Salah satu pertanyaan yang sering saya dapat terkait dengan buku saya adalah "Kenapa sih Met? Kok susah-susah bikin buku? Memangnya lebih menguntungkan dibanding praktek ya? Atau biar terkenal aja?"
Selama menjadi dokter spesialis anak, banyak pengalaman saya
yang menarik dan unik terkait pengasuhan anak oleh orangtua.
Sumber: Google |
Saya seringkali mendapat pertanyaan dari orangtua yang
kebingungan dan khawatir. Masih ada yang percaya kalau ibu menyusui minum es,
maka bayinya akan batuk pilek. Atau panik luar biasa saat ASInya terkena wajah
bayi karena ketakutan wajah bayi akan kemerahan. Ada yang sampai percaya kalau
genital bayi terkena tetesan ASI bisa mandul lho!
Mitos lain yang sering kali ditanyakan orangtua adalah suara
napas grok-grok pada bayi yang konon katanya karena saat lahir tertelan ketuban
dan tidak dibersihkan dengan baik (Padahal tidak ada hubungannya). Lalu bayi
harus dipakaikan gurita agar perut tidak buncit, dan dibedong erat agar kaki tidak
bengkok.
Yang juga sering
terjadi, ada orangtua yang membawa anaknya ke dokter karena panas/demam yang
tak kunjung turun walaupun telah diberikan obat penurun panas berhari-hari.
Setelah ditanya berapa suhunya, orangtua hanya bilang terasa panas jika diraba
oleh tangan. Waktu diukur dengan thermometer, ternyata suhunya normal.
Bayangkan deh, bayi tadi berhari-hari diminumkan obat yang tidak tepat
indikasi.
Saya ingat sewaktu masih menjalani pendidikan dokter
spesialis anak di pedalaman NTT tahun 2014,
ada beberapa bayi yang dibawa ke rumah sakit dalam keadaan dehidrasi
berat, bau asap, sesak napas bahkan sampai terkena luka bakar di bagian
belakang tubuhnya. Ternyata, di sana ada budaya “memanggang” bayi baru lahir.
Bayi baru lahir ditempatkan di dalam ruangan yang dipenuhi asap hasil dari kayu
yang dibakar. Konon, selain menjaga kehangatan, ini juga dilakukan untuk
mengusir roh jahat.
Kagetnya, karena di jaman sekarang yang sudah serba modern,
ternyata masih ada saja lho yang menjalani ritual seperti ini. Karena sudah
menjadi kebudayaan, agak sulit juga untuk mengubah pola pikir orangtuanya.
Namun saya mendapat banyak bantuan dari tenaga kesehatan setempat yang tak
lelah membantu mengedukasi.
Di pedalaman pula saya seringkali mendapati bayi sudah diberi
makan saat masih berusia 7 hari. Katanya supaya tidak menangis terus karena
kelaparan. Padahal tentu saja saluran cerna bayi belum siap. Menangis pun belum
tentu artinya bayi kelaparan ya, menangis memang adalah satu-satunya cara bayi
berkomunikasi dengan kita.
Banyak juga orangtua yang salah kaprah. Apapun sakitnya,
mintanya antibiotik. Alasannya: “supaya cepat sembuh, dok.” Tentu ini point of
view yang harus dikoreksi. Cukup sulit mengedukasinya, karena kita harus
memastikan orangtua betul-betul mengerti.
Atau, apapun sakitnya, minta diinfus. Bahkan pada kasus yang
sebetulnya tidak membutuhkan infus, karena keyakinan orangtua bahwa jika
diinfus, langsung sembuh.
Lain di pedalaman, lain di kota. Saya sering sekali
mendapati orangtua pasien yang mengatakan mereka pro RUM (Rational Use of
Medicine) dan tidak ingin anaknya diberi antibiotika. Menurut saya, ini
terkadang kebablasan. Jika ada indikasinya, antibiotika penting untuk
diberikan. RUM bukan berarti sama dengan anti antibiotika.
Selain itu juga, karena di internet sekarang banyak sekali
artikel mengenai pengobatan di rumah, tak jarang orangtua bertahan dulu dengan
pengobatan di rumah sebelum ke dokter. Namun sayangnya, ada beberapa kasus yang
justru akhirnya terlambat dibawa ke dokter dan membahayakan kesehatan bayi.
Banyak juga yang menolak bayinya diinfus saat ada indikasi,
karena tidak tega misalnya. Ini sebetulnya tantangan tersendiri, apalagi tak
jarang orangtua yang di kota ini datang dengan membawa print out artikel hasil
google mereka. “Nih dok, di internet katanya begini. Katanya begitu.”
Mungkin karena di era seperti sekarang mencari informasi
sungguh sangat mudah. Tinggal klik, langsung keluar segala informasi berkaitan.
Tapi perlu diingat bahwa tidak semua informasi yang ada di internet adalah
benar. Apalagi yang bersumber dari blog atau hanya share-an postingan seseorang yang beredar di social media. Saya terkadang tertawa-tertawa sendiri setiap melihat postingan "ajaib" tentang kesehatan anak yang beredar viral di social media.
Sebut saja, ada yang menggosokkan teh pekat ke tubuh bayi agar "duri" keluar sehingga bayi tidak rewel, ada lagi yang heboh karena ada bayi baru lahir bisa berjalan! Dan masih banyak lagi yang lainnya:))
Sebetulnya, itulah yang melatarbelakangi saya menulis
buku-buku saya terutama Mommyclopedia. Saya menggabungkan banyak pertanyaan yang sering ditanyakan
orangtua terkait pengasuhan bayi baru lahir-1 tahun. Ditulis dengan ringan,
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, full ilustrasi agar gampang dipahami
dan praktis, saya berharap orangtua dapat menjadi lebih bijaksana. Tahu kapan
harus khawatir, tahu kapan bisa dirawat di rumah, tahu kapan harus dibawa ke
rumah sakit. Tahu mana yang mitos mana yang bukan, tahu mana yang normal mana
yang tidak.
Salah satu kewajiban dokter selain mengobati juga adalah mengedukasi dan mencegah. Inilah yang ingin saya lakukan lewat buku-buku saya. Kalau mengedukasi orangtua pasien saat praktik, berapa orang sih dalam sehari yang bisa saya edukasi? Kalau lewat buku, harapannya semakin banyak yang bisa tercerahkan;) Sebentar lagi (setelah Idul Fitri sih yang pasti), buku Mommyclopedia seri 1-3 tahun akan dirilis. Saya berharap semoga dapat membantu lebih banyak orangtua dalam pengasuhan anaknya yaa:D
Jadi, yess, jawaban pertanyaan di atas tentu bukan karena material. Bukan juga karena ingin terkenal atau apalah apalah. Saya mengingat awal-awal merawat Naya yang penuh kepanikan (padahal waktu itu saya sedang berstatus sebagai residen dokter anak:p), kebingungan dan kegalauan. Baca ini begitu, kata itu begitu. Yang benar yang mana?
Semoga harapan saya dapat tercapai yaa:D
PS: Ada yang punya ide, seri apa lagi yaa yang selanjutnya dari Mommyclopedia? Masukan apapun juga boleh banget lhoo! Email saya yaa;)
No comments:
Post a Comment