Monday, November 10, 2014

Saat Anak Berbohong

“Mama, kakak tadi engga minum jus buah. ”
“Lho, kenapa? Kan sudah mama siapin”
“Jus buahnya tumpah pas mau kakak minum.”
“Kok bisa tumpah kak?”
“Iya ditumpahin semut yang ada di kamar kakak.”

It doesn’t take a genius to know that my baby is lying. Awalnya, tentu saya kaget. Siapa yang mengajari Naya berbohong? Siapa yang dicontoh Naya?

Lain kesempatan, saya mencuri dengar obrolan Naya dengan seorang temannya. Sang teman ini bercerita mengenai liburan sekolahnya yang dihabiskan berjalan-jalan ke Dunia Fantasi.

“Oooh Dunia Fantasi. Yayayaya, kakak Naya juga pernah tu ke sana. Enak banget ya di sana.” Begitu tanggapan Naya.

Sekilas tidak ada yang aneh pada pernyataan Naya tadi. Hanya saja, saya tahu persis Naya tidak pernah ke Dunia Fantasi.

Saya sering mendengar ungkapan bahwa anak kecil tidak pernah berbohong. Lalu, kenapa Naya berbohong? Jujur saya sempat khawatir sekali, takut ada yang salah dengan cara pengasuhan saya.

Sebetulnya, berbohong adalah hal yang sangat manusiawi, pada anak-anak pun. Kapan kita harus mulai khawatir? Kapan kita harus mulai mengintervensi? Jawabannya adalah tergantung usia anak.

Di usia seperti Naya atau pre-schooler, anak terkadang masih sulit untuk membedakan mana kenyataan dan mana yang khayalan. Imajinasinya sangat kaya, sehingga mereka suka sekali mengarang dan melebih-lebihkan suatu keadaan. Mereka tidak berniat untuk berbohong sebenarnya, hanya karena kreativitas dan imajinasi anak sedang berkembang pesat, maka bisa terkesan sedang berbohong.

Alasan lain anak seusia Naya berbohong adalah ia sebenarnya berharap tidak melakukan kesalahan karena takut mengecewakan kita. Saat Naya “mengarang” cerita semut menjatuhkan gelas dan menumpahkan jus buahnya, sesungguhnya ia sedang berharap bahwa memang bukan ia yang menumpahkan jus buah karena khawatir saya akan kecewa padanya. Ia juga takut kalau saya marah saat mengetahui Naya menumpahkan jus buah yang sudah saya siapkan.

Selain itu, mencari perhatian pun adalah salah satu alasan kenapa anak berbohong. Naya pernah bercerita pada saya kalau di sekolah, saat pelajaran olahraga, ia bisa melompat setinggi pintu. Saya yang sedang asyik mengerjakan tugas lain langsung menghentikan kegiatan dan memberikan perhatian penuh padanya karena ingin tahu kenapa dia berbohong. Coba kalau Naya tidak cerita kalau lompatannya setinggi pintu, mungkin saya masih sibuk mendengarkan ceritanya sambil makan, sambil BBM-an atau kegiatan lain.

Jadi apa yang harus dilakukan saat anak preschooler ini berbohong?

1.     Stay cool
Ingat lagi, anak usia ini masih belum bisa membedakan benar mana kenyataan dan mana imajinasi. Tapi tetap tenang bukan berarti membiarkan anak untuk bebas mengarang cerita. Saya selalu membimbing Naya untuk mengerti mana yang imajinasi dan mana yang kenyataan. Jangan marah atau ngomel saat anak mengarang bebas. Dari pada dimarahi “Kamu jangan berbohong ya! Mana mungkin semut bisa menjatuhkan gelas? Bilang saja kamu yang jatuhkan.”, lebih baik ajak anak bicara baik-baik.

“Wah, semutnya pasti besar sekali ya kak kok bisa sampai jatuh gelasnya? Memang kakak pernah lihat semut yang besar sekali? Mama pernah. Tapi lihatnya di buku sama di televisi, karena itu engga betulan kak. Jadi, yang betulan itu semut pasti kecil dan engga bisa jatuhkan gelas kakak. Kalau kakak yang jatuhkan baru bisa. Tapi mama engga marah kok kalau memang kakak yang jatuhkan. Pasti kakak engga sengaja kan?”

2.     Cari tahu alasannya.
Cari tahu mengapa anak berbohong. Apakah karena ia takut dimarahi? Apakah karena ia sebenarnya mengharapkan kebohongannya jadi kenyataan? Atau sekadar mencari perhatian. Dengan mengetahui alasan berbohong, kita bisa mencegah anak berbohong kembali di masa yang akan datang. Misalnya, saat Naya berbohong menyalahkan semut yang menjatuhkan gelasnya. Saya yakin Naya khawatir saya marahi. Karena itulah, setiap mengetahui Naya melakukan kesalahan, saya tidak akan memasang tampang marah terlebih dahulu.

3.     Beri konsekuensi
Anak harus mulai diajari bahwa apapun yang ia lakukan akan ada konsekuensinya, termasuk berbohong. Dengan mengetahui ini, otomatis anak akan berpikir 2x saat muncul niat untuk berbohong. Contohnya, masih soal semut dan gelas. Setelah Naya mengakui bahwa memang benar ia yang tidak sengaja menjatuhkan gelas, saya memberikan konsekuensi padanya. “Ya sudah, engga apa-apa kak, tapi karena kakak tadi bilang ke mama semut yang menjatuhkan gelas, jus buahnya mama ganti besok ya, bukan sekarang. Seandainya kakak dari tadi bilang kakak yang engga sengaja, mama ganti jusnya sekarang deh.”

4.     Jangan marah
Saat anak melakukan kesalahan dan berkata jujur, jangan marahi anak. Beri pujian karena ia mau jujur mengakui kesalahannya.

5.     Beri contoh
Hal yang akan sangat diingat oleh anak untuk dicontoh adalah perilaku orangtua. Biasakan untuk bersikap jujur kapanpun. Anak masih belum mengerti benar konsep white lies, jadi pasti mereka bingung kalau kita mengajarinya selalu jujur, tapi marah saat mereka “jujur” mengatakan makanan buatan yangtinya tidak enak di depan yangti langsung. Daripada mengajari mereka berbohong –walaupun white lie-, sebaiknya ajarkan bagaimana mengungkapkan ketidaksukaan dalam bentuk yang halus. Misalnya daripada bilang “Ih, engga enak banget ini nasi kuning buatannya Yangti!”, lebih baik bilang “Maaf ya Yangti, kakak sebetulnya suka nasi kuning buatan Yangti, tapi yang ini rasanya kok engga kayak biasanya ya”.

Yang terpenting, ingat, children see children do. Tidak mau anak berbohong? Ya jangan berbohong:D

1 comment:

bunda rizmahanum said...

wah, kl udh usia pre-school gitu ya mom?
lucu jg yah, berkat imajinasi jawabannya jd unik. hihi
salam kenal mom... *baru buka tum blogger :D

_bundaRizma_

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...