Thursday, October 23, 2014

How to Say No?

Coba diingat, berapa kali kita bilang jangan pada anak setiap harinya? Untuk orangtua yang punya anak seumur Naya, saya yakin banyaaaak sekali. Jangan naik lemari, jangan lompat-lompat di tempat tidur, jangan pegang air panas, jangan masuk lemari, makanan jangan dimainkan, dan seribu jangan lainnya. Sebagai toddler, anak seusia Naya memang sedang aktif-aktifnya mengeksplorasi lingkungan sekitar. Hanya saja, seringkali larangan yang kita sampaikan justru seperti suruhan untuk anak. Semakin dilarang, malah justru semakin dilakukan.

Saya ingat betul, setiap melarang Naya melakukan sesuatu, Naya justru malah tambah semangat melakukan apa yang saya larang. Benar-benar menguji kesabaran menguras emosi deh:p

Anyway, hal ini ternyata normal sekali lho! Negativisme yang sering ditemui pada anak usia toddler adalah kecenderungan untuk menolak perintah, larangan atau nasehat orang lain dengan cara melakukan kebalikannya. Negativisme ini penting sebagai salah satu masa perkembangan anak, terutama dalam hal kemandirian. Di masa ini, toddler ingin memperlihatkan bahwa mereka bisa melakukan sesuatu, tanpa campur tangan orangtuanya.

Selain itu, berulang kali mengucapkan kata jangan pada anak akan mengurangi nilainya. Karena terlalu sering mendengar kata jangan, anak jadi tidak bereaksi saat kita larang melakukan sesuatu.

Karena itulah, saya selalu berusaha untuk tidak mengatakan jangan pada Naya. Bukan berarti saya tidak punya larangan lho, hanya saja saya mengungkapkan larangan atau aturan saya bukan dengan kalimat yang menggunakan kata jangan.

Misalnya, saat Naya tidak mau tidur dan malah lompat-lompat di atas tempat tidur, daripada mengatakan “Kakak, jangan lompat-lompat di tempat tidur!”, saya memilih mengucapkan “Kak, tempat tidur kan gunanya buat tidur ya. Kira-kira benar engga kalau dipakai lompat-lompat?”. Sewaktu Naya menangis meminta es krim yang kesekian kalinya, daripada bilang “Jangan makan es krim banyak-banyak ah!”, saya memilih mengatakan “Kakak sudah makan cukup es krim kan tadi. Sekarang boleh pilih deh yang lainnya, puding atau buah?”
Demikian pula ketika Naya justru sibuk memainkan mie goreng dan bukannya memakan mie tadi, daripada mengatakan “Kak, jangan dimainkan mienya. Ayo dimakan!”, saya lebih memilih “Kakak, kalau dimainkan terus nanti makannya engga selesai-selesai. Kalau makannya engga selesai, kakak engga bisa ikut mama pergi lho nanti.”

Ajaib lho, dengan menerapkan “aturan” seperti ini, Naya bisa jadi lebih menurut dan tidak menguji kesabaran saya lagi hehe.

Menurut saya, pada intinya untuk menghadapi negativisme pada anak ini, berikan anak keputusan untuk menilai sendiri apakah perbuatan yang akan atau sedang dilakukannya. Jangan lupa untuk memberikan pujian ketika anak berhasil mengikuti aturan yang ditetapkan.

Yang terakhir, setiap dilanda emosi jiwa, ingatlah bahwa periode ini sangat penting untuk perkembangan kepribadian anak. Tarik napas panjang, sabar dan senyum:)

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...