Tuesday, November 27, 2012

Pelajaran Hidup

Masih inget kan sama cerita saya yang ini?

Nah kali ini, saya pengen cerita kisah lain yang engga kalah menariknya. Ceritanya terjadi di settingan tempat yang sama, ruangan tempat saya bekerja saat ini di divisi neonatus.

Saya membantu persalinan secara operasi caesar seorang ibu. Indikasi operasinya adalah usia ibu lebih dari 35 tahun yang merupakan faktor resiko tinggi. Selain itu, riwayat kehamilan sebelumnya kurang mengenakkan. Ibu ini pernah hamil 6 kali. Yang pertama dan kedua keguguran saat usia kandungan 3 dan 2 bulan. Yang ketiga meninggal setelah dilahirkan kurang dari 24 jam. Yang keempat sempat bertahan hidup dengan kelainan jantung sebelum akhirnya meninggal 3 hari kemudian, yang kelima keguguran saat usia kandungan masih 2 bulan, dan hamil kali ini adalah hamil yang keenam.

Saat bayinya lahir, saya segera melakukan pemeriksaan awal untuk melihat fisiknya. Semua organ luar lengkap dan sempurna. Tapi karena mukanya sangat khas, saya mencurigai bayi ini dengan Down Syndrome.

Ketika saya bawa ke ruang bayi, bapaknya terlihat tergopoh-gopoh menghampiri ruangan untuk menanyakan keadaan bayinya.

"Bagaimana dok? Sehat kan? Hidup kan?"
"Iya, sampai sejauh ini sehat pak.  Tapi saya mencurigai bayi bapak Down Syndrome. Pemeriksaan pastinya dengan pemeriksaan genetik atau kariotyping pak, ........*saya masih belum selesai ngomong*

Sang bapak langsung menangis di depan saya. Saya yakin dia tidak mengerti apa itu Down Syndrome, tidak mengerti juga apa yang dimaksud kariotyping karena saya belum selesai menjelaskan. Tapi saya yakin kalau sang bapak mengerti ada keabnormalan pada anaknya. Saya langsung diam begitu ngeh kalau sang bapak sedang menangis dan setengah tertahan berucap " GustiAllah, kenapa Kau berikan cobaan yang sedemikian beratnya pada hamba. Hamba ini sudah tidak kuat lagi ya Allah." *pakai bahasa Jawa*

Lalu, sang bapak ngomong lagi setengah curhat ke saya " Dok, kenapa yang dikasih cacat harus anak saya? Kenapa bukan anak yang kemarin lahir karena mau digugurin terus ditinggal kabur aja? Saya sudah menunggu 10 tahun dok. Semua engga ada yang hidup. Sekarang yang ini cacat. Entah berapa lama lagi hidupnya kan? "

Saya speechless. Antara bingung harus menjawab apa tanpa membuat bapaknya lebih bersedih dan memang tidak tahu jawabannya apa.

Kejadian lain, saat saya kedatangan ibu hamil 6 bulan yang pre-eklamsi berat dan kejang dengan penurunan kesadaran. Untuk menyelamatkan bayinya yang pasti sudah kekurangan oksigen, operasi caesar pun dilaksanakan secepatnya. Ketika lahir, sang bayi yang sepertinya masih berada dalam pengaruh obat bius serta obat kejang ibunya tidak menangis, tidak bergerak dan biru walaupun detak jantungnya masih kuat terdengar.

Saya lakukan tindakan penyelamatan pertama sambil terus mencoba memompa paru-parunya. Alhamdulillah, bayi yang "hanya" 800 gram itu merespon dan bisa bertahan hidup.
Saya bawa ke ruangan bayi, tapi tidak ada keluarga lain yang bisa dipanggil. Saya tahu dari teman, ibu bayi ini ternyata mengalami ICH atau Intra Cerebral Hemorrhage alias perdarahan otak dan harus secepatnya menjalani operasi trepanasi (Tulang kepala dibuka supaya perdarahan di otak bisa dikeluarkan). Saya pikir, mungkin saja keluarganya sibuk mengurus operasi ibunya.

Beberapa jam kemudian, akhirnya sang ayah bayi datang untuk melihat dan mengadzani bayi. Ketika saya edukasi, kelihatan jelas pikiran ayahnya sedang terpaku pada kondisi istrinya. Tapi sang ayah sempat berkata "Dok, saya serahkan semuanya pada dokter. Saya percayakan anak saya. Kalau memang harus engga ada, saya ikhlas dok."

 Bayi ini sempat bertahan selama 3 hari sebelum akhirnya meninggal dunia. Walaupun sudah dibantu memompa napas, rupanya paru-parunya yang belum matang dan belum siap bekerja tidak merespon. Saat saya beritahukan pada sang ayah, beliau tampak tegar walaupun bingung harus menjelaskan dengan cara apa ke istrinya yang baru saja sadar dari koma.

"Dok, saya takut kalau saya beritahu istri saya sekarang, dia ngedrop. Saya takut dia koma lagi. Tapi kalau engga saya beritahu sekarang, istri saya engga bisa ngelihat (jasad) anak saya untuk selamanya. Saya bingung dok. Saya mohon dengan sangat dok, saya serahkan semua ke dokter saja ya bagaimana baiknya."

Jreeeeng. Saya bingung. Apalagi setelah saya bertemu dengan istrinya yang ternyata hilang ingatan. Ingatan mulai dari dia hamil sampai dengan melahirkan hilang sama sekali. Yang dia ingat, dia hanya punya satu anak berusia 9 tahun yang ada di rumah. Dia bahkan tidak ingat untuk apa dia ada di rumah sakit. Terus bagaimana saya harus menyampaikan soal bayi yang baru dilahirkannya?

Saya jadi tersadar bahwa diluar segala macam teori yang terpapar di textbook tebal saya, masih banyak hal-hal yang harus saya pelajari. Bukan hanya soal bayi sih tentunya. Saya belajar banyaaaaak sekali yang tidak mungkin bisa saya dapatkan dari hanya sekedar membaca karena hubungan dengan manusia tidak bisa dijadikan saklek seperti dalam buku. Saya jadi ingat nasihat salah satu guru saya,

"Menjadi dokter tidak hanya membutuhkan otak, tapi yang paling penting di atas segalanya, adalah hati. To be a doctor = to cure sometimes, to relieve often and to comfort always"

Semoga saya selalu ingat untuk menggunakan hati disamping otak dalam menghadapi pasien-pasien saya. Amin!

2 comments:

Ratna Wahyu said...

cerita yang mengharukan

Diah Ariesa W said...
This comment has been removed by the author.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...