Thursday, January 3, 2013

Resolusi 2013

Again, tulisan  ini merupakan tulisan yang saya buat untuk Ayahbunda, bisa dilihat disini ya linknya.
Silakan berkunjung kesana untuk membaca tulisan-tulisan saya yang lain:)

*

Coba tebak, apa yang identik dengan tahun baru selain perayaan meriah dan keriaan berterompet dimana-mana?

Yes, benar sekali, resolusi tahun baru!Entah siapa yang duluan memulai 'tradisi' ini, tapi selama yang saya ingat rasanya hampir semua orang mempunyai list pencapaiannya setiap tahun. Bisa terdokumentasi dengan baik atau hanya tersimpan dalam ingatan.

Ada yang ingin melepas status lajang, ada yang ingin lebih langsing #uhuk, ada yang ingin lebih rajin membaca buku,  pindah tempat kerja yang lebih baik, mendapat promosi, pindah ke kota lain, dsb dsb.

Saya sendiri hanya punya satu resolusi untuk tahun 2013 kelak.  Berhenti men-judge orang(tua) lain. 

Dengan begitu banyaknya 'peraturan' dalam menjadi orangtua seperti pro ASI, pro RUM, pro Homemade MPASI, pro popok kain, dan entah pro apa lagi, saya menyadari banyak orangtua saat ini yang merasa 'lebih baik' dibandingkan mereka yang tidak mengikuti peraturan tersebut.

Ayo ngaku deh, berapa kali pernah membaca twit dari seseorang me-mention account parenting tertentu yang bunyinya mengadu seperti ini:

"Duh min, masa tetanggaku anaknya dikasih makan biskuit sama bubur instan coba min. Asli engga mau repot deh itu orangtuanya."

"Sedih banget min,  anaknya sahabatku begitu lahir langsung dikasih sufor lho"

Atau
"Masa min, dari lahir langsung dipakein dispo. Kasian banget ya min."

Sering?

Jujur, saya sendiri pernah beberapa kali men-judge orangtua lain.

Waktu itu, saya kedatangan pasien berusia 4 bulan yang terkena diare kronis. Ibunya sudah berganti susu formula bolak-balik, mulai dari yang termurah sampai yang termahal. Ketika saya bujuk untuk menyusui dengan mengikuti program relaktasi, sang ibu menghindar terus. Saya sempat membatin "Duh, ibu ini kok gitu amat ya, nggak mau menyusui, ngga mau repot, ngga mau "berkorban" sedikit buat anaknya." Sampai akhirnya sang ibu mengakui kalau suaminya baru saja meninggal dunia karena AIDS.

Saya tercekat dan merasa bersalah sekali pada sang ibu karena sudah berpikir yang tidak-tidak.

Ada lagi kisah lain saat seorang anak berusia 7 tahun datang karena terlambat bicara. Jelas saya kaget karena merasa aneh kedatangan pasien dengan keluhan terlambat bicara berusia 7 tahun. Lah? Kok baru datang sekarang? Ketika saya tanyakan pada ibu dan neneknya yang mengantar,  mereka mengaku sudah menyadari anak ini belum bisa bicara sejak umur 2 tahun. Tapi saat saya tanya kenapa tidak dibawa segera, tidak ada satu pun jawaban yang keluar dari mereka, Saya sempat membatin, "Ya ampun, kemarin-kemarin kemana saja bu? Hari gini baru datang? 7 tahun? Terlambat sekali. Engga care banget sih!"

Pikiran saya itu hilang sesaat setelahnya, saya melihat ibu dan nenek tadi menangis di depan pintu dan bilang :

"Maaf ya dok, ngapunten sanget. Tadi saya ke loket untuk bayar biaya administrasi. Saya kaget karena mahal sekali. Saya engga punya uang segitu banyak dok. Sejak tahu cucu saya telat bicara, saya sudah nabung untuk biaya ke dokter. Cuma selalu terpakai karena adaaaaa saja dok. Yang sakit batuk pilek, uangnya terpakai beli obat. Yang harus bayar hutang, beli beras, dll. Hari ini, tabungan saya baru terkumpul dok. Saya hitung-hitung, biaya angkot pulang pergi untuk kami bertiga Rp. 21.000, harus ganti angkot 2 kali, kurang lebih habis Rp.50.000 sudah dengan ojek. Saya pikir biaya disini sekitar Rp. 25.000. Saya cuma punya uang Rp. 75.000 dok."

Saya merasa sangat tersentuh dan lagi-lagi merasa bersalah kepada keluarga pasien tadi. Betapa "jahatnya" saya sudah berpikiran bahwa ibu dan neneknya ngga peduli sama sekali.

Sejak kejadian-kejadian tadi, sebelum men-judge orang lain dan berpikiran yang tidak-tidak, saya menempatkan diri sendiri dalam posisi mereka dulu. I try to be in their shoes first. Kalau saya jadi mereka, kira-kira apa akan yang saya lakukan? Salahkah yang mereka lakukan itu? Terus kira-kira nih, kalau ada tetangga atau orang lain sibuk 'mengadukan' kita ke account twit tertentu tanpa tahu dan ngga mau tahu alasan kita melakukan itu, gimana sih perasaan kita?:)

Pernah ngga kepikiran kalau mungkin aja ternyata anak-tetangga-sebelah-yang-engga-pernah-dikasih-ASI itu ibunya HIV positif dan emang engga boleh nyusuin? Terus ibunya musti koar-koar gitu kalau dia terinfeksi HIV? Pernah ngga kepikiran kalau mungkin aja ternyata anak-tetangga-yang-minum-obat-terus itu memang punya penyakit kronis yang membutuhkan obat terus dan bukan berarti tidak pro RUM?

Saya percaya, tidak ada orangtua waras di dunia ini yang berkeinginan untuk mencelakakan atau membuat anaknya sakit. Saya yakin, semua orangtua ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya, dengan cara apapun, semampunya.. Saya yakin, semua orangtua menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Lagipula, men-judge cara pengasuhan orangtua lain tidak menjadikan kita orangtua yang lebih baik bukan?:D

Nah, itu tadi resolusi saya. Doakan tercapai yaa!

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...