Sunday, October 9, 2016

Vaksin VS Autisme

Entah sudah berapa (puluh) kalinya saya mendapat pesan dari teman di whatsapp, meminta klarifikasi atau konfirmasi benar tidaknya pesan berantai yang beredar dari grup ke grup. 
Diambil dari Google

Bukaaan, bukan mengenai kabar atau gosip terbaru tentang saya *kibas rambut* #apeuu :)) Tapi, mengenai vaksin yang mengandung thimerosal dan hubungannya dengan autis. 

Awal mulanya, pesan berantai tersebut ditulis oleh seorang ibu yang memiliki anak dengan Autism Spectrum Disorder. Ibu ini baru saja membaca buku tulisan dari Jaquelyn McCandless, Children With Starving Brains yang mengatakan bahwa thimerosal dalam vaksin sebagai penyebab autisme pada anak. 

Sebetulnya, Jaquelyn ini bukan orang pertama yang menyebarkan wacana serupa. Beberapa tahun silam saat saya masih remaja belia #halah, ada seorang dokter peneliti bernama Andrew Wakefield yang mempublikasi penelitian mengenai vaksin MMR terbukti menimbulkan autis. Masih ingat? Walaupun saat itu masih ABG dan belum mempunyai anak, saya ingat betul kehebohan berita tersebut. Bahkan, beberapa kalangan anti vaksin di Indonesia sampai saat ini masih merujuk ke penelitian beliau. Padahal, sudah sejak lama pula penelitian tersebut dicabut karena ditemukan berbagai penipuan dan pemalsuan data, dan yang bersangkutan sudah dicabut ijin praktiknya sebagai dokter.

Kembali ke kasus pesan berantai tadi ya.
 
Sebetulnya apa sih mercury? Apa itu Thimerosal?

Mercury adalah unsur alami yang dapat ditemukan di bumi ini. Ada 2 macam zat mercury yang dapat terekspos pada manusia, ethylmercury dan methylmercury. Dua zat ini berbeda sekali.

Methylmercury biasanya terdapat pada ikan, dan dalam jumlah yang besar dapat menimbulkan efek toksik pada manusia. Sementara itu, ethylmercury (yang terkandung di thimerosal) dikeluarkan dari tubuh sangat cepat sehingga tidak berbahaya. Saat thimerosal masuk tubuh manusia, langsung terpecah menjadi ethylmercury dan thiosalicylate. Karena cepat dikeluarkan dari tubuh, dosisnya tidak akan sempat mencapai dosis membahayakan. 

Thimerosal ditambahkan pada beberapa vaksin untuk menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur. Kontaminasi bakteri atau jamur pada vaksin dapat sangat membahayakan. 

Data berbagai penelitian (bisa diklik ya untuk melihat versi online penelitiannya) dari IOM (Institute of Medicine)  2011, IOM 2004CDC 2013, dan beberapa penelitian ilmiah yang dilakukan CDC sejak 2003, menunjukkan tidak ada efek membahayakan dari penggunaan thimerosal dalam vaksin. Efek samping yang mungkin bisa terjadi adalah kemerahan atau bengkak pada daerah penyuntikan. 

Penelitian pun membuktikan tidak ada hubungan antara vaksin dengan autisme. Bahkan waktu thimerosal tidak lagi ditambahkan dalam vaksin, angka kejadian autisme tetap meningkat. 

Memang betul, antara tahun 1999-2001, di Amerika, thimerosal dikurangi dosisnya atau bahkan dihilangkan sama sekali dari kandungan vaksin. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi eksposure mercury pada anak karena saat itu Food and Drug Administration (FDA) diatur oleh hukum setempat untuk menghilangkan kandungan mercury pada semua produk untuk tindakan pencegahan, bukan hanya vaksin. Pada saat itu pula, belum ada penelitian yang membuktikan bahwa ternyata thimerosal dalam vaksin TIDAK berbahaya. 

Penelitian lain terkait dengan vaksin dan autisme dapat dibaca di sini ya:

(Sebetulnya masih banyak lagi yang lain, tapi yang saya sertakan di blog ini dulu yaa)

Lalu apakah di Indonesia ada juga vaksin yang mengandung thimerosal ini?
Berdasarkan official website dari Biofarma, memang masih ada vaksin yang mengandung thimerosal, tapi WHO sendiri menggarisbawahi pentingnya melanjutkan pemakaian vaksin yang tersedia saat ini walaupun WHO juga mendukung pernyataan AAP untuk rencana menghilangkan thimerosal dari vaksin. WHO juga merekomendasikan pemberian vaksin dengan pengawet seperti DPT, TT atau DT yang sudah dipakai aman di seluruh dunia selama lebih dari 60 tahun.
 
Menurut saya pribadi, sangatlah tidak bijak "menyalahkan" vaksin untuk autisme. Perlu diingat, berapa juta anak di dunia yang menerima vaksin. Tapi tidak semua anak tersebut menderita autisme. Sementara itu, berapa juta anak di dunia yang tidak menerima vaksin, dan harus menderita berbagai penyakit yang sebenarnya dapat dicegah dengan vaksin. 

Semua orang dapat membuat buku. Apalagi jaman sekarang, modal tulisan dan percetakan, jadi deh. Tapi, apa yang berada di dalam buku belum tentu dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Suatu penelitian ilmiah dapat menjadi rekomendasi itu tidaklah mudah. Banyak tahapannya. Ampun deh, saya membuat penelitian satu saja susahnya setengah mati (kemudian curcol). 

Kalau dalam bidang ilmiah, buku atau blog adalah pendapat pribadi seseorang (walau orang tersebut profesor sekalipun) yang merupakan rekomendasi 5 atau terburuk. Karena itu tidak seyogyanya dijadikan landasan dalam mengambil keputusan. Yang terbaik atau rekomendasi 1A adalah penelitian systematic review.
 
Semoga tulisan saya sore ini tidak membuat galau lagi para orang tua ya!

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...