Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cengeng artinya 1. mudah menangis;suka menangis; 2. mudah tersinggung (terharu dsb); 3. lemah semangat;tidak dapat mandiri.
Di postingan ini, yang ingin saya bahas adalah cengeng berdasarkan pengertian yang pertama, mudah menangis;suka menangis. Sepanjang ingatan, saya bukanlah orang yang cengeng. Didikan dari papa yang begitu keras seakan membuat saya merasa tabu untuk menangis. Saat sedih atau emosi, saya lebih memilih untuk mengungkapkan lewat tulisan. Mungkin itulah asal muasal mengapa saya begitu suka menulis.
Semua berubah setelah saya melahirkan Naya. Entah kenapa, saya jadi gampang sekali terbawa perasaan. Cengeng. Saya menangis saat Naya pertama kali menelpon saya di rumah sakit hanya untuk bilang "Mama ayo pulang! Kakak ngangeng! *baca:kangen*, saya menangis saat Naya sakit sementara saya tidak bisa meninggalkan tugas jaga, saya menangis saat Naya ngambek tidak mau bicara lewat telpon sewaktu saya dinas di luar pulau, bahkan saya bisa menangis saat melihat bintang film Korea menangisi kepergian anaknya di salah satu drama Korea. Iya, saya akui saya menjadi cengeng.
Akhir-akhir ini pun, saya merasa benar-benar cengeng.
Suatu pagi, Naya bertanya pada saya.
Naya: "Mama, kalau mau dapet uang halus kelja ya?"
Meta: "Iya kak."
Naya: "Mama keljanya dotel anak, papa keljanya dotel kandungan. Kalau mbak Yaci keljanya apa?"
Meta: "Mbak kan yang nganterin kakak sekolah atau les pas mama di rumah sakit. Yang nemenin kakak pas mama papa engga ada. Itu kerjanya."
Tetiba Naya memeluk erat saya dengan suara lirih.
"Mama, maaf ya kakak Aya engga punya uang buat bayal mama. Nanti kalau sudah besal, kakak kelja bial dapet uang buat mama jadi mama bisa nemenin kakak telus."
Saya? Engga bisa ngomong karena sibuk menyembunyikan air mata:)))
Cengeng? Mungkin;)
Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, saya memang sedang sibuk mencari sekolah yang mau menerima Naya. Total saya menyurvei 15 sekolah. Ada satu sekolah yang benar-benar membuat saya kecewa. Sejak awal, sekolah tsb memberi harapan bahwa mungkin bisa saja Naya diterima. Naya sudah sangat bahagia mendengarnya. Sebelumnya, ada satu hari khusus yang dijadwalkan untuk mendatangkan psikolog agar bisa mengobservasi dan mengetes Naya apakah siap bersekolah di kelas yang lebih tinggi dari usianya. Saya persiapkan semuanya dari jauh hari. Saya ijin dari rumah sakit -jangan dikira gampang lho buat ijin walaupun cuma satu hari-, saya persiapkan mental Naya. Saya tanyakan Naya berulang-ulang, benarkah Naya mau bersekolah di kelas yang lebih tinggi? Naya selalu menjawab iya.
Pada hari-H, kami datang ke sekolah tsb dengan harapan tinggi. Naya bahkan berangkat dengan ceria dan penuh senyum, berharap akan segera bersekolah di sekolah tsb pada kelas yang lebih tinggi.
Sampai di sana, saya agak bingung karena sayalah yang dites. Saya diminta menggambar pohon, orang, dan rumah. Naya malah tidak dites apa pun. Saya pikir waktu itu mungkin belum giliran Naya. Sampai siang, Naya belum juga dites. Bolak/i Naya bertanya "Mana tesnya? Kakak kan mau sekolah disini."
Setelah saya dites -Naya belum dites atau bahkan dilihat langsung oleh psikolognya- saya diminta berdiskusi dengan psikolog tadi, hanya untuk diingatkan betapa bahayanya "memaksakan" anak saya bersekolah di kelas yang lebih tinggi seakan-akan menjudge saya sebagai ibu yang luar biasa ambisius, tanpa memikirkan kebutuhan anak. Saya setengah mati menahan air mata saya di ruangan itu. Bukan karena kesal karena Naya tidak diterima, bukan. Hanya saja mungkin saya naif, tapi saya berpikir sebagai seorang psikolog sebaiknya tidak cepat benar mencap seseorang, bahkan tanpa melihat latar belakang atau alasannya. Bagaimana beliau bisa menyimpulkan saya yang memaksakan Naya bersekolah di kelas yang lebih tinggi kalau melihat kemampuan Naya saja tidak? Bagaimana beliau bisa bilang saya yang terlampau ambisius saat sebetulnya advis untuk bersekolah di kelas yang lebih tinggi itu datang dari seorang psikolog lain yang sama profesionalnya seperti beliau? Engga mungkin dong ya saya ujug-ujug meminta Naya sekolah di kelas yang lebih tinggi tanpa ada alasan atau rekomendasi dari seseorang yang berwenang di bidangnya?
Yang membuat saya akhirnya menangis adalah melihat Naya yang begitu tahu tidak jadi bersekolah di sekolah tsb menjadi sangat rendah diri. "Kakak Aya engga pintal ya ma? Kok engga ditelima di sekolah itu?". Semua ketrampilan yang biasanya dia lakukan pun jadi enggan dilakukan. "Kakak Aya engga bisa ma, Kakak kan engga pintal." Saya cengeng ya? Mungkin;)
Saya pun jadi super sensitif kalau ada orang yang tak begitu kenal dekat dengan saya -tentu engga mengerti benar jalan cerita soal Naya- tetiba ikut menjudge saya lebaylah, ambisiuslah, atau apalah. Ada juga yang tetiba menyalahkan saya terlalu overprotective pada Naya sehingga sulit bersosialisasi dengan teman sebaya. Ada. Biasanya sih saya bisa cuek, tapi engga tau ya, tidak kali ini. Pengaruh hormon kali. Namanya hormon ibulebay;p
Pada prinsipnya, saya -seperti ibu yang mana pun di mana pun- menginginkan yang terbaik buat Naya. Saya engga pernah dan engga akan pernah memaksa Naya untuk melakukan apapun yang tidak membuatnya bahagia. Saya engga peduli dijudge macam-macam oleh orang lain. Semua keputusan saya untuk Naya, sekecil apapun, telah melalui proses konsultasi ke pihak yang kompeten (Bukan cuma "Katanya" atau "Dulu anaknya tetangga bla bla bla") dengan sangat berhati-hati. Dibilang ambisius kek, lebay kek, overprotective kek, terserah. Yang jelas perjuangan saat hamil saya sungguh berat, begitu pun saat melahirkan dan sesudahnya. Situ ikut repot pas hamil? Ikut rempong pas nyusuin? Ikut ribet ngasuh? Kalau engga, you'd better just shut up;)
Walaupun begitu, banyak juga yang berbaik hati pada Naya dan saya. Saya menerima banyak sekali email dari pembaca blog ini yang memberikan masukan atau saran. Terima kasih banyak ya, semoga Allah SWT yang membalas. Maafkan kalau belum sempat dibalas:)
Lalu bagaimana Naya sekarang? Saya ceritakan di postingan mendatang ya! Stay tune:p
5 comments:
Hallo dok, misi mau nulis komentar...
Mungkin Naya dimasukkan ke kelas inklusi kali ya? Hehehe, kelas buat anak berkebutuhan khusus gitu? Saking pinternya, hehehe...
Halooo:D
Nah itulah, apapun namanya, kelas atau sekolah semacam itu engga ada euy. At least engga ada di Surabaya:D
Aih enggak disangka sampai berpengaruh ke mental Naya ya meta
ada sih kak met sekolah inklusi di surabaya, tapi sekolah negeri. Saya pernah observasi di sekolah inklusi, tapi fokusnya biasanya ke anak ABK yang intelegensinya rendah. Coba saja kak meta mungkin ada yang punya program untuk anak Cerdas dan Berbakat :)
Semoga cepet dikasih jalan keluar ya, dan semoga Naya tetep semangat belajar meskipun belum ke sekolah :)
haru biru ibu bekerja mba...saya juga ngerasain tuh jadi mama cengeng, ditangisan anak saat pergi ngantor mewek, acara ke luar kota dari kantor, di sana mewek hahaha. setelah sekarang jadi irt, aduh ternyata ada bosannya....setiap pilihan ada plus minusnya,
Post a Comment