercerita mengenai liburan sekolahnya yang dihabiskan berjalan-jalan
ke Dunia Fantasi.
“Oooh
Dunia Fantasi. Yayayaya, kakak Naya juga pernah tu ke sana. Enak banget ya di
sana.” Begitu tanggapan Naya.
Sekilas
tidak ada yang aneh pada pernyataan Naya tadi. Hanya saja, saya tahu persis
Naya tidak pernah ke Dunia Fantasi.
Saya
sering mendengar ungkapan bahwa anak kecil tidak pernah berbohong. Lalu, kenapa
Naya berbohong? Jujur saya sempat khawatir sekali, takut ada yang salah dengan
cara pengasuhan saya.
Sebetulnya,
berbohong adalah hal yang sangat manusiawi, pada anak-anak pun. Kapan kita
harus mulai khawatir? Kapan kita harus mulai mengintervensi? Jawabannya adalah
tergantung usia anak.
Di
usia seperti Naya atau pre-schooler, anak terkadang masih sulit untuk
membedakan mana kenyataan dan mana yang khayalan. Imajinasinya sangat kaya,
sehingga mereka suka sekali mengarang dan melebih-lebihkan suatu keadaan.
Mereka tidak berniat untuk berbohong sebenarnya, hanya karena kreativitas dan
imajinasi anak sedang berkembang pesat, maka bisa terkesan sedang berbohong.
Alasan
lain anak seusia Naya berbohong adalah ia sebenarnya berharap tidak melakukan
kesalahan karena takut mengecewakan kita. Saat Naya “mengarang” cerita semut
menjatuhkan gelas dan menumpahkan jus buahnya, sesungguhnya ia sedang berharap
bahwa memang bukan ia yang menumpahkan jus buah karena khawatir saya akan
kecewa padanya. Ia juga takut kalau saya marah saat mengetahui Naya menumpahkan
jus buah yang sudah saya siapkan.
Selain
itu, mencari perhatian pun adalah salah satu alasan kenapa anak berbohong. Naya
pernah bercerita pada saya kalau di sekolah, saat pelajaran olahraga, ia bisa
melompat setinggi pintu. Saya yang sedang asyik mengerjakan tugas lain langsung
menghentikan kegiatan dan memberikan perhatian penuh padanya karena ingin tahu
kenapa dia berbohong. Coba kalau Naya tidak cerita kalau lompatannya setinggi
pintu, mungkin saya masih sibuk mendengarkan ceritanya sambil makan, sambil
BBM-an atau kegiatan lain.
Jadi
apa yang harus dilakukan saat anak preschooler ini berbohong?
1. Stay cool
Ingat lagi, anak usia ini masih belum
bisa membedakan benar mana kenyataan dan mana imajinasi. Tapi tetap tenang
bukan berarti membiarkan anak untuk bebas mengarang cerita. Saya selalu
membimbing Naya untuk mengerti mana yang imajinasi dan mana yang kenyataan.
Jangan marah atau ngomel saat anak mengarang bebas. Dari pada dimarahi “Kamu
jangan berbohong ya! Mana mungkin semut bisa menjatuhkan gelas? Bilang saja
kamu yang jatuhkan.”, lebih baik ajak anak bicara baik-baik.
“Wah, semutnya pasti besar sekali ya kak
kok bisa sampai jatuh gelasnya? Memang kakak pernah lihat semut yang besar
sekali? Mama pernah. Tapi lihatnya di buku sama di televisi, karena itu engga
betulan kak. Jadi, yang betulan itu semut pasti kecil dan engga bisa jatuhkan
gelas kakak. Kalau kakak yang jatuhkan baru bisa. Tapi mama engga marah kok
kalau memang kakak yang jatuhkan. Pasti kakak engga sengaja kan?”
2. Cari tahu alasannya.
Cari tahu mengapa anak berbohong. Apakah
karena ia takut dimarahi? Apakah karena ia sebenarnya mengharapkan
kebohongannya jadi kenyataan? Atau sekadar mencari perhatian. Dengan mengetahui
alasan berbohong, kita bisa mencegah anak berbohong kembali di masa yang akan
datang. Misalnya, saat Naya berbohong menyalahkan semut yang menjatuhkan
gelasnya. Saya yakin Naya khawatir saya marahi. Karena itulah, setiap
mengetahui Naya melakukan kesalahan, saya tidak akan memasang tampang marah
terlebih dahulu.
3. Beri konsekuensi
Anak harus mulai diajari bahwa apapun
yang ia lakukan akan ada konsekuensinya, termasuk berbohong. Dengan mengetahui
ini, otomatis anak akan berpikir 2x saat muncul niat untuk berbohong.
Contohnya, masih soal semut dan gelas. Setelah Naya mengakui bahwa memang benar
ia yang tidak sengaja menjatuhkan gelas, saya memberikan konsekuensi padanya.
“Ya sudah, engga apa-apa kak, tapi karena kakak tadi bilang ke mama semut yang
menjatuhkan gelas, jus buahnya mama ganti besok ya, bukan sekarang. Seandainya
kakak dari tadi bilang kakak yang engga sengaja, mama ganti jusnya sekarang
deh.”
4. Jangan marah
Saat anak melakukan kesalahan dan berkata
jujur, jangan marahi anak. Beri pujian karena ia mau jujur mengakui
kesalahannya.
5. Beri contoh
Hal yang akan sangat diingat oleh anak
untuk dicontoh adalah perilaku orangtua. Biasakan untuk bersikap jujur
kapanpun. Anak masih belum mengerti benar konsep white lies, jadi pasti mereka
bingung kalau kita mengajarinya selalu jujur, tapi marah saat mereka “jujur” mengatakan
makanan buatan yangtinya tidak enak di depan yangti langsung. Daripada
mengajari mereka berbohong –walaupun white lie-, sebaiknya ajarkan bagaimana
mengungkapkan ketidaksukaan dalam bentuk yang halus. Misalnya daripada bilang
“Ih, engga enak banget ini nasi kuning buatannya Yangti!”, lebih baik bilang
“Maaf ya Yangti, kakak sebetulnya suka nasi kuning buatan Yangti, tapi yang ini
rasanya kok engga kayak biasanya ya”.
Yang terpenting, ingat, children see children do. Tidak mau anak berbohong? Ya jangan berbohong:D
1 comment:
wah, kl udh usia pre-school gitu ya mom?
lucu jg yah, berkat imajinasi jawabannya jd unik. hihi
salam kenal mom... *baru buka tum blogger :D
_bundaRizma_
Post a Comment