Friday, January 6, 2017

Bijak Di Dunia Maya

Tak bisa dipungkiri, di jaman sekarang, social media sangat mempermudah hidup kita. Mau beli makanan, tapi malas ke luar? Ada aplikasinya. Mau potong rambut atau creambath atau pijat tapi enggan ke luar rumah? Ada aplikasinya. Rumah berantakan, tak ada ART, tapi malas bebersih sendiri? Tinggal tekan smartphone, beres! Mau pergi tapi tak ada kendaraan? Tinggal pilih mau naik apa lewat aplikasi.
Sumber: Google

Di akun social media, saya sering kali mendapat pertanyaan dari orang lain. Macam-macam sih jenis pertanyaannya, tapi tahu tidak jenis pertanyaan apa yang seringkali membuat saya sedih setiap menerimanya?


Bukaaan, bukan menanyakan soal berat badan atau umur kok #enggasensi LOL! Yang benar adalah pertanyaan seperti:

"Dok, anak saya sudah batuk 7 hari. Obatnya apa ya?"
"Maaf dok, saya baru lahiran bayi nih. Sejak usia 2 hari kok panas sampai 39 derajat. Ini sakit apa?"
"Dok, mohon konsul ya. Anak saya diare sudah 3 bulan ini. Kira-kira kenapa ya?"
"Dok tolong dijawab ya, anak saya usia 4 hari, sudah dari kemarin panas tinggi hampir 40 derajat. Muntah-muntah pula setiap disusui. Harus dikasih obat apa dok?"

Ah lebay amat nih si Meta. Begitu doang pakai sedih. Obat bebas kan banyak di pasaran. Wong antibiotik yang katanya harus resep dokter aja bisa beli langsung kok. Bilang aja takut prakteknya sepi jadi ga dapet duit:p

Serius deh, saya sama sekali tak pernah terpikir seperti ini. Lalu kenapa sedih segala? Saya ceritakan satu kasus saja ya.  Misalnya nih, ada seorang ibu bertanya pada dokter di social media. "Dok, bolehkah ibuprofen (sebut merk: Pr*ris) diberikan pada anak yang demam?" yang dijawab boleh oleh dokter. Apa salah? Ya tidak sih, karena ibuprofen memang dapat juga menurunkan demam pada anak. Tapi, yang tidak diketahui ibu (karena tidak memeriksakan langsung ke dokter) ternyata demam anaknya ini dikarenakan penyakit dengue atau demam berdarah. FYI, pada pasien demam berdarah, pemberian ibuprofen ini dapat meningkatkan risiko perdarahan.

Saat anak tersebut pada akhirnya menderita perdarahan, kira-kira siapa yang salah? Dokternya? Atau ibunya? Atau Hayati? Hayati memang selalu salah baaaang:D

Cerita lainnya nih. Ada seorang ibu yang berkonsultasi di dunia maya tanpa pernah bertemu tatap muka dengan dokternya. Ibu ini menanyakan anaknya yang berusia 10 bulan, selalu diare sejak 3 bulan ini (PS: pertanyaan saya pertama: kenapa sudah diare 3 bulan belum dibawa juga ke dokter ya?). Dokter via social media menanyakan apa yang terjadi 3 bulan yang lalu? Lalu sang ibu bilang kebetulan bertepatan dengan mengganti susu formula yang diminum. Dengan mendapat info sesingkat itu, dokter langsung mendiagnosis anak tersebut alergi dan meminta ibu mengganti susunya dengan susu lain.

Sang ibu mengikuti "advis" dokter tersebut namun walaupun susu sudah diganti, anaknya tetap tidak membaik. Akhirnya, ibu tadi membawa anak tersebut saat berusia hampir setahun dengan kondisi sudah sangat gizi buruk (karena diare berkepanjangan) ke dokter yang dapat memeriksanya secara langsung.

Dari hasil keterangan ibu, pemeriksaan fisik dan laboratorium, keluarlah diagnosis bahwa anak ini ternyata terkena infeksi HIV. Jauh banget ya dari alergi? Yang ibunya sadari selama ini hanyalah keluhan diare. Padahal, setelah ditanya dengan rinci oleh dokter, anak ini seringkali sakit (ibu tidak ngeh kalau ini tidak wajar), lalu saat diperiksa dokter, anak ini juga menderita luka di mulut dan pembesaran kelenjar (tidak akan terlihat kalau tidak diperiksa) yang membuat dokter curiga kemudian meminta beberapa pemeriksaan tambahan. Hasilnya semua mendukung kecurigaan dokter tadi.  Lalu bagaimana? Apakah dokter tadi bisa disalahkan? Atau ibunya yang harus disalahkan?
Bisakah dokter tadi dituntut sebagai malpraktik?

Demikian pula jika ada yang menanyakan komentar saya sebagai dokter karena (misalnya nih) anaknya baru dirawat oleh dokter dan orangtua menanyakan pada saya apakah sudah benar obat yang diberikan? Bahaya atau tidak penyakitnya dll. Lah, saya jelas tidak akan memberikan komentar apapun karena saya TIDAK MEMERIKSA sendiri pasien tersebut. Bukan kewenangan saya dong ya:)

Itulah mengapa etika kedokteran memastikan dokter tidak diperbolehkan mendiagnosis atau memberikan terapi tanpa tatap muka. Konsultasi online atau di media cetak boleh-boleh saja. Saya juga narasumber di rubrik konsultasi beberapa media online dan cetak. Namun, biasanya saya jawab dengan segala kemungkinan dan tetap meminta penanya untuk berkonsultasi dengan dokter langsung. Saya juga tidak pernah memberikan obat hanya berdasar konsultasi dunia maya.

Lalu kenapa sedih segala? Saya sedih mengetahui banyak masyarakat kita yang entah karena alasan apa, apalagi pada kondisi darurat atau emergency, lebih memilih bertanya pada dokter di social media daripada datang ke UGD atau dokter terdekat. Sebegitu tidak nyamannyakah datang berkonsultasi langsung dengan dokter? Atau alasan lain?

Patut diingat, bahwa walaupun sekolahnya minta-ampun-lama-bukan-main, dokter bukan dukun yang dapat memperkirakan apa penyakit seseorang dari jarak jauh (Kalau ada sekolah yang bikin saya bisa begini, boleh deh daftar:p).

Kenapa baru sekarang membuat tulisan seperti ini padahal era socmed sudah berlangsung lama? Karena sekian tahun saya menjadi dokter dan sering kali menerima pertanyaan serta menjawab konsultasi, baru hari ini lho saya dicap "pelit ilmu" oleh seseorang di dunia maya yang tak saya kenal hanya karena tidak mau memberikan obat lewat errr....Facebook! Huhuhu, sedih deh. Tapi tak masalah, daripada malpraktik dan akhirnya merugikan yang konsultasi juga? Ya kan? InsyaAllah niat saya baik. Innamal a'malu binniyat. 

Saya berharap dengan tulisan ini, semua jadi tahu yaa bagaimana etika dalam berkonsultasi dengan dokter di dunia maya. Kalau menemukan dokter yang ditanya tak memberikan diagnosis pasti atau obat, harap dimaklumi karena memang begitulah seharusnya:)

2 comments:

Mama Aqilla said...

TFS Mba dan salam kenal:-).

Pencerahan sekali postingannya, saya pun meminta name card dokter anak saya tetapi tiap kali anak sakit udh ngedraft mau tanya baiknya dikasih apa atau ini kenapa ya, ga kepencet-pencet send :D, rasanya ga afdol gitu, akhirnya kami selalu cuss menemui Belio dan kadang mau bertutur sapa via tulisan takut ada yg salah. In case urgent bgt mungkin akan ambil opsi wa/smsan.

Meta Hanindita said...

Betul mbak, lebih baik memang datang langsung hehe

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...